Pertanyaan ini bergelayut hingga detik ini: apakah penambangan Bitcoin semakin sentralistik daripada sebelumnya?
Pihak-pihak yang menjawab, bahwa kekuatan penambangan Bitcoin saat ini sangat sentralistik mengacu pada besaran hash rate blockchain Bitcoin yang lebih dari 50 persen berasal dari Tiongkok.
Hari ini Bloomberg mencoba masuk ke wilayah jawaban seperti itu, berdasarkan data yang dilansirnya dari Deer.com. Website itu menjual jasa bitcoin cloud mining.
Bloomberg bilang begini: Lima entitas penambangan, yakni AntPool, BTC.com, BTC.top, F2 Pool dan ViaBTC tersedia melalui BitDeer. Ini mememungkinkan konsumen menyewa tenaga penambangan tanpa membeli atau menyiapkan perangkat keras penambangan Bitcoin.
BitDeer berperan efektif sebagai jaringan penghubung antara lima pool penambangan itu, yang masing-masing memungkinkan penambang individu untuk menarik sumber dayanya dan berbagi Bitcoin yang baru diterbitkan yang berfungsi sebagai reward (imbalan).
Masalahnya adalah, seorang penambang dengan lebih dari 50 persen hash rate berpotensi merusak jaringan blockchain Bitcoin. Itu meningkatkan kemungkinan adanya double spending dan menghentikan banyak transaksi sekaligus.
Ditambah dominasi oleh bursa-bursa aset kripto, kenyataan itu lantas disebut tidak selaras dengan semangat Bitcoin yang semestinya desentralistik. Tapi, seberapa desentralistik sebenarnya Bitcoin itu, sehingga dapat disebutkan berseberangan dengan sistem keuangan konvensional yang dikendalikan oleh negara?
Konteksnya Apa?
Bagi kami, sifat, nilai dan unsur sentralistik hadir di dalam objek dan konsep apapun di dunia ini, termasuk Bitcoin. Tetapi, sangat tidak elok, jika makna sentralistik dimaknai sempit karena ada dominasi penambang Bitcoin dari wilayah tertentu.
Jikalau kita setuju dengan makna sentralistik seperti itu, bukan berarti justru merugikan ekosistem Bitcoin. Mengapa, ya karena itu tadi, bahwa unsur sentralistik hadir di banyak hal. Dalam hal ini, ada dominasi penambangan Bitcoin dari wilayah tertentu adalah keunggulan dan kepercayaan komparatif dari Tiongkok.
Perhatikan, biaya listrik di sana lebih murah dan secara kebetulan pabrik alat penambangan Bitcoin terbesar memang berasal dari sana. Selain itu, Pemerintah Tiongkok sendiri tidak melarang aktivitas itu, karena memberikan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan lain sebagainya.
Di negara lain memang biaya listrik lebih murah, tapi tidak memiliki keunggulan komparatif, yakni harga alat penambang murah dan kebijakan negaranya.
Di Iran, misalnya penambangan Bitcoin diizinkan, tapi harga listrik akan dinaikkan (tetap lebih murah daripada di Tiongkok). Namun, ada pajak yang juga lebih besar dan tidak likuid, karena bursa kripto tak diizinkan berdiri di sana. Sedangkan di Tiongkok bursa kripto tetap berdiri tetapi diatur secara ketat.
Artinya, penambang Bitcoin dan pemerintah Tiongkok masing-masing mendapatkan keuntungan. Mereka saling mendukung. Inilah yang kami sebut sebagai bentuk kepercayaan diri mereka. Tak heran hash rate Bitcoin semakin meningkat dan itu membuat transaksi Bitcoin semakin aman. Itu bentuk kontribusi Tiongkok bagi dunia Bitcoin.
Lantas, dengan demikian apakah Bitcoin itu bersifat sentralistik? Ya, jikalau dalam konteks penambangan itu sendiri. Tapi, itu bukan berdampak pada memburuknya nilai Bitcoin secara umum. Dan itu diperlukan agar jaringan blockchain Bitcoin dapat bertahan. Kita masih memerlukan kontribusi para penambang dari Tiongkok.
Ada pula yang menilai bahwa dominasi itu berpeluang terjadinya 51 percent attack terhadap blockhain Bitcoin. Ya, peluang seperti itu ada, tetapi ada biaya dan resiko bencana yang juga bisa menimpa penambang Bitcoin itu sendiri.
Begini, untuk menumbangkan blockchain Bitcoin dan mengubah data transaksi di dalamnya, penambang Bitcoin perlu menguasai lebih dari separuh hash rate yang ada. Biayanya pun tidak murah, mencapai Rp289 miliar per hari.
Itu pun harus dilakukan dalam kendali penuh, terkoordinasi dalam periode waktu tertentu.
Faktanya saat ini berdasarkan data lain, hash rate penambangan Bitcoin secara global dikuasai oleh penambang dari Tiongkok yang mencapai 2/3 atau sekitar 66,66 persen. Ini bermakna penambang Bitcoin dari Tiongkok, kalau mereka mau, mereka bisa melakukan 51 Percent Attack terhadap blockchain Bitcoin.
Jika Anda bertanya mengapa mereka tak mau menyerang, jawabannya sederhana, karena akan akan kekacaubalauan terhadap ekosistem Bitcoin itu sendiri, termasuk ekosistem aset kripto secara umum. Dan akan muncul ketidakpercayaan terhadap Bitcoin, yang pada akhirnya menurunkan nilai dan derajat Bitcoin itu sendiri. Penambang Bitcoin justru rugi sendiri.
Pun demikian, peluang keberhasilan 51 Percent Attack juga tak pasti. Artinya, dengan mempertimbangkan biaya sebesar Rp289 miliar per hari, kemudian peluang munculnya kekacaubalauan dan ketidakpastian peluang, maka para peretas harus berpikir ribuan kali.
Kita bisa menyebut Bitcoin masih desentralistik dalam konteks di luar itu, yakni aspek kendalinya. Bitcoin tidak dikendalikan secara langsung dan sentralistik oleh negara manapun. Ia hanya dikendalikan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok. Itu laju transaksinya bersifat peer-to-peer, antara saya dan Anda.
Lagi, tidak ada bank di situ. Tak ada pula bank sentral di sana. Bahkan untuk mengirimkan Bitcoin senilai triliunan rupiah, biaya transfernya hanya beberapa ratus ribu rupiah. Ia lebih murah dan lebih cepat daripada layanan bank biasa.
Nah, apakah penambang Bitcoin dari Tiongkok, dengan peluang melakukan 51 percent attack ingin membalikkan keunggulan Bitcoin itu?
Sistem blockchain Bitcoin tidak ada yang berubah. Ia tetap peer-to-peer. Maka, nilai yang dikandungnya tetap desentralistik, karena cara kerjanya berbeda dengan pembuatan dan kebijakan mata uang konvensional.
Kesimpulan di sini adalah, sangat keliru jikalau menyebutkan Bitcoin menjadi sentralistik hanya gara-gara ada dominasi penambang Bitcoin dari wilayah tertentu. Kita perlu mengkaji aspek lain, yakni asas/fundamen peranti lunak Bitcoin itu sendiri. [red]