Pasar kripto rontok sering kali menunjukkan volatilitas tinggi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tren historis hingga kebijakan makroekonomi. Berikut adalah lima alasan utama yang memengaruhi penurunan pasar kripto, fokus pada aksi profit taking Bitcoin.
Ketika artikel ini ditulis pada Selasa (28/01/2025) dini hari, harga Bitcoin bertengger di kisaran US$99.800, usai turun terendah ke US$97.732 pada Senin (27/01/2025) petang, berada di bawah level psikologis US$100 ribu. Dalam sepekan terakhir harga Bitcoin menurun lebih dari 5 persen. Ini pun diikuti oleh kripto lainnya. Secara akumulatif nilai pasar kripto rontok lebih dari 5,38 persen dalam sehari terakhir di kisaran US$3,41 triliun.
Sebelumnya Arthur Hayes berpendapat tekanan jual tak dapat dihindari dan harga kripto ini dapat tergerus menjadi US$75 ribu-70 ribu per BTC. Kendati dapat turun serendah itu, ia masih yakin Bitcoin dapat mencetak rekor baru menjadi US$250 ribu pada akhir tahun 2025.
1. Pasar Kripto Rontok, Profit Taking Terkait Bitcoin Halving
Koreksi harga Bitcoin dalam sepekan terakhir juga dikaitkan dengan pola historis profit taking yang terhubung dengan Bitcoin Halving. Kami menggunakan indikator Bitcoin Halving Cycle Profit yang dikembangkan oleh Kevin Svenson untuk menggambarkan aksi ambil untung ini.
Halving Bitcoin terakhir berlangsung pada 19 April 2024, analisis menggunakan indikator itu menunjukkan pola waktu yang konsisten setelah setiap peristiwa halving, dengan sinyal eksplisit untuk strategi profit-taking dan Dollar-Cost Averaging (DCA).
Berdasarkan indikator itu, aksi profit-taking optimal dimulai 40 minggu setelah halving. Dengan asumsi bahwa satu minggu adalah tujuh hari, maka 40 minggu dari 19 April 2024 jatuh pada tanggal 24 Januari 2025. Pada periode ini, pasar kripto rontok sering dipengaruhi oleh tekanan jual, karena kenaikan harga Bitcoin biasanya mencapai titik yang menguntungkan dalam siklus pasca-halving.
Selanjutnya, “last call” alias periode akhir untuk aksi profit-taking terjadi pada 80 minggu setelah halving, yakni 11 Oktober 2025. Periode last call ini menandai batas akhir untuk memaksimalkan keuntungan sebelum potensi penurunan harga signifikan memasuki fase pasar bearish. Berdasarkan data historis, pasar kripto rontok sering terjadi setelah periode ini, karena investor mulai melakukan aksi jual secara besar-besaran.
Untuk memulai kembali akumulasi dengan metode Dollar-Cost Averaging, indikator mengarahkan ke waktu optimal yaitu 125 minggu setelah halving, yang jatuh pada tanggal 30 Oktober 2026. Pada saat ini, pasar kripto rontok biasanya telah mencapai fase konsolidasi atau penurunan yang signifikan, menjadikannya waktu ideal untuk memulai akumulasi kembali.
Dengan mengikuti siklus waktu ini, investor dapat memanfaatkan pola harga yang telah teridentifikasi secara konsisten berdasarkan sejarah pergerakan Bitcoin. Pasar kripto rontok memberikan peluang strategis bagi investor untuk menentukan waktu masuk dan keluar pasar dengan lebih efektif.
2. Kebijakan The Fed yang Lebih Ketat
Faktor makroekonomi turut memperberat sentimen pasar. Federal Reserve diperkirakan hanya akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali pada tahun 2025, yang jauh lebih sedikit dibandingkan tahun 2024. Kebijakan ini membatasi aliran likuiditas ke pasar aset berisiko, termasuk kripto. Kondisi ini semakin memperkuat tren pasar kripto rontok, terutama bertepatan dengan periode pasca-halving, ketika pasar cenderung melemah. Dengan suku bunga yang tetap tinggi, daya tarik aset spekulatif seperti Bitcoin dan altcoin cenderung berkurang, memperbesar tekanan pada pasar.
3. Ketidakpastian Kebijakan dari Gedung Putih
Dari sisi regulasi, Amerika Serikat masih dalam tahap meninjau ulang pendekatan mereka terhadap aset kripto. Ada wacana menjadikan Bitcoin sebagai aset cadangan strategis nasional, namun langkah ini belum diprioritaskan. Sebaliknya, pemerintah lebih memilih untuk memperjelas definisi dan klasifikasi aset kripto. Ketidakpastian ini menciptakan tekanan tambahan di pasar, karena pasar kripto rontok kerap terjadi akibat ketidakpastian regulasi, yang membuat investor mengambil sikap hati-hati sambil menunggu kejelasan kebijakan.
