Matthew Ferranti, ekonom di US Intelligence Community, menawarkan argumen kuat Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral sejumlah negara. El Salvador, secara parsial, dapat dijadikan sebagai contoh, karena memiliki program pembelian BTC setiap hari sejak 27 September 2024, selain menjadikan kripto itu sebagai legal tender sejak 2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, Bitcoin semakin diperhitungkan dalam dunia keuangan global. Sebagai aset digital yang paling dikenal, Bitcoin telah menarik perhatian tidak hanya dari investor ritel tetapi juga dari lembaga keuangan besar, termasuk bank sentral. Meskipun Bitcoin menawarkan potensi diversifikasi yang menarik sebagai aset cadangan bank sentral, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi jika bank sentral memutuskan untuk menjadikannya sebagai aset cadangan pilihan.
Matthew Ferranti, seorang ekonom di US Intelligence Community menulis makalah menarik di Bitcoin Policy Institute (BPI) beberapa waktu lalu, yang membahas potensi Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral, mencatat bahwa Bitcoin dapat memberikan manfaat diversifikasi yang signifikan.
“Bitcoin dapat membantu bank sentral mendiversifikasi risiko yang terkait dengan inflasi, ketegangan geopolitik, dan sanksi finansial,” tulisnya.
Namun, Ferranti juga mengakui bahwa ada tantangan yang signifikan yang dihadapi dalam penerapan Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral.
Argumen Kuat untuk Bitcoin sebagai Aset Cadangan Bank Sentral
Salah satu argumen utama Ferranti adalah bahwa Bitcoin dapat berfungsi sebagai alat diversifikasi portofolio bagi bank sentral. Dalam analisis yang dilakukan oleh para peneliti di Federal Reserve Bank of New York, kutipnya, ditemukan bahwa harga Bitcoin tidak terpengaruh oleh banyak berita makroekonomi, kecuali yang berkaitan dengan inflasi.
Hal ini menunjukkan bahwa Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral dapat berfungsi sebagai aset yang tidak berkorelasi dengan aset lainnya, memberikan peluang bagi bank sentral untuk mengurangi risiko portofolio mereka.
“Bitcoin tidak memiliki risiko default, karena tidak mewakili klaim pada aliran kas di masa depan. Ini adalah aset yang terdesentralisasi dan dilindungi oleh proses penambangan yang cryptographically secure,” tambah Ferranti.
Hal ini menjadikan Bitcoin sebagai alternatif menarik dibandingkan aset tradisional seperti obligasi atau saham, yang memiliki risiko yang lebih jelas dan dapat diprediksi.
Bitcoin juga menunjukkan ketahanan terhadap sanksi finansial. Ferranti mencatat bahwa meskipun sanksi dapat mencegah entitas dari menerima aliran kas yang berasal dari aset yang disanksi, Bitcoin tetap dapat diperdagangkan sebagai aset cadangan bank sentral.
“Jika sekelompok penambang menolak untuk memproses transaksi ke atau dari dompet tertentu, pemilik dompet tersebut dapat menawarkan biaya transaksi yang lebih tinggi untuk memotivasi penambang lain,” jelasnya.
Ini menunjukkan bahwa Bitcoin dapat berfungsi sebagai alat untuk menghindari sanksi yang sering kali menghambat arus keuangan internasional.
Lebih lanjut, Ferranti menyoroti kemampuan Bitcoin untuk berfungsi sebagai lindung nilai terhadap risiko geopolitik. Dalam riset yang dilakukan, ia menemukan bahwa risiko geopolitik dapat memprediksi baik imbal hasil maupun volatilitas Bitcoin.
“Hanya lonjakan harga Bitcoin yang tergantung pada lonjakan dalam indeks risiko geopolitik,” katanya, menunjukkan bahwa Bitcoin memiliki posisi unik di antara aset-aset kripto lainnya, menjadikannya pilihan yang menarik untuk bank sentral.
Tantangan Cukup Pelik
Meskipun Bitcoin menawarkan berbagai keuntungan sebagai aset cadangan bank sentral, tantangan yang dihadapinya cukup signifikan. Salah satu tantangan utama adalah volatilitas harga yang tinggi. Meskipun Bitcoin dapat memberikan diversifikasi, fluktuasi harga yang ekstrem, terutama selama periode ketidakpastian global, dapat membahayakan stabilitas portofolio bank sentral.
