Andreas Antonopoulos: Penambang Bitcoin Tak Akan Berhenti

Banyak yang kurang memahami esensi teknis dan ekonomi di tubuh Bitcoin. Pada awal tahun ini misalnya, ketika Bitcoin di US$7.000, Guru Besar Keuangan Universitas Santa Clara, Profesor Atulya Sari menulis artikel tentang betapa besarnya biaya menambang kripto berbanding dengan harga di pasar. Ia berkesimpulan bahwa merosotnya pasar kripto menandakan kejatuhan era kripto itu di masa depan. Menjuluki peristiwa itu sebagai death spiral, ia mengatakan kripto sedang menuju ke kematiannya.

“Penambangan yang memerlukan biaya yang lebih besar daripada harga jual di pasar akan menghancurkan nilai pasar itu sendiri. Jadi, investor yang berakal sehat, bahkan satu pihak meyakini Bitcoin akan menanjak, tidak akan mendapatkan imbal balik yang sepadan jika biaya menambang lebih tinggi daripada harga di masa depan. Tak seperti emas, yang mampu menjaga harganya kendati penambangan berhenti, Bitcoin tidak memiliki nilai ketika proses penambangan berhenti untuk menjaga buku besarnya (ledger). Menambang Bitcoin tak lebih dari angka yang dienkripsikan ketimbang memiliki nilai,” tulis sang profesor.

Argumen guru besar itu kelihatannya masuk akal, tetapi tidak di mata Andreas Antonopoulos, pakar kripto dan pembela Bitcoin.

Katanya dalam sebuah video di Youtube, Senin (3/12) lalu, Bitcoin tak akan mencapai death spiral itu. Dalam jaringan Bitcoin, para penambang menemukan block yang berisi sejumlah transaksi setiap 10 menit. Setelah 2016 block (sekitar dua minggu) ditambang, secara otomatis jaringan akan menyesuaikan kembali kesulitan (difficulty) menambang. Jika ada kekuatan hash yang lebih kecil, para penambang akan menambang Bitcoin dengan kesulitan yang lebih rendah. Dan jikalau ada kekuatan hash lainnya, para penambang dapat menambang aset dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Sebutan death spiral dalam Bitcoin merujuk kepada keadaan di mana difficulty jaringan gagal menyesuaikan dirinya setelah 2016 block. Hal ini terjadi karena kekuatan hash pada jaringan terus menurun secara cepat. Ini dipicu oleh para penambang di dalam ekosistem yang berhenti menambang, akibat berkurangnya keuntungan yang diperoleh.

“Sejumlah orang menganggap, jika death spiral terjadi, maka tak sedikit penambang yang hengkang. Mereka menghadapi kenyataan tak mampu mencetak laba yang berarti, akibat hash rate yang turun hingga 50 persen. Keadaan itu justru memicu turunnya hash rate lebih jauh lagi. Difficulty terus menerus tidak menyesuaikan. Namun demikian, fenomena ini tidaklah terjadi pada protokol Bitcoin, sebab para penambang memiliki strategi jangka panjang,” kata Andreas.

Kebanyakan penambang menggunakan listrik dan segala perlengkapan dalam rentang waktu tahunan bukan mingguan. Lihatlah penambang Bitcoin di Tiongkok yang bisa menikmati biaya listrik yang sangat murah dengan iklim dingin. Mereka memiliki strategi jangka panjang.

“Jadi, jika kekuatan hash Bitcoin menurun dan membuat keuntungan berkurang, para penambang lebih memilih untuk melanjutkan penambangan hingga nilai Bitcoin kembali pulih. Ini kian mendorong lebih banyak penambang melakukan penambangan lagi,” kata Andreas.

Selama dua bulan terakhir hash rate Bitcoin menurun dari sekitar 50 persen exahash hingga 37 exahash. Namun, sejak Januari 2018, hash rate meningkat dari 12 exahash hingga 37 exahash. Dalam rentang tahunan, kekuatan hash pada jaringan meningkat lebih dari tiga kali lipat. [vins]

 

Terkini

Warta Korporat

Terkait