4. Data Historis: Penurunan di Kuartal Kedua
Dalam konteks profit-taking dan koreksi, data historis dari Coinglass yang menunjukkan rata-rata return Bitcoin pada kuartal kedua sebesar 26,8 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal pertama yang mencapai 52,7 persen, memberikan gambaran tentang pola perilaku pasar yang khas.
Kuartal pertama (Januari-Maret), dengan rata-rata return yang lebih tinggi, biasanya mencerminkan periode akumulasi optimisme di pasar. Investor sering memanfaatkan momentum awal tahun untuk membeli aset dengan ekspektasi bahwa tren kenaikan harga akan berlanjut. Namun, transisi ke kuartal kedua sering kali disertai oleh aksi profit-taking, yang membuat pasar kripto rontok. Hal ini terjadi karena investor yang telah meraih keuntungan signifikan di kuartal pertama cenderung mulai merealisasikan profit mereka, menyebabkan tekanan jual yang dapat menahan atau menurunkan harga.
Selain itu, kuartal kedua (April-Juni) sering dianggap sebagai fase “normalisasi” setelah lonjakan awal tahun. Penurunan return rata-rata dari 52,7 persen menjadi 26,8 persen mengindikasikan kemungkinan terjadinya koreksi harga di tengah aksi profit-taking. Koreksi ini biasanya mencerminkan penyesuaian pasar terhadap ekspektasi jangka menengah, terutama jika tidak ada katalis positif yang signifikan. Dalam konteks ini, pasar kripto rontok menjadi fenomena yang berulang setiap tahunnya.
5. Tren Bulanan: Januari Lemah, Februari Rebound
Dalam konteks tren bulanan, data historis menunjukkan bahwa Januari mencatat rata-rata return sebesar 3,73 persen, sementara Februari meningkat menjadi 15,66 persen. Pola ini memberikan wawasan tambahan terkait dinamika musiman yang sering kali memengaruhi pergerakan harga Bitcoin, terutama di awal tahun.
Januari biasanya dianggap sebagai bulan “pemulihan” setelah volatilitas tinggi yang sering terjadi pada akhir tahun sebelumnya. Dengan rata-rata return yang lebih rendah, pasar pada bulan Januari cenderung stabil, di mana investor mulai memposisikan diri untuk peluang yang lebih besar di bulan-bulan berikutnya. Namun, jika tekanan jual meningkat, pasar kripto rontok dapat terjadi di bulan ini.
Februari, dengan rata-rata return yang lebih tinggi, mencerminkan percepatan optimisme pasar. Lonjakan 15,66 persen rata-rata di bulan ini menunjukkan bahwa para investor mulai lebih aktif, didorong oleh peningkatan likuiditas dan masuknya lebih banyak pelaku pasar yang ingin memanfaatkan potensi tren kenaikan. Dalam konteks ini, pasar kripto rontok dapat pulih dengan cepat, membentuk dasar bagi tren bullish yang lebih besar di bulan-bulan berikutnya.
CZ Binance Ungkap Hanya 50 Persen Investor Bitcoin yang Untung
Pola ini relevan dalam strategi profit-taking dan akumulasi. Pada bulan Januari, investor yang ingin memanfaatkan harga relatif stabil mungkin mulai melakukan akumulasi dengan pendekatan Dollar-Cost Averaging.
Sedangkan di bulan Februari, momentum kenaikan harga yang lebih kuat dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan aksi ambil untung di bulan-bulan berikutnya. Namun, tetap penting untuk mengantisipasi potensi tekanan yang dapat membuat pasar kripto rontok di tengah volatilitas pasar.
Baru! Robert Kiyosaki Bela BTC Lagi, Prediksi Saham Bakal Rontok
Penurunan pasar kripto baru-baru ini mencerminkan pola historis dan pengaruh faktor makroekonomi, seperti kebijakan The Fed yang lebih ketat dan ketidakpastian regulasi. Meski harga Bitcoin terkoreksi tajam, sentimen optimisme masih terlihat dengan proyeksi jangka panjang yang menjanjikan, seperti prediksi Arthur Hayes mengenai potensi Bitcoin mencapai rekor baru pada akhir 2025. Kombinasi antara tren musiman, aksi profit-taking pasca-halving, dan respons terhadap data historis menunjukkan bahwa dinamika pasar kripto tetap kompleks, tetapi menawarkan peluang strategis bagi investor yang cermat.[ps]