Sejak awal pandemi Covid-19, harga Bitcoin mengalami penurunan drastis, yang menimbulkan pertanyaan tentang keandalan Bitcoin sebagai aset pelindung.
Selama pandemi, korelasi antara Bitcoin dan pasar saham meningkat, mengurangi manfaat diversifikasi yang ditawarkan Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral.
Ferranti mengindikasikan bahwa meskipun korelasi ini telah menurun pada tahun 2023, ada periode di mana Bitcoin berkorelasi tinggi dengan aset tradisional, yang menunjukkan bahwa Bitcoin tidak selalu dapat diandalkan dalam situasi krisis.
“Bitcoin tidak menawarkan diversifikasi terhadap semua jenis guncangan ekonomi,” tambah Ferranti. Namun, fakta bahwa kinerjanya tidak terhubung dengan fundamental makroekonomi seperti aset keuangan lainnya menunjukkan bahwa Bitcoin dapat memberikan manfaat diversifikasi,” tukasnya.
Selain itu, tidak semua bank sentral atau negara mungkin melihat Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral yang sesuai. Ketidakpastian dalam pengakuan global terhadap Bitcoin sebagai aset yang layak dapat menghambat adopsi lebih lanjut. Ferranti mencatat, ada ketergantungan pada infrastruktur perdagangan cryptocurrency agar dapat ditukarkan dengan mata uang asing, yang mungkin tidak selalu tersedia.
Contoh Praktis: El Salvador Punya BTC Rp6,2 Triliun!
Meskipun tantangan tersebut, El Salvador telah mengambil langkah berani untuk mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah dan sebagai bagian dari strategi aset cadangan bank sentral.
Pada September 2021, El Salvador menjadi negara pertama di dunia yang mensahkan Bitcoin sebagai legal tender. Langkah ini diambil dalam upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan menarik investasi asing.
Sejak 27 September 2024, pemerintah El Salvador bahkan membeli BTC setiap hari, menunjukkan komitmen mereka untuk memperkuat cadangan negara dengan aset digital ini.
Presiden El Salvador, Nayib Bukele, mengklaim bahwa penggunaan Bitcoin akan membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi negaranya, termasuk pengurangan biaya pengiriman uang bagi warga negara yang bekerja di luar negeri. Namun, kebijakan ini juga mendapat kritik karena risiko volatilitas harga yang tinggi dan dampak lingkungan dari proses penambangan Bitcoin.
“Keberanian El Salvador untuk mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran dan sebagai aset cadangan bank sentral menunjukkan bahwa ada potensi bagi negara-negara lain untuk mengeksplorasi penggunaan Bitcoin sebagai bagian dari strategi cadangan mereka,” kata Ferranti. Namun, ia juga menekankan pentingnya kebijakan yang hati-hati dalam pengelolaan risiko yang terkait dengan aset digital.
Berdasarkan pantauan redaksi Blockchainmedia.id dari laman resmi Kantor Bitcoin El Salvador, per Sabtu (26/10/2024) negeri itu memiliki sebanyak 5.914,76 BTC yang setara dengan US$394.745.487 atau Rp6,2 triliun!
Bagi Ferranti, Bitcoin menunjukkan potensi sebagai aset cadangan bank sentral yang dapat membantu bank sentral mendiversifikasi risiko yang dihadapi dalam dunia keuangan yang semakin kompleks.
Dengan sifatnya yang unik (jumlah terbatas, hanya akan ada 21 juta BTC dan diterbitkan secara periodik melalaui mekanisme Halving dan pasti), Bitcoin dapat memberikan perlindungan terhadap inflasi, risiko geopolitik, dan sanksi finansial. Namun, tantangan yang terkait dengan volatilitas harga, pengakuan global, dan kebutuhan untuk infrastruktur yang tepat harus diperhitungkan dengan cermat.
Seiring dengan contoh yang ditunjukkan oleh El Salvador, adopsi Bitcoin sebagai aset cadangan bank sentral dapat memberikan wawasan berharga bagi negara-negara lain yang mempertimbangkan langkah serupa.
Namun, kesuksesan jangka panjang akan bergantung pada kebijakan yang bijaksana dan pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat yang terlibat.
Seperti yang disimpulkan oleh Ferranti, “Bitcoin dapat memberikan manfaat diversifikasi sebagai aset cadangan bank sentral, tetapi pengelolaan yang hati-hati sangat penting untuk mencapai hasil yang positif.” [ps]