Presiden AS, Donald Trump, telah mengancam akan memberlakukan tarif impor sebesar 35 persen terhadap produk dari Jepang jika kesepakatan dagang baru tidak tercapai sebelum 9 Juli 2025.
Ancaman ini muncul menjelang berakhirnya masa penangguhan tarif 10 persen yang diberlakukan sejak awal tahun, memicu ketegangan baru dalam hubungan ekonomi antara dua mitra dagang utama dunia.
Trump menyampaikan bahwa batas waktu tersebut tidak akan diperpanjang. Jika Jepang gagal memenuhi tuntutan AS, maka tarif yang lebih tinggi akan segera diberlakukan, terutama terhadap produk otomotif.
“Jepang sudah terlalu lama dimanja. Mereka telah merampok kita selama 30, 40 tahun,” ujar Trump, dilansir dari IB Times.
Kebijakan tersebut diyakini akan berdampak signifikan terhadap perdagangan bilateral serta stabilitas pasar global.
Jepang Tegaskan Perlindungan Kepentingan Nasional
Menanggapi ancaman tersebut, Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, menegaskan komitmennya untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya terhadap investasi dan ekspor strategis Jepang. Ia menyatakan bahwa pemerintah Jepang tidak akan membiarkan kebijakan sepihak AS mengganggu stabilitas ekonomi negaranya.
“Jepang akan melindungi kepentingan nasionalnya dalam negosiasi yang sedang berlangsung,” ujar Ishiba.
Ishiba juga menyoroti bahwa Jepang telah melakukan delapan kali pertemuan tingkat tinggi dengan tim negosiasi dari AS sejak awal tahun. Namun hingga kini, belum tercapai kesepakatan dagang yang baru.
Jepang mendorong penyelesaian melalui jalur diplomatik dan tetap berupaya membuka ruang kerja sama yang saling menguntungkan. Namun, pemerintah juga membuka opsi untuk menempuh jalur hukum internasional jika tarif baru benar-benar diberlakukan.
Ancaman tarif ini langsung memicu volatilitas di pasar keuangan. Indeks Nikkei di Tokyo mengalami tekanan jual sejak pengumuman Trump tersebut, sementara yen juga menunjukkan gejolak terhadap dolar AS.
Para analis memperkirakan bahwa jika kebijakan tarif 35 persen diterapkan, dampaknya bisa menekan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang hingga satu poin persentase.
Sektor otomotif menjadi sorotan utama karena ekspor mobil Jepang ke AS merupakan salah satu pilar utama dalam hubungan dagang kedua negara.
Di sisi lain, ketidakpastian terhadap rantai pasok global membuat banyak investor mengambil posisi defensif. Situasi ini menciptakan tekanan tambahan pada pasar keuangan Asia secara keseluruhan.
Imbas ke Pasar Kripto: Ketidakpastian Picu Peningkatan Permintaan
Kondisi geopolitik yang memanas antara AS dan Jepang juga memberi dampak tersendiri terhadap pasar kripto. Beberapa analis mencatat bahwa investor mulai mengalihkan aset mereka dari instrumen tradisional ke aset digital seperti Bitcoin dan stablecoin sebagai bentuk lindung nilai terhadap ketidakpastian global.
Volume perdagangan di bursa kripto Jepang tercatat meningkat dalam 24 jam terakhir, menyusul jatuhnya nilai indeks saham utama.
Di samping itu, Jepang merupakan salah satu negara dengan regulasi aset digital yang paling maju. Ketegangan ini berpotensi memperkuat narasi penggunaan kripto sebagai alternatif sistem pembayaran lintas negara jika hubungan dagang terganggu.
Stablecoin seperti USDT dan USDC diperkirakan akan mengalami lonjakan permintaan di wilayah Asia jika gangguan perdagangan benar-benar terjadi dan memengaruhi transaksi lintas batas.
Dengan tenggat waktu yang semakin dekat, dunia menanti langkah selanjutnya dari kedua belah pihak. Jika tidak ada kesepakatan hingga 9 Juli 2025, kebijakan tarif Trump akan kembali diberlakukan dengan skala lebih besar.
Pemerintah Jepang telah memperingatkan bahwa mereka siap mengambil langkah balasan, termasuk mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sejumlah pengamat menilai bahwa kondisi ini bisa menjadi awal dari babak baru perang dagang global, serupa dengan ketegangan dagang AS dan Tiongkok di masa lalu.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan di sektor manufaktur, tetapi juga berpotensi mengguncang sistem keuangan global, termasuk ekosistem aset digital yang tengah berkembang pesat. [st]