ASEAN Bakal Tak Pakai Dolar AS, Green Back Siap Terkapar?

Agenda ASEAN kali ini jelas bukan main-main, karena organisasi negara-negara Asia Tenggara ini serius bakal tak pakai dolar AS lagi untuk urusan transaksi perdagangan antar negara. Lantas, green back siap terkapar setelah berkuasa selama puluhan tahun?

Belum dingin kabar sebelumnya soal Rusia dan Tiongkok perkuat perdagangan antar negara dengan tidak menggunakan dolar AS, pada Rabu (29/3/2023) ASEAN mengumumkan secara resmi agenda utama mereka, yakni pembahasan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, euro, yen, dan pound dalam transaksi keuangan dan beralih ke penyelesaian (settlement) dalam mata uang lokal.

Itu dibahas di pertemuan resmi tingkat tinggi seluruh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN yang dimulai pada Selasa (28/3/2023) di Indonesia.

Secara praktis itu ibarat ‘upgrade‘ menyeluruh terhadap konsep yang berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, misalnya perdagangan antara Indonesia dan Malaysia tanpa menggunakan dolar AS, melainkan mata uang masing-masing negara. Upgrade ini berlangsung pada tataran organisasi raksasa dan mempengaruhi banyak negara.

Itu sebab pada pertemuan itu dibahas untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang utama melalui skema Local Currency Transaction (LCT) alias Transaksi Mata Uang Lokal (TMUL). Ini merupakan perpanjangan dari skema Local Currency Settlement (LCS) alias Penyelesaian Mata Uang Lokal (PMUL) yang sebelumnya yang sudah mulai diterapkan antara anggota ASEAN.

Ini bermakna, sistem pembayaran digital antar negara-negara anggota ASEAN akan diperluas lebih lanjut dan memungkinkan negara-negara ASEAN untuk menggunakan mata uang lokal masing-masing untuk perdagangan.

Kesepakatan tentang kerja sama tersebut telah dicapai antara Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand pada November 2022 lalu.

Hal ini berdasarkan pernyataan regulator perbankan Indonesia pada 27 Maret 2022 yang menyatakan bahwa Bank Indonesia sedang mempersiapkan sistem pembayaran domestiknya sendiri, sebagai lambang berdikari sebuah bangsa.

Presiden Indonesia Joko Widodo sendiri telah mengimbau pemerintah daerah untuk mulai menggunakan kartu kredit yang diterbitkan oleh bank lokal dan secara bertahap berhenti menggunakan sistem pembayaran asing, seperti Visa dan Mastercard.

Jokowi berpendapat bahwa Indonesia perlu melindungi dirinya dari gangguan geopolitik dan terkait sanksi yang menargetkan sektor keuangan Rusia dari AS, Uni Eropa dan sekutunya atas konflik di Ukraina.

Dari negara-negara ASEAN, memang hanya Singapura yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia, sementara semua negara ASEAN lainnya terus melakukan perdagangan dengan negara tersebut.

Ada kekhawatiran terperangkap dalam ‘sanksi sekunder’ yang dipimpin oleh AS, seperti yang akan mempengaruhi negara-negara Asia Tengah dan Selatan yang terlibat dalam industri produksi kapas, sebuah industri utama di wilayah tersebut yang menyerap jutaan pekerjaan.

Dolar AS dan Local Currency Settlement (LCS)

Local Currency Settlement (LCS) adalah sistem pembayaran yang memungkinkan transaksi dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara yang terlibat dalam perdangan, tanpa harus menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing seperti dolar AS, euro, yen, atau pound. Dalam konteks ASEAN, LCS berarti transaksi antar negara anggota ASEAN akan menggunakan mata uang lokal masing-masing.

Contoh yang nyata dari LCS dalam konteks ini adalah perdagangan antara Indonesia dan Malaysia tanpa menggunakan dolar AS, melainkan menggunakan rupiah dan ringgit.

