Penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang internasional semakin mendapat tantangan akhir-akhir ini.
Banyak negara-negara yang mulai menerapkan kebijakan penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan bilateral, sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Tantangan Penggunaan Dolar Amerika Serikat dan Aksi Dedolarisasi
Indonesia merupakan salah satu negara yang gencar menjalin kerja sama Local Currency Settlement (LCS). Bank Indonesia (BI) sudah melakukan kerja sama LCS sejak 2018 dengan Bank Sentral Malaysia dan Thailand.
Kini, kerja sama LCS semakin banyak dilakukan dengan negara tetangga, termasuk dengan China.
Kerja sama LCS memungkinkan perdagangan antara dua negara dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal, sehingga meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar dan biaya transaksi.
Selain itu, LCS juga dapat memperkuat hubungan ekonomi antara negara-negara yang terlibat.
Namun, tidak hanya Indonesia yang melakukannya. Banyak negara-negara lain yang juga mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Termasuk aliansi negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang berencana membentuk mata uang baru.
Pengembangan mata uang baru oleh BRICS ini akan dilakukan lebih lanjut pada pertemuan BRICS di Afrika Selatan pada Agustus mendatang. Jika terwujud, mata uang baru tersebut dapat menjadi alternatif bagi dolar AS sebagai mata uang internasional.
Namun, tidak semua negara berani mengambil langkah dedolarisasi seperti ini. Penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional masih sangat kuat, terutama di negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada modal asing.
Kondisi ini tentunya juga menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Jika permintaan dolar AS turun tajam, maka nilai dolar AS akan semakin melemah, bahkan bisa memicu inflasi yang sangat tinggi atau hiperinflasi.
Oleh karena itu, Amerika Serikat akan terus mempertahankan dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional.
Namun, langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara lain dalam mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS bisa menjadi ancaman bagi Amerika Serikat.
Sebagaimana disebutkan oleh Frank Giustra, co-chair International Crisis Group, pemerintah AS bisa menganggap aksi dedolarisasi bisa mengancam keamanan nasional, sehingga tentunya akan mengambil tindakan, dikutip dari Businessinsider.
Giustra juga mengatakan bahwa gagasan dolar AS akan kehilangan dominasinya tidak pernah terpikirkan oleh negara-negara maju.
Sampai akhirnya Amerika Serikat dan Sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dan mengeluarkannya dari SWIFT akibat perang dengan Ukraina.
Banyak yang memandang langkah Amerika Serikat tersebut menjadikan dolar AS senjata, sehingga dedolarisasi kini semakin marak.
Sistem finansial dibangun dengan kepercayaan, jika digunakan sebagai senjata, maka mereka akankehilangan kepercayaan yang diperlukan untuk mempertahankan dominasinya.
Oleh karena itu, Amerika Serikat harus berhati-hati dalam mengambil tindakan terhadap negara-negara yang mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Namun, di sisi lain, penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional juga memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat.
Dolar AS merupakan mata uang yang paling stabil dan paling diterima di dunia. Hal ini memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat dalam perdagangan internasional dan memudahkan akses ke pasar keuangan global.
Selain itu, penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional juga memberikan kekuatan politik bagi Amerika Serikat.
Sebagai negara yang memiliki mata uang internasional, Amerika Serikat memiliki pengaruh yang besar dalam kebijakan ekonomi dan politik global.
Namun, keuntungan tersebut tidak selalu merata bagi seluruh masyarakat Amerika Serikat. Ada beberapa kelompok yang dirugikan oleh dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional.
Misalnya, para eksportir Amerika Serikat yang keuntungannya menurun akibat nilai tukar yang terlalu tinggi. Selain itu, konsumen Amerika Serikat juga terkena dampak akibat inflasi yang terjadi akibat penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional.
Oleh karena itu, ada beberapa kelompok di Amerika Serikat yang mendukung dedolarisasi atau pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS.
Mereka berpendapat bahwa penggunaan mata uang lokal atau mata uang baru akan memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat dalam jangka panjang.
Namun, hal ini tidak mudah dilakukan. Dolar AS sudah menjadi mata uang internasional selama puluhan tahun, dan mengubahnya membutuhkan waktu yang lama dan memerlukan dukungan dari banyak pihak.
Selain itu, dedolarisasi juga memiliki risiko yang harus dihadapi. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, dedolarisasi bisa memicu ketidakstabilan ekonomi dan keuangan yang lebih besar.
Oleh karena itu, banyak negara yang memilih untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS secara bertahap, dengan melakukan kerja sama LCS atau penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan bilateral.
Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar dan biaya transaksi, serta memperkuat hubungan ekonomi antara negara-negara yang terlibat. Selain itu, penggunaan mata uang lokal juga dapat memperkuat kedaulatan ekonomi negara tersebut.
Penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional masih sangat kuat, dan sulit untuk digantikan dalam waktu yang singkat.
Namun, pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS dapat dilakukan dengan hati-hati, sebagai upaya untuk meminimalkan risiko dan memperkuat kedaulatan ekonomi negara-negara yang terlibat.
Penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang internasional masih mendominasi perdagangan global.
Namun, aksi dedolarisasi semakin marak terjadi di banyak negara, sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dan memperkuat kedaulatan ekonomi negara masing-masing.
Indonesia merupakan salah satu negara yang gencar menjalin kerja sama Local Currency Settlement (LCS) dengan negara tetangga, termasuk dengan China.
LCS memungkinkan perdagangan antara dua negara dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal, sehingga meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar dan biaya transaksi.
Namun, dedolarisasi juga memiliki risiko yang harus dihadapi, seperti inflasi yang tinggi atau ketidakstabilan ekonomi dan keuangan yang lebih besar.
Oleh karena itu, pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap, sebagai upaya untuk meminimalkan risiko dan memperkuat kedaulatan ekonomi negara-negara yang terlibat.
Di sisi lain, penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat, seperti memudahkan akses ke pasar keuangan global dan memberikan kekuatan politik dalam kebijakan ekonomi dan politik global.
Namun, ada beberapa kelompok di Amerika Serikat yang dirugikan oleh dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional.
Contohnya, seperti para eksportir yang keuntungannya menurun akibat nilai tukar yang terlalu tinggi dan konsumen yang terkena dampak akibat inflasi yang terjadi akibat penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional.
Oleh karena itu, ada dukungan untuk dedolarisasi atau pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS di Amerika Serikat. Namun, dedolarisasi memerlukan waktu yang lama dan dukungan dari banyak pihak, serta memiliki risiko yang harus dihadapi.
Secara keseluruhan, penggunaan dolar AS sebagai mata uang internasional masih mendominasi perdagangan global.
Namun, pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS dapat dilakukan dengan hati-hati dan bertahap, sebagai upaya untuk meminimalkan risiko dan memperkuat kedaulatan ekonomi negara-negara yang terlibat. [az]