Nilai sektor DeFi (Decentralized Finance) kini menjadi US$900 juta (Rp13,8 triliun) sejak pertengahan Maret 2020. DeFi adalah aplikasi investasi berbasis teknologi blockchain dan aset kripto.
Data pertumbuhan pesat itu berdasarkan Total Value Locked (TVL) dari 27 DeFi yang dipantau oleh DeFi Pulse. TVL direpresentasikan dengan dolar AS berdasarkan nilai tukar aset kripto yang dijaminkan (collateralized) di DeFi itu, seperti Ether (ETH), Bitcoin (BTC) dan DAI.
Informasi yang menarik dari data itu adalah, bahwa sejak pertengahan Maret 2020, TVL-nya bertumbuh cepat dari terendah US$531 juta (17 Maret 2020) menjadi lebih dari US$900 juta (4 Juni 2020). Dengan kata lain, naik lebih dari 69 persen (Rp5,1 triliun) kurang dari 90 hari.
Kenaikan itu mencerminkan pulihnya kepercayaan diri publik untuk berinvestasi di sektor DeFi ini, setelah keruntuhan besar pasar aset kripto pada 10-17 Maret 2020. Ketika itu TVL ambruk dari US$934 juta menjadi US$531 juta, sekitar 43 persen (Rp5,6 triliun).
Berdasarkan data dari DefiPulse, DeFi “bermerek” Maker yang berkategori lending, masih memimpin dengan TVL mencapai US$530 juta. Maker disusul masing-masing oleh Synthetic (US$133 juta) dan Compound (US$111 juta).
Dari ratusan DeFi yang ada ekosistem aset kripto, DeFi Pulse hanya menerbitkan data dari 27 DeFi untuk kategori Lending, DEX, Derivative, Payment dan Asset.
Berinvestasi di DeFi bukannya tanpa risiko. Sejumlah investor di DeFi “bermerek” DForce (datanya tersedia juga di DeFi Pulse), misalnya kehilangan dana senilai Rp387 miliar pada 19 April 2020.
Penyebabnya adalah adanya celah keamanan pada kode smart contract yang mereka gunakan, sehingga memungkinkan peretas mencuri dana itu. Namun, perusahaan pengelola DForce akhirnya menggantirugi pada 28 April 2020. [red]