Pada 25 Juli 2019 lalu, Komando Kontraktor Angkatan Darat Amerika Serikat (ACC) New Jersey telah menerbitkan informasi kontrak karya untuk menyediakan layanan elektronik untuk melacak transaksi aset kripto, termasuk Bitcoin.
Menurut ACC, layanan elektronik itu akan digunakan oleh Komando Investigasi Kriminal Angkatan Darat AS (USACIDC) dalam penyelidikan kriminal serta kebutuhan lainnya.
ACC menyebutkan, bahwa kontraktor harus menyediakan layanan daring berbasis cloud, tidak bergantung pada perangkat keras atau perangkat lunak, yang dapat membantu militer dan penegak hukum dalam mengenali dan mengejar pelaku pengguna aset kripto untuk tujuan terlarang seperti penipuan, pemerasan dan pencucian uang.
“Kontraktor harus menyediakan sumber transaksi aset kripto, dengan kemampuan untuk melakukan analisis terhadap banyak aset kripto besar, termasuk Bitcoin. Persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah layanan tersebut harus mampu menampilkan pelacakan transaksi Bitcoin secara real time, termasuk pengenalan pola transaksi dan interaksi dengan entitas lainnya.
Pada tahun 2018, hasil kajian Diar mengungkapkan, bahwa sejumlah badan pemerintah Amerika serikat telah melipatgandakan investasi mereka di perusahaan-perusahaan blockchain untuk kebutuhan intelijen. Sebagian besar kontrak karya itu dipegang oleh Chainalysis, sebuah startup blockchain yang bermarkas di New York. Pada tahun 2018 nilai kontrak dengan Chainalysis itu mencapai US$5,3 juta.
Bahkan menurut Cointelegraph, pada Agustus 2019 Angkatan Udara AS menjalin kontrak baru dengan Simb Chain dan Constellation, untuk menangani manajemen data blockchain.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan berita sebelumnya, wacana penerapan teknologi blokchain di ranah militer pernah tercetus. Setidaknya wacana itu datang dari Kolonel Dr. Ir. Arwin Datumaya Wahyudi Sumari dari TNI AU.
“Mengingat rantai komando militer dari atas ke bawah dapat diserang oleh man in the middle attack, maka blockchain dapat menjadi solusi terhadap masalah itu,” kata Arwin dalam acara BlockJakarta yang digelar di Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Kamis (05/02).
Arwin mengungkapkan, Tiongkok saat ini tengah berencana menggunakan teknologi blockchain untuk operasi siber demi mengamankan transmisi data penting antar organ di tubuh militernya. Sedangkan Amerika Serikat menerapkan blockchain untuk sistem pembelian senjata agar memastikan alat pertahanan yang dibeli adalah asli. [Cointelegraph/vins]