Dalam sistem LCS, pembayaran dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal dan tidak perlu menukar mata uang tersebut menjadi mata uang asing. Dengan menggunakan LCS, negara-negara ASEAN dapat mengurangi ketergantungan terhadap mata uang asing dan meningkatkan penggunaan mata uang lokal di dalam perdagangan antar negara anggota ASEAN. Ini juga dapat membantu melindungi negara-negara anggota ASEAN dari dampak sanksi ekonomi yang mungkin diberlakukan oleh negara-negara asing.

Contoh lain yang sederhana dari LCS antara Indonesia dan Thailand adalah perdagangan antara kedua negara dalam industri tekstil. Misalnya, Indonesia menjual produk tekstil ke Thailand dalam mata uang rupiah, sedangkan Thailand membayar dalam mata uang baht.

Dalam hal ini, LCS memungkinkan perdagangan antara kedua negara dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal masing-masing tanpa perlu menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing seperti dolar AS atau euro.

Hal ini dapat mengurangi biaya transaksi dan risiko fluktuasi nilai tukar, serta meningkatkan kepercayaan antara kedua belah pihak.

Apa Itu Local Currency Transaction (LCT)?

Local Currency Settlement (LCS) dan Local Currency Transaction (LCT) adalah konsep penting dalam perdagangan internasional. LCS merujuk pada proses pembayaran yang dilakukan dalam mata uang lokal antara dua belah pihak, tanpa harus menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing. Sedangkan LCT merujuk pada transaksi yang dilakukan dalam mata uang lokal, baik itu di dalam suatu negara maupun antara negara-negara yang menggunakan mata uang yang sama.

Kedua konsep tersebut memiliki hubungan erat dengan faktur (invoicing) dan penawaran harga (quotes). Dalam LCS, faktur biasanya dikeluarkan dalam mata uang lokal, yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam proses pembayaran antar negara. Ini berarti bahwa jika barang atau jasa dihargai dalam mata uang lokal, pembayaran akan dilakukan dalam mata uang yang sama tanpa perlu menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing.

Dalam LCT, faktur juga dikeluarkan dalam mata uang lokal. Namun, dalam LCT, pembayaran dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal, baik itu di dalam suatu negara maupun antara negara-negara yang menggunakan mata uang yang sama. Ini berarti bahwa jika barang atau jasa dihargai dalam mata uang lokal, pembayaran akan dilakukan dengan menggunakan mata uang yang sama tanpa perlu menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing.

Dalam hal penawaran harga, LCS dan LCT dapat mempengaruhi cara harga ditawarkan. Jika harga ditawarkan dalam mata uang lokal, ini berarti bahwa harga tersebut sudah mencakup risiko nilai tukar dan fluktuasi mata uang. Dalam hal ini, penjual akan menetapkan harga yang cukup untuk menutupi biaya produksi dan risiko nilai tukar. Namun, jika harga ditawarkan dalam mata uang asing, risiko nilai tukar dapat dialihkan kepada pembeli.

LCS dan LCT adalah konsep penting dalam perdagangan internasional. Keduanya berkaitan dengan proses pembayaran dalam mata uang lokal, namun LCS lebih menekankan pada proses pembayaran antar negara, sementara LCT lebih menekankan pada transaksi di dalam suatu negara atau antara negara-negara yang menggunakan mata uang yang sama. Kedua konsep ini juga memiliki hubungan yang erat dengan faktur dan penawaran harga, di mana penawaran harga dan faktur biasanya dikeluarkan dalam mata uang lokal.

Berikut contoh spesifiknya. Misalnya, sebuah perusahaan Indonesia menjual produk kepada perusahaan Malaysia dengan harga 100 juta rupiah. Dalam LCS, pembayaran akan dilakukan dalam mata uang lokal masing-masing, yaitu dalam rupiah dan ringgit. Dalam hal ini, perusahaan Malaysia akan membayar 100 juta rupiah kepada perusahaan Indonesia tanpa harus menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing seperti dolar AS atau euro.

