Bank Indonesia (BI) menilai data jumlah pengguna kripto di Indonesia kurang akurat. Bank sentral masih kukuh, bahwa kripto adalah komoditi dan bukan sebagai alat pembayaran
Aset kripto dipandang tumbuh signifikan, oleh Bank Indonesia, dibandingkan dengan jumlah pengguan di bursa efek. Ada sejumlah catatan terbaru oleh bank sentral itu.
Hal itu tertuang di Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No. 37 “Bersinergi Mendorong Intermediasi, Mengakselerasi Pemulihan Ekonomi”, diterbitkan hari ini, Selasa (5/10/2021).
Di dalamnya ada bagian khusus yang mengkaji perkembangan terkini aset kripto di Indonesia, berdasarkan sudut pandang bank sentral itu.
Bank Indonesia: Data Pengguna Kripto Kurang Akurat
Pertama, data pengguna kripto di Indonesia kurang akurat. Bank Indonesia mengakui jumlah pengguna kripto di Tanah Air semakin meningkat, mengalahkan jumlah pengguna di pasar modal (bursa efek).
Namun, data itu dinilai kurang akurat, karena tidak memiliki SID (Single Investor Identification) seperti di bursa efek.
Bank sentral itu hanya mengutip data dari bursa kripto Indodax, bahwa Pada Juni 2021 jumlah investor aset kripto diprakirakan telah mencapai sekitar 6,5 juta, atau melewati jumlah investor di pasar saham yang sebesar sekitar 2,4 juta.
“Namun, akurasi angka tersebut belum sepenuhnya dapat diyakini. Selain belum terdapat bursa atau lembaga resmi yang mencatat jumlah investor aset kripto di Indonesia, belum adanya single identification untuk investor aset kripto sebagaimana SID (Single Investor Identification) di pasar saham juga menjadi kendala dalam penentuan jumlah investor. Dengan demikian terdapat kemungkinan adanya perhitungan ganda atas jumlah investor aset kripto, yang mana seorang investor dapat saja tercatat di lebih dari satu platform pedagang aset kripto,” sebut Bank Indonesia di buku itu.
Mudah Membuka Akun Baru
Kedua, harga Bitcoin naik berkat kemudahan membuka akun. Bank Indonesia menilai, jumlah pengguna aset kripto yang semakin meningkat, karena sangat mudah membuka akun baru di sejumlah bursa kripto. Saat ini adalah 12 bursa kripto yang diakui oleh Bappebti.
“Perdagangan aset kripto juga hanya perlu modal yang relatif kecil, serta adanya pembelian Bitcoin oleh beberapa korporasi besar global. Sementara di Amerika Serikat, stimulus fiskal juga turut mendorong Rumah Tangga memilih aset kripto sebagai alternatif investasi (safe haven),” sebut BI.
Kripto Berdampak Terbatas terhadap Sistem Keuangan
Ketiga, dampak terhadap sistem keuangan masih kecil dan perlu diawasi. BI menilai bahwa dampak transaksi aset kripto terhadap stabilitas sistem keuangan saat ini masih relatif rendah, sejalan dengan eksposur transaksi aset kripto dalam sistem keuangan yang masih terbatas.
“Di Indonesia, perdagangan aset kripto saat ini masih bersifat early stage, di mana fasilitas yang dimiliki pedagang masih terbatas pada spot trading dengan jumlah transaksi aset kripto yang masih kecil jika dibandingkan dengan transaksi saham yang mencapai Rp15-35 triliun per hari. Meski demikian, terdapat beberapa potensi risiko yang perlu terus dimonitor, terlebih minat investasi masyarakat pada aset kripto masih berpotensi untuk terus meningkat,” sebut BI.
Literasi Kripto Masih Rendah
Keempat, literasi kripto harus selalu ditingkatkan. Kecakapan pengetahuan yang mumpuni terhadap kelas aset baru ini juga menjadi sorotan khusus oleh Bank Indonesia. Otoritas moneter Indonesia itu menyarankan agar ada semacam cara khsusu untuk meningkatkan literasi khususus soal aset kripto bagi masyarakat Indonesia.
“Kenaikan harga aset kripto yang sangat signifikan dalam rentang waktu yang cukup pendek mendorong. Perilaku investor terutama investor pemula untuk berinvestasi pada aset kripto. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian mengingat karakteristik aset kripto yang memiliki volatilitas harga aset yang cukup tinggi tanpa adanya transaksi underlying, menjadikan risiko atau potensi kerugian yang ditimbulkan dari investasi pada aset kripto juga relatif tinggi. Merujuk pada perkembangan tersebut, masyarakat terutama investor pemula perlu berhati-hati dan memahami risiko yang dapat terjadi. Untuk itu, literasi mengenai karakteristik dan potensi kerugian yang mungkin timbul dari investasi pada aset kripto, perlu terus ditingkatkan,” tertera di buku itu.
Kripto Bukan Alat Pembayaran yang Sah
Kelima, Bank Indonesia tegaskan bahwa kripto bukanlah alat pembayaran. Lewat kajian terbaru itu, BI juga kembali menegaskan, bahwa kripto bukanlah alat pembayaran yang sah di Tanah Air.
“Kebijakan Bank Indonesia terhadap aset kripto masih tetap yaitu melarang aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 7/2011 tentang Mata Uang. Dasar hukum Bank Indonesia melarang virtual currency untuk transaksi pembayaran diatur juga di PBI Nomor 18/40/ PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan PBI No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial,” sebut BI.
Sikap BI ini menegaskan sikap pada tahun 2014 silam, bahwa BI pada prinsipnya tidak melarang kepemilikan kripto dan bahwa pengguna menanggung risikonya sendiri.
Hal lainnya, berdasarkan undang-undang, hanya rupiah yang bisa dijadikan alat pembayaran di dalam negeri. [ps]