Uni Eropa satu suara dalam pertemuan di Jerman beberapa hari lalu. Mereka bilang bahwa penerbitan mata uang digital euro harus diatur secara ketat. Proyek Libra-Facebook pun turut jadi sorotan. Ke depan lobi-lobi swasta dipastikan kian kental.
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Uni Eropa menyebutkan bahwa upaya pihak swasta untuk menerbitkan mata uang digital bernilai fiat money seperti euro harus dikendalikan diawasi secara penuh. Pasalnya, penerbitan uang dalam wujud apapun, tanpa dari negara bisa mengancam stabilitas keuangan.
“Bank Sentral Eropa akan menjadi satu-satunya lembaga yang diizinkan untuk menerbitkan mata uang, dan bahwa kegiatan lain harus dilarang, jika itu merusak tatanan sistem keuangan,” sebut Uni Eropa, dilansir dari Bloomberg, 11 September 2020.
Bahkan Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire menegaskan bahwa kendali keuangan tidak boleh dilemahkan oleh proyek apapun termasuk proyek Libra. Ucapan Bruno tak berubah seperti pada tahun lalu.
“Apa yang menjadi tanggung jawab negara tetaplah menjadi tanggung jawab negara,” Olaf Scholz, Menteri Keuangan Jerman.
Perihal mata uang digital adalah salah satu masalah utama yang dibahas oleh Uni Eropa di pertemuan di Kota Berlin di Jerman itu.
Bahkan Komisi Eropa, badan eksekutif di Uni Eropa, diharapkan secepat mungkin mengusulkan undang-undang tentang masalah ini dalam beberapa minggu mendatang.
Sedangkan Bank Sentral Eropa yang dipimpin oleh sang Presiden, Christine Lagarde yang juga mantan Direktur Eksekutif IMF, masih terus memperdebatkan apakah Uni Eropa perlu membuat mata uang digitalnya sendiri atau tidak.
Bank Sentral Eropa sebenarnya sudah sejak lama mewacanakan soal penerbitan euro digital (dalam konteks Central Bank Digital Currency/CBDC), yang kemungkinan besar menggunakan teknologi blockchain atau sejenis yang disebut Distributed Ledger Technology (DLT).
Itu yang menegaskan bahwa mereka tidak ingin tertinggal dalam inovasi terkini itu, khususnya dengan Bank Sentral Tiongkok yang sejak 2014 melaju cepat dengan ujicoba yuan digital-nya. Belum lagi menyebut langkah serupa oleh Jepang, Korea Selatan, Inggris, bahkan Singapura.
Christine Lagarde dalam pertemuan itu menekankan perlunya untuk mempercepat perubahan pembayaran global. Baginya, teknologi baru dapat meningkatkan efisiensi transaksi keuangan dan menempatkan Eropa di ujung tombak inovasi, tetapi juga dapat menanggung risiko.
“Eurosystem sejauh ini belum membuat keputusan apakah akan memperkenalkan euro digital. Tapi, seperti banyak bank sentral lain di seluruh dunia, kami sedang menjajaki manfaat, risiko, dan tantangan operasional untuk melakukannya. Kajian gugus tugas Eurosystem diharapkan dapat dipresentasikan kepada publik dalam beberapa minggu mendatang, diikuti dengan peluncuran konsultasi publik,” kata Lagarde, yang ketika ia masih di IMF, berkali-kali menyinggung efisensi di balik digitalisasi mata uang itu.
Inovasi versus Regulasi
Di satu sisi, sangat bisa dimaklumi betapa tidak mudahnya dan cepatnya menerbitkan euro digital yang kelak berdampak besar kepada jutaan warga negara anggota Uni Eropa. Lagipula euro adalah mata uang sangat berpengaruh di dunia, hingga dijadikan cadangan devisa.
Sedangkan Tiongkok dalam konteks politik relatif mudah, karena komando dari atas bersifat sentralistik dan mereka sudah siap sejak lama dengan pengayaan pembayaran elektronik.
Sedangkan Uni Eropa merasa perlu bertanya kepada publik soal ketergesaaan euro digital, padahal faktanya warga negara mereka sendiri sudah lazim menggunakan euro digital yang dibuat oleh perusahaan swasta.
Lihat saja Statis Euro (EURS) dan EuroTether (EURT) yang sudah membuktikan efisiensi pembayaran lintas negara yang murah dan cepat berkat teknologi blockchain. Kedua-dua lebih mudah diakses siapapun, termasuk di Indonesia. Peran bank sangatlah kecil di sini.
Adalah lazim inovasi di sektor swasta lebih mudah tumbuh dan marak daripada inovasi oleh negara yang sarat akan politik dan intrik, serta egosentris.
Dan ketika publik sendiri sudah membuktikan keunggulannya, tiba-tiba negara berkehendak melarang atas dasar ancaman terhadap kestabilan.
Memang Uni Eropa tidak menyoroti sejumlah inovasi “euro digital swasta” di kawasan mereka, tetapi lebih pada ancaman perluasan pengaruh Libra-Facebok di masa depan yang notabene berasal dari Amerika Serikat.
Memang proyek blockchain-aset kripto Libra itu belum “full” meluncur, tapi Libra sudah menegaskan bahwa euro dalam satu satu mata uang yang diusungnya, selain dolar AS dan yen. Dan itu berpotensi dipadukan di Facebook, Instagram dan WhatsApp dengan total “jumlah jemaat” mencapai miliaran jiwa. Ini pasar yang sangat potensial dan lebih mempermudah distribusinya.
Ke depan dapat dipastikan lobi-lobi pihak swastalah yang terjadi dengan regulator termasuk bank sentral. Dan ini sudah terjadi antara Libra Association, Facebook, Kongres dan The Fed, sehingga memampukan Libra beradaptasi demi menyalanya lampu hijau.
Alih-alih bank sentral membuat sendiri mata uang digital-nya, langkah praktis adalah menggunakan sistem swasta yang sudah ada saat ini. Bank sentral cukup sebagai pengawasnya saja, memiliki cukup kendali terhadap sistem. Mungkin. [red]