Sedangkan dalam LCT, sebuah perusahaan Indonesia menjual produknya kepada konsumen Indonesia lainnya dengan harga 100 juta rupiah. Dalam hal ini, pembayaran akan dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal, yaitu rupiah. Perusahaan Indonesia dan konsumen Indonesia lainnya sama-sama menggunakan rupiah sebagai mata uang transaksi. Oleh karena itu, tidak perlu menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing.

Dalam kedua contoh di atas, faktur dan penawaran harga akan dikeluarkan dalam mata uang lokal, yaitu rupiah dalam kasus Indonesia. Ini berarti bahwa harga yang ditawarkan sudah mencakup risiko nilai tukar dan fluktuasi mata uang, dan pembayaran akan dilakukan dengan menggunakan mata uang yang sama, tanpa perlu menukarkan mata uang tersebut menjadi mata uang asing.

LCS dan LCT, Dolar AS Terkapar?

LCS (Local Currency Settlement) dan LCT (Local Currency Transaction) dapat berdampak pada penggunaan Dolar AS di perdagangan internasional. Sebagai mata uang cadangan dunia dan mata uang yang dominan dalam perdagangan internasional, Dolar AS masih menjadi mata uang utama yang digunakan dalam transaksi internasional, khususnya dalam perdagangan minyak mentah, misalnya.

Namun, penggunaan LCS dan LCT dapat mengurangi ketergantungan pada Dolar AS dalam perdagangan internasional. Dalam LCS, pembayaran dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal, sehingga mata uang asing tidak perlu digunakan sebagai perantara dalam pembayaran antar negara. Dalam LCT, transaksi dilakukan dalam mata uang lokal, sehingga mata uang asing tidak perlu digunakan sebagai perantara dalam transaksi di dalam suatu negara atau antara negara-negara yang menggunakan mata uang yang sama.

Dalam jangka panjang, penggunaan LCS dan LCT dapat membantu negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada Dolar AS dan meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional. Namun, Dolar AS masih akan tetap menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional, terutama dalam perdagangan antara negara-negara yang memiliki mata uang yang lebih lemah atau tidak stabil.

Sepanjang sejarahnya, nilai tukar dolar AS telah mengalami fluktuasi yang signifikan terhadap mata uang lainnya.

Pada awal 1980-an, nilai tukar dolar AS mengalami kenaikan yang signifikan terhadap mata uang lainnya, termasuk yen Jepang dan mark Jerman. Namun, pada pertengahan 1980-an, nilai tukar dolar AS mulai turun dan terus mengalami fluktuasi hingga saat ini.

Penurunan nilai dolar AS sejak tahun 1980-an disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari inflasi dan ketegangan politik antara negara.

Perihal inflasi sebagai tanda penurunan daya beli uang seiring berjalannya waktu, yang mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Inflasi adalah fenomena alami dalam perekonomian dan salah satu alasan utama mengapa nilai dolar AS menurun sejak 1980-an.

Purchasing Power of the U.S. Dollar Over Time

Bank sentral AS (Federal Reserve) memiliki kebijakan moneter yang mempengaruhi nilai dolar. Dalam beberapa dekade terakhir, Federal Reserve telah mengadopsi kebijakan suku bunga rendah dan pelonggaran kuantitatif untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Meskipun kebijakan ini efektif dalam meningkatkan pertumbuhan, tetapi justru melemahkan nilai dolar AS. Ini pula yang membuat nilai aset-aset berisiko, seperti Bitcoin dan jenis crypto lainnya menguat.

Defisit anggaran juga faktor penyebab lainnya. Pemerintah AS telah mengalami defisit anggaran yang besar dalam beberapa dekade terakhir, yang berarti bahwa pengeluaran pemerintah lebih besar daripada pendapatan. Defisit anggaran ini mempengaruhi nilai tukar dolar AS, karena mereka menyebabkan peningkatan hutang dan mengurangi kepercayaan investor.

Belum lagi terkait neraca perdagangan AS yang telah mengalami defisit yang besar dalam beberapa dekade terakhir, yang berarti impor lebih besar daripada ekspor. Hal ini dapat melemahkan nilai dolar AS, karena peningkatan permintaan mata uang asing untuk membayar impor mengurangi permintaan untuk dolar.

