Bank DBS sangat gamblang menggambarkan adopsi Bitcoin Cs (aset kripto) saat ini. Mereka bilang adopsinya cepat karena dipicu oleh pandemi COVID-19 yang praktis menggetarkan ekonomi global. Yuan digital juga disebut upaya Tiongkok melawan dominasi dolar AS.
Hal itu disampaikan DBS dalam laporan kuartalannya tentang aset kripto yang diterbitkan Agustus 2020 lalu.
Pandangan oleh bank raksasa asal Singapura itu patut disimak, setidaknya mencerminkan pelaku pasar tradisional terhadap pasar aset kelas baru, yakni aset kripto.
Bahkan DBS membuat catatan khusus pada laporan itu, bahwa kemajuan teknologi keuangan telah membuat gagap industri bank. Mereka benar-benar merasa terdisrupsi.
“Bank sentral telah memimpin penciptaan uang melalui sarana digital selama lebih dari setengah abad. Hari ini mereka sekaligus bermasalah dan tertarik dengan inovasi dan ekspansi yang terjadi dalam teknologi keuangan,” sebut DBS dalam laporan itu.
Menurut DBS lagi, otoritas moneter sedang mengejar, ingin mempertahankan kendali atas suplai uang dan transaksi. Mata uang digital sektor swasta, setelah bertemu dengan banyak skeptisisme dari sektor formal, telah menemukan daya tarik, meskipun tidak sepenuhnya diatur sehubungan dengan standar, regulasi, dan penerimaan.
Khusus aset kripto, DBS juga menyoroti hal penting ini, bahwa Asia adalah pasar pembayaran digital terbesar di dunia, dengan Tiongkok mencakup hampir setengah dari nilai transaksi dunia.
“Diukur oleh lalu lintas, likuiditas dan volume perdagangan, setengah dari sepuluh bursa aset kripto terbesar dunia berada di Asia,” kata DBS.
“Permintaan terhadap aset kripto di masa pra-pandemi sebagian besar bersifat spekulatif. Orang-orang melihat Bitcoin memiliki kinerja yang spektakuler dan ingin menjadi bagian dari permainan itu, jadi apa salahnya memasukkan 1 persen dari portolio investasi kita ke dalam Bitcoin,” kata Taimur Baig salah seorang ekonom bank itu dalam sebuah wawancara dengan Coindesk.
Baiq berpikir pasca pandemi adopsi terhadap aset kripto justru di luar sifat spekulatif. Baginya, aset kripto yang memiliki pasokan unit yang tetap, tidak akan direndahkan.
“Orang-orang khawatir tentang arus keluar dolar dan bertanya-tanya apakah mereka harus memegang aset kripto selain emas sebagai aset safe-haven?” katanya.
DBS bukanlah satu-satunya bank yang memperhatikan tren ini. Sygnum, perusahaan multinasional yang juga berbasis di Singapura punya pandangan serupa.
“Sejak pandemi COVID-19, ada peningkatan minat dari perusahaan keluarga dan individu yang melihat aset kripto sebagai alternatif dan cara untuk melindungi dari risiko inflasi yang mengkhawatirkan,” kata Martin Burgherr dari Sygnum Bank.
Katanya, saat ini bank mulai bangkit dari lockdown, mereka mengalami peningkatan yang signifikan di bank nasional dan internasional yang meminta kami membantu dalam penyiapan business to business, agar klien mereka dapat berinvestasi dalam aset kripto.
Yuan Digital Jegal Dominasi Dolar
Baig, yang sebelumnya adalah ekonom senior di Monetary Authority of Singapore (Bank Sentral Singapura), Deutsche Bank dan International Monetary Fund (IMF) suka mengambil pandangan makro terhadap mata aset kripto dan potensi mata uang digital bank sentral (CBDC).
Ada kenaikan yang stabil dalam emas, sementara imbal hasil pendapatan tetap menuju nol, kata Baig, dan kondisi seperti itu juga menyebabkan Bitcoin kembali dengan cukup meyakinkan.
Sangat menggoda untuk melihat Bitcoin melalui kacamata valuta asing, sebagai mata uang lain dengan nilai tukar terhadap dolar AS.
Tapi ini keliru, kata Baig, karena mata uang negara adalah alat evaluasi ekonomi yang menentukan produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang.
“Anda tidak bisa menilai aset kripto dengan cara seperti itu. Walaupun mereka bisa memiliki kredibilitas ini dengan sirkulasi berbasis sistem, mereka masih belum terikat pada kekayaan negara. Jadi, tentu saja, mereka tidak akan naik turun seperti naik turunnya ekonomi AS. Dari perspektif itu, menurut saya aset kripto (Bitcoin Cs) lebih mirip dengan emas daripada valuta asing,” sebutnya.
Untuk negara-negara yang mengalami krisis mata uang atau fase hiperinflasi, mematok dolar AS dapat membawa kredibilitas jangka pendek, tetapi tidak berhasil dengan baik untuk banyak mata uang.
“Jadi, Jika Anda melihat Venezuela atau bahkan Libanon, yang berada di tengah krisis keuangan besar-besaran, dapatkah Anda, pada suatu saat ke depan, membayangkan bahwa alih-alih menghubungkan mata uang Anda dengan dolar AS, Anda bisa menautkannya ke aset kripto,” katanya bernada menantang.
Ada dua dimensi yang perlu dipikirkan terkait dengan Tiongkok dengan yuan digitalnya, kata Baig.
Pertama, itu adalah cara Bank Sentral Tiongkok, mengendalikan ekosistem teknologi keuangan yang luas di negara itu.
Kedua, yuan digital adalah upaya menekan penggunaan dolar AS di pasar internasional, karena dolar AS kian digunakan secara politik untuk menekan negara-negara lain, seperti Iran dan Venezuela, termasuk Tiongkok sendiri. [red]