Keberhasilan Bank Sentral Singapura (MAS/Monetary Authority of Singapura) untuk keempat kalinya dalam mengujicoba teknologi blockchain sebagai alternatif sistem pembayaran yang lebih efisien, ditanggapi beragam oleh pelaku industri blockchain di Indonesia. Sebagian dari mereka malah mendorong Bank Indonesia segera menerapkan teknologi itu di Nusantara.
Menurut Gabriel Rey, CEO Triv, apa yang telah dicapai oleh Bank Sentral Singapura (MAS) patut diacungi jempol. Dalam hal itu pula menurutnya Bank Indonesia sebagai bank sentral bisa mengikuti jejak langkah MAS. Tapi dengan sejumlah catatan penting.
“Menurut saya, jikalau Bank Indonesia ingin menerapkan teknologi blockchain sebagai alternatif sistem pembayaran, lebih baik tidak perlu menyisipkan ‘stablecoin rupiah‘, sebagai bentuk dari Central Bank Digital Currency (CBDC) ke dalamnya. Kita ketahui sendiri bentuk uang digital jenis stablecoin yang biasanya berbasis dolar AS telah menggunakan teknologi blockchain. Alasannya, karena uang rupiah sendiri bukanlah mata uang global seperti dolar AS. Ia tak digunakan secara luas. Lagipula, investor global juga tidak akan tertarik menggunakan rupiah kecuali penduduk Indonesia sendiri,”
Rey menambahkan, kalau penggunanya adalah penduduk indonesia saja, maka tidak perlu stablecoin rupiah, karena sudah ada server-based electronic money seperti GoPay, OVO dan lain-lain yang sudah berjalan sangat baik.
“Yang perlu dibenahi oleh Bank Indonesia adalah proses settlement antar negara di Asia Tenggara agar tidak bergantung pada dolar AS lagi. Saat ini kalau mengirimkan uang ke Malaysia masih mengonversi nilai tukar rupiah, lalu dolar AS, baru ringgit. Akan sangat menarik jika Bank Indonesia bisa mengembangkan teknologi blockchain untuk settlement langsung lintas mata uang di Asia Tenggara,” imbuh Rey.
Dimaz Ankaa Wijaya, Peneliti Blockchain dari Monash University, Australia berpendapat, Bank Indonesia tak perlu buru-buru menerapkan teknologi blockchain.
“Dalam konteks penerapan teknologi blockchain oleh bank sentral, menurut saya Bank Indonesia terlampau cepat jikalau melakukan hal yang sama seperti Bank Sentral Singapura. Indonesia kan baru meluncurkan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional), buat apa mau meloncat ke teknologi lain? Lagipula belum ada produk teknologi blockchain yang memuaskan,” jelas Dimaz.
Sementara itu, CCO Tokocrypto.com, Teguh Kurniawan Harmanda menyoroti soal efisiensi yang bisa dicapai, jikalau Bank Indonesia mau menerapkan teknologi blockchain.
“Transaksi kliring bank di Indonesia itu berkisar Rp6.500-Rp7.500, tergantung kebijakan setiap bank. Padahal menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/8/PBI/2019, BI sudah memangkas biaya layanan transfer menjadi Rp600 dari yang sebelumnya Rp1.000. Nah, jika Bank Indonesia menggunakan jaringan pembayaran blockchain, maka biaya transaksi pengiriman bisa hanya 1 digit rupiah,” jelas Teguh.
Pendiri Blockchain Zoo, Pandu Sastrowardoyo tak menampik adanya perlombaan penerapan teknologi blockchain dan Central Bank Digital Currency (CBDC) oleh sejumlah negara, salah satunya adalah Singapura, termasuk Kanada dan beberapa negara di Afrika.
“Setahu saya Bank Indonesia sudah mulai menjajaki dan mempelajari CBDC yang memanfaatkan teknologi blockchain. Tapi, jangan membayangkan penerapan itu bisa langsung berlaku di tingkatan retail, seperti pembayaran barang dan jasa oleh masyarakat,” jelasnya.
Menurut Pandu, kalau Bank Indonesia ingin membuat uang rupiah digital berbasis teknologi blockchain, kemungkinan nantinya diterapkan di tingkatan wholesale, bukan retail. Sebab jikalau diterapkan di retail, itu sama saja mengganggu sistem pembayaran digital lainnya, seperti GoPay, OVO dan lain sebagainya. Di atas itu semua, saya pribadi berharap Bank Indonesia lebih cepat menerapkan CBDC yang memanfaatkan teknologi blockchain ini,” jelasnya. [vins]