100 NFT Kitab Aksara Korea “Hangeul” Akan Dijual, Setara Rp120 Milyar

Museum Seni Kansong di Korea Selatan akan menjual 100 unit NFT (Non-Fungible Token) yang mewakili gambar 33 halaman kitab asli aksara Korea, Hunminjeongeum Haerye “Hangeul”. 1 unit NFT akan dihargai 100 juta won atau setara dengan Rp1,2 milyar. Tapi otoritas negara belum berikan restu.

Dilansir dari KoreanTimes, Jumat (23/7/2021), rencana Museum Seni Kansong itu adalah demi menambal kekurangan anggaran mereka.

Beberapa waktu lalu, museum malah menjual sejumlah patung Budha antik dengan harga yang fantastis.

“Hasil penjualan NFT akan kami gunakan untuk biaya operasional museum dan mendanai beberapa penelitian budaya. NFT ini adalah peluang bagi publik untuk berbagi kekayaan budaya, khususnya bagi anak muda yang saat ini sangat gandrung NFT,” kata Chun Young-woo, Presiden Yayasan Seni dan Budaya Kansong, organisasi yang menangungi museum swasta itu.

NFT pada prinsipnya adalah sertifikat digital yang dibuat menggunakan smart contract dan direkam di blockchain.

Ia disebut “token” mirip aset kripto pada umumnya, agar bisa untuk mewakili objek fisik ataupun objek digital, seperti file gambar, suara ataupun video, sehingga bisa dijual.

Dalam bentuk NFT, kepemilikan dan transaksi lebih mudah diverifikasi dan bersifat kekal, karena direkam di blockchain.

Sedangkan file digital itu sendiri disimpan di jaringan IPFS (Interplanetary File System).

Salinan asli perdana Hunminjeongeum Haerye (Hangeul) koleksi Museum Seni Kansong, Korea Selatan.

Di era kolonial Jepang, tahun 1910-1945, sebagian besar salinan asli perdana Hunminjeongeum Haerye itu hilang.

Barulah pada tahun 1940 salah satu salinan asli perdana itu ditemukan oleh Chun Hyung-pil di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara. Nama samaran Chun Hyung-pil adalah “Kansong”, sang pendiri museum itu. Di Korsel, Chun Hyung-pil adalah tokoh nasional yang sangat berjasa melindungi artefak seni bersejarah Korea.

Chun Hyung-pil alias Kansong.

Ditentang oleh Pemerintah

Niat museum bukannya tak mendapat tantangan. Seorang pejabat dari Administrasi Warisan Budaya (CHA) di bawah Pemerintah Korea Selatan, menjelaskan bahwa pihaknya akan meninjau langkah museum itu.

Kata pejabat itu, berdasarkan undang-undang yang ada, semua cara termasuk membuat salinan, cetakan, foto dan cetakan foto harus mendapatkan izin dari CHA.

“Pun lagi ini untuk kali pertama ada rencana menjual aset budaya dalam bentuk token digital [NFT-Red]. Jadi, kami perlu melihat terlebih dahulu bagaimana proses pendigitalannya, apakah bisa merusak kitab asli itu,” sebut sang pejabat.

Sejarah Singkat Hunminjeongeum Haeryebon dan Hangeul

Kitab Hunminjeongeum Haeryebon adalah kitab “Edisi Penjelasan Hunminjeongeum”. Sedangkan Hunminjeongeum sendiri berarti “formula abjad/aksara” atau dalam makna aslinya adalah “suara yang benar untuk diajarkan kepada rakyat”.

Jadi, kitab itu pada dasarnya adalah kamus yang menjelaskan cara menggunakan aksara itu disandingkan dengan aksara Tiongkok yang lebih umum digunakan kala itu.

Hunminjeongeum Haeryebon adalah artefak sejarah Korea Selatan yang amat penting. Isinya adalah aksara yang dirancang pada tahun 1446 selama Dinasti Joseon oleh Raja Sejong. Dalam prosesnya sang raja dibantu oleh sejumlah rahib Buddha dengan mengadopsi konsep dasar aksara Dewanagari, India.

Raja Sejong.

Aksara itulah merupakan cikal-bakal Hangeul yang merupakan sistem penulisan unik di antara abjad-abjad bangsa lain, karena diciptakan oleh sekelompok orang yang dikenal tanpa ada pengaruh dari sistem penulisan yang telah ada dan menjadi bahasa tulis nasional.

Hangeul.

Anda peminat sejarah Korea dan pernah menonton film The King’s Letters (2019) pasti paham benar kisah kitab itu.

Kitab itulah yang menjadi aksara baku yang digunakan warga Korea hingga saat ini. Di masa lalu cara bertutur mereka sangat sulit diwakili dengan aksara Tiongkok, yakni aksara Han yang luas digunakan saat itu.

Bentuk aksara Hangeul jauh lebih sederhana dibandingkan aksara Han, karena dirancang dengan campuran bentuk garis dan lingkaran. Cara pelafalannya pun disesuaikan dengan kebiasaan warga.

Katy Perry Segera Luncurkan NFT Sendiri, Bisa Laku Berapa?

Bagi Raja Sejong kala itu, kitab aksara Korea akan memudahkan masyarakat awam untuk membaca dan meningkatkan pengetahuan mereka. Maklum saja, sejarah mencatat Sejong adalah peminat ilmu pengetahuan dan kuat di bidang matematika.

Singkatnya Hangeul adalah bagian penting dari sejarah Korea dan tercatat sebagai sedikit dari negara yang memiliki aksara rancangan sendiri. Hangeul sebagai identitas dan jiwa Korea jelas tak terbantahkan.

Jadi, dalam logika ekonomi kekinian, “NFT Aksara Korea” ini dianggap sebagai solusi cerdas bagi si pengelola museum untuk terus bertahan.

Dan jikalau itu terjadi, maka itu yang akan menjadi pertama dalam sejarah kripto dunia, bahwa warisan budaya penting negara besar seperti Korea Selatan dijual dalam bentuk NFT. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait