CEO Hara Regi Wahyu: Blockchain Optimalkan Akurasi Data Pertanian Indonesia

Semangat blockchain yang kian mengglobal tak lupa menghinggapi Hara, anak perusahaan Dattabot, yang didirikan di Singapura dengan nama HARA Technology PTE LTD. Hara memang baru, tetapi tidak dengan Dattabot yang menaunginya. Dattabot adalah perusahaan yang didirikan oleh Imron Zuhri, Regi Wahyu dan Tom Malik di bidang big data analytics.

Dattabot adalah perusahaan Big Data Analytics yang memiliki fokus pada bidang Integrasi Data. Diperkuat oleh teknologi Analytics tercanggih dan perpustakaan data terkaya di Indonesia, sehingga memiliki kemampuan membantu perkembangan bisnis dengan mengungkap nilai yang tersembunyi di dalam data yang dimiliki. Sejak tahun 2010, Dattabot telah memanfaatkan teknologi Big Data untuk menghadirkan solusi inovatif kepada klien – klien dalam berbagai industri seperti Fast Moving Consumer Goods (FMGC), Industri Finansial, hingga lembaga pemerintahan

Khusus melalui Hara, sang CEO, Regi Wahyu melihat penggunaan blockchain mampu mengoptimalkan ketersediaan dan akurasi data, termasuk pengaksesan dan transparansi terhadap data, khususnya di bidang pertanian. Bagi Regi, teknologi blockchain adalah solusi tepat bagi masalah pertanian di Indonesia.

Masalah pertanian di Indonesia juga sangat disoroti oleh Fadmin Malau, Dosen Agribisnis Universitas Muhamddiyah Sumatera Utara (UMSU). Petani Indonesia, menurut Fadmin, tak hanya galau soal rendahnya mutu bibit dan pupuk bersubsidi yang mengakibatnya mutu hasil panennya juga tak dapat diandalkan. Hal itu bermuara pada rendahnya pendapatan petani.

Khusus soal penerapan teknologi untuk mengumpulkan data pertanian, Fadmin berpendapat, agak sulit mengharapkan petani secara langsung menyediakan itu.

“Sangat tergantung siapa penggunanya dulu. Kalau menyasar kepada petani secara individu, belum bisa. Teknologi pengumpulan data harus menyasar kepada kelompok-kelompok petani atau koperasi atau perusahaan berbentuk CV. Kalau menyasar kepada individu, terkendala soal tingkat pengetahuan penggunaan aplikasi di smartphone. Itu pun dengan asumi mereka memang memiliki smartphone dan akses Internet yang mumpuni di wilayah pedesaan,” kata Fadmin kepada BlockchainMedia, Sabtu (13/10) lalu.

Fadmin menambahkan, kalau mereka diminta untuk menyediakan data seperti itu, itu kan menambah beban mereka. Itu bukan bidang mereka. Mereka secara individu fokus di aspek produksi. Itulah sebabnya petani di tingkatan terbawah, mereka tidak peduli dengan merek produk pupuk dan bibit. Bagi mereka yang terpenting adalah hasil panen harus banyak dan menguntungkan. Maka pertanyaan saya adalah, sejauh mana teknologi itu digunakan untuk menguntungkan di aspek produksinya, jangan justru menambah beban mereka,” jelas Fadmin.

Berikut petikan wawancara eksklusif BlockchainMedia dengan Regi Wahyu, CEO Hara, yang dilakukan beberapa waktu lalu melalui sambungan telepon.

Menurut Hara apa permasalahan pertanian di Indonesia saat ini?

Tak hanya di Indonesia, masalah pertanian di Indonesia itu sangat rumit dan berlangsung lama. Mulai dari masalah permodalan, akses terhadap modal dan bibit termasuk pupuk, harga jual, suplai sampai pada masalah penjualan dan konversi lahan.

Saya pribadi terlibat langsung di bidang pertanian sejak tahun 2014. Saya memiliki riset khusus tentang itu. Dan Dattabot sendiri fokus di bidang pertanian sejak tahun 2015.

Karena masalah dan penyebab masalah pertanian ini penafsirannya berbeda-beda, maka bagi saya, lebih bijaksana kalau fokus pada satu aspek yang paling umum, yakni data dan informasi.

Saat ini data dan informasi pertanian dengan sistem yang ada saat ini tidak sama, misalnya antara Bulog, Kementerian Perdagangan, Kemnterian Keuangan, Badan Statistik Nasioanal dan lembaga lain. Kita tidak memiliki pangkalan data tentang data pertanian dan pangan yang valid dan dapat diandalkan.

Jadi, kami memandang bagaimana mungkin kami yang bergerak di bidang pengolahan data pertanian, yang ingin mencari solusinya, jikalau datanya saja tidak akurat.

Indonesia saat ini hidup dan pengambilan keputusan dan menjalankan proses bukan berdasarkan data yang akurat dan tersinkronisasi.

Dan permasalahan sengkarutnya data pertanian ini juga berdampak pada kesejahteraan petani.

Saat ini ada 38,7 juta petani di Indonesia. Dan 2 persen setiap tahun jumlahnya berkurang. Dan kontribusinya saat ini terhadap GDP mencapai 14 persen, padahal 5 tahun lalu masih 17 persen. Ini sangat memprihatinkan. Dan berdasarkan data BPS mengungkapkan bahwa petani Indonesia yang miskin jumlahnya sangat banyak. Bahkan di bidang pertanian tidak ada regenerasi petani, dari petani yang berusia tua ke yang berusia muda dari usia 30 tahun ke bawah hanya 9 persen dari total petani yang ada. Ini jumlahnya sangat kecil.

Faktanya lagi, Indonesia masih tergolong negara tak mandiri dalam hal penyediaan pangan. Kita saja beras sampai cabai masih mengimpor. Nah, terlebih-lebih data pertanian dan pangan yang kita miliki saat ini tidak lengkap dan tidak transparan.

Blockchain itu transparan dan desentralistik, apakah tawaran Hara dapat secara langsung membantu petani yang miskin itu?

Blockchain adalah satu-satunya solusi atas kisruhnya data pertanian di Indonesia, karena data di blockchain ini kan transparan, auditable dan permanen. Terlebih-lebih data di blockchain tidak bisa diubah dan dimanipulasi. Pencatatan data ke blockchain yang dilakukan di sistem Hara dilakukan langsung di wilayah petani itu sendiri, bukan dari lembaga lain termasuk lembaga pemerintah. Karena data dimasukkan langsung dari lapangan, maka sifat data lebih otentik.

Petani yang tidak memiliki smart phone atau kurang memahami penggunaan aplikasi Hara untuk memasukkan data, bisa dibantu oleh field officer Hara. Nah, keterlibatan petani dalam berbagi data itu memberikan kesempatan kepada mereka mendapatkan akses modal dari bank. Kredit Usaha Rakyat dari bank, misalnya hanya berdasarkan KTP saja dan berdasarkan verifikasi ke lapangan dan lain-lain. Bank sendiri mengalami kesulitan menyalurkan modal dan petani kesulitan mengaksesnya, karena datanya tidak valid dan sulit diverifikasi. Dengan sistem di Hara, data bisa lebih lengkap, karena petani langsung yang membagi data-datanya. Ini juga bisa digunakan oleh pihak perusahaan asuransi dan perusahaan penyedia pupuk dan bibit, sehingga mereka mengetahui potensi market yang ada di lapangan. Walaupun soal pilihan pupuk dan bibit yang tepat ini berpulang kepada petani itu sendiri.

Agen lapangan itu apakah posisinya struktural di Hara?

Mereka itu adalah relawan yang diberikan insentif berupa uang rupiah atas kerja mereka. Ke depan mereka, petani dan agen lapangan, akan mendapatkan insentif berupa HaraToken.

Hara menggunakan smart contract di Blockchain Ethereum. Secara teknis kami ketahui bahwa beberapa aspek di smart contract ini bisa dirancang agar tidak bisa diakses oleh partisipan tertentu. Nah, di sistem Hara apakah semua data bisa diakses oleh partisipan termasuk petani, sehingga dapat disebut transparan?

Smart contract yang kami bangun memungkinkan pihak penyedia data, yakni petani ataupun perusahaan lain, mengizinkan atau tidak data itu diakses. Misalnya sebuah bank menginginkan sekitar dua ribu data pertanian. Maka, kepada mereka disediakan data misalnya luas lahan, riwayat penggunaan lahan, penghasilan, besaran panen, data cuaca dan lain-lain. Bagi pihak bank ini akan menjadi acuan membuat keputusan petani mana yang memungkinkan mendapatkan pinjaman.

Apakah pihak pemohon data itu harus menggunakan TokenHara untuk melakukan pembelian data?

Harus dibedakan antara hak mengakses dan hak membeli. Perusahaan bank, misalnya harus menggunakan TokenHara untuk mengakses data, bukan membeli data. TokenHara bukan digunakan untuk jual beli data. Saya umpamakan situasinya seperti di tempat permainan video game atau odong-odong yang menggunakan token atau berupa koin fisik. Token itu bukan untuk membeli permainan itu, tetapi digunakan sebagai akses untuk permainan tersebut. Contoh lainnya adalah pembelian token PLN dengan menggunakan rupiah.

Ada konsep Hara Loyalty Point. Itu bagaimana mekanismenya?

Kami bukan ingin mengajarkan trading kripto dengan memberikan TokenHara. Itulah sebabnya kami memberikan point atau sejenis voucher. Itu kami lakukan dengan bermitra dengan pihak lain. Soal mekanismenya, kami belum bisa paparkan, karena masih penjajakan. Yang pasti akan kami pilih cara yang lebih praktis. Jadi, Hara Loyalty Point saat ini belum diterapkan di lapangan. Point ini kelak dapat digunakan untuk membeli bibit atau pupuk dengan harga yang lebih murah atau mungkin bisa digunakan untuk kemudahan biaya umroh bagi petani.

Perusahaan mana saja yang sudah bermitra dengan Hara, dalam peran mereka sebagai pemohon data?

Kami menyeleksi terlebih dahulu perusahaan mana saja yang memang mampu memberikan manfaat langsung kepada petani. Kami saat ini sudah bekerjasama dengan Bank Negara Indonesia (BNI). Dan sekarang sedang proses penjajakan dengan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Termasuk bank-bank lain. Ada juga Asuransi Parolamas, BOI Research dan Universitas Muhammadiyah Gresik.

Tentang pihak data qualifier ini, apa pentingnya?

Data qualifier adalah pihak yang bisa dipercaya untuk memastikan kebenaran data. Dalam hal ini misalnya kepala desa memastikan data yang dikirimkan oleh petani. Atau pihak lain yang bertransaksi langsung dengan petani, misalnya dalam proses penjualan hasil tani. Dan saat ini mereka mendapatkan imbalan berupa rupiah. Kelak mereka juga akan menerima TokenHara sebagai bentuk imbalannya.

Hara adalah anak perusahaan dari Dattabot. Bukankah ini kemungkinan ada konflik kepentingan, bahwa data dari Hara bisa diakses secara langsung oleh Dattabot tanpa izin dari penyedia data?

Tidak. Serupa dengan pemohon data lainnya, Dattabot sendiri harus punya TokenHara untuk mengakses data yang diinginkan, dan pihak penyedia data bisa melihat itu secara transparan. []

Terkini

Warta Korporat

Terkait