Ketidakpastian politik dan ekonomi juga turut memengaruhi, seperti perang dagang atau krisis ekonomi, yang dapat menyebabkan investor mencari aset yang dianggap lebih aman, seperti emas atau mata uang lain, sehingga melemahkan nilai dolar AS.

Dampak LCS dan LCT terhadap Dolar AS tergantung pada seberapa besar dan efektif penggunaan LCS dan LCT dalam perdagangan internasional dan seberapa besar pengaruhnya pada penggunaan Dolar AS sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional.

Inflasi Parah Bakal Terjadi, Harga Bitcoin Diramalkan Jadi US$1 Juta dalam 90 Hari

Kelemahan Sistem LCS dan LCT

Sistem LCS dan LCT memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, mulai dari risiko nilai tukar hingga masalah regulasi.

Penggunaan LCS dan LCT dapat meningkatkan risiko nilai tukar antara mata uang yang terlibat dalam transaksi. Jika nilai tukar mata uang berfluktuasi, hal ini dapat berdampak pada harga produk atau jasa, serta pada keuntungan atau kerugian yang diterima oleh pihak yang terlibat dalam transaksi.

Meskipun penggunaan LCS dan LCT dapat mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan internasional, namun masih terdapat biaya tambahan seperti biaya konversi mata uang dan biaya administrasi yang dapat menambah biaya transaksi.

Sistem LCS dan LCT hanya dapat diterapkan pada negara-negara yang memiliki mata uang yang stabil dan diterima secara internasional. Negara-negara yang memiliki mata uang yang tidak stabil atau tidak diterima secara internasional mungkin kesulitan untuk menerapkan sistem LCS dan LCT.

Penggunaan LCS dan LCT membutuhkan infrastruktur dan teknologi yang memadai untuk memfasilitasi transaksi. Negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur dan teknologi yang memadai mungkin kesulitan untuk menerapkan sistem LCS dan LCT.

Penggunaan LCS dan LCT dapat memerlukan perubahan regulasi dan peraturan dalam sektor keuangan dan perdagangan internasional. Hal ini dapat memerlukan waktu dan usaha yang cukup besar untuk diterapkan di negara-negara yang terlibat dalam transaksi.

Meskipun LCS dan LCT memiliki manfaat dalam mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dalam perdagangan internasional, namun juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya.

Kilas Balik Sejarah

Sejarah LCS dan LCT dapat ditelusuri kembali ke awal abad ke-20 ketika beberapa negara memutuskan untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dalam perdagangan internasional. Namun, penggunaan LCS dan LCT secara luas baru terjadi pada dekade terakhir ini.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan infrastruktur keuangan, penggunaan LCS dan LCT semakin umum dalam perdagangan internasional. Beberapa organisasi seperti Bank for International Settlements (BIS) dan International Chamber of Commerce (ICC) mempromosikan penggunaan LCS dan LCT dalam perdagangan internasional.

Negara-negara di Asia, termasuk ASEAN, juga mulai menerapkan LCS dan LCT untuk memperkuat perdagangan regional dan mengurangi ketergantungan pada mata uang asing. Pada 2014, ASEAN dan Tiongkok menandatangani perjanjian LCS yang memungkinkan pembayaran antara negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok dilakukan dalam mata uang lokal.

Pada tahun 2019, ASEAN dan Jepang juga menandatangani perjanjian LCS yang memungkinkan pembayaran antara negara-negara anggota ASEAN dan Jepang dilakukan dalam mata uang lokal. Selain itu, beberapa negara di Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, dan India juga mulai menerapkan LCS dan LCT dalam perdagangan internasional.

Yang pasti, penggunaan LCS dan LCT akan semakin umum dalam perdagangan internasional, dan negara-negara di Asia termasuk ASEAN menjadi salah satu pelopor dalam menerapkannya, entah itu karena dolar AS tak lagi relevan dalam perdagangan global yang dinamis dan kompleks saat ini. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait