Michael Saylor lewat perusahaannya, Strategy (dulu Micro Strategy), dikenal sebagai pemain besar di industri kripto karena sering membeli Bitcoin dalam jumlah masif. Tapi menariknya, di balik aksi belanja besar itu, Strategy sebenarnya cuma “modal dengkul” pihak lain. Penasaran bagaimana mereka bisa dapat dana untuk terus membeli Bitcoin bukan dari laba operasional? Simak penjelasannya di bawah ini!
BACA JUGA: Update Bitcoin Hari Ini: Kemana BTC Akan Melaju?
Produk Utama Perusahaan dan Kinerja Pendapatan
Produk utama Strategy adalah piranti lunak business intelligence (BI) dan analitik data, yang membantu perusahaan mengolah, menganalisis, dan memvisualisasikan data dalam skala besar melalui fitur seperti dasbor interaktif, laporan, data mining, hingga integrasi machine learning, sehingga mendukung pengambilan keputusan bisnis berbasis data.
Contoh pengunaannya misalnya seperti ini, sebuah perusahaan ritel dengan ratusan toko di seluruh Indonesia bisa menggunakan Strategy untuk memvisualisasikan data penjualan setiap cabang.
Dari dasbor interaktif, manajemen bisa langsung melihat toko mana yang penjualannya menurun, produk mana yang paling laris di wilayah tertentu, atau tren belanja pelanggan berdasarkan waktu. Seperti peta yang menunjukkan jalur tercepat, software ini membantu manajemen mengambil keputusan yang lebih cepat dan tepat.
Dilansir dari beragam sumber, pertumbuhan pendapatan Strategy bisa disebut kecil dan cenderung stagnan. Pada tahun fiskal 2024, total pendapatan mereka hanya sekitar US$463,5 juta, turun 6,6 persen dibanding tahun sebelumnya.
Di kuartal kedua 2025 memang ada kenaikan menjadi US$114,5 juta, tetapi pertumbuhan itu hanya 2,7 persen dibanding periode sama tahun lalu, sehingga tidak cukup untuk mengubah tren stagnasi.
Dari laporan keuangan terlihat bahwa penjualan software dan layanan terkait berada di kisaran US$460 juta per tahun dan sudah bertahun-tahun tidak tumbuh signifikan.
Jika diurai lebih detail, mayoritas pendapatan berasal dari pemeliharaan (maintenance) senilai US$243,8 juta, yang sifatnya hanya langganan rutin dari klien lama, bukan pasar baru.
Lisensi produk hanya memberikan kontribusi sekitar US$48,6 juta dan terus menurun, mencerminkan sulitnya menambah pelanggan baru.
Satu-satunya titik terang datang dari segmen subscription services yang naik hampir 70 persen pada kuartal kedua 2025, tetapi porsinya masih terlalu kecil untuk benar-benar mengangkat total pendapatan perusahaan.
Dalam hal pendapatan dari produk mereka, Strategy kalah bersaing dibanding para kompetitornya. Jika dibandingkan, perusahaan besar seperti Microsoft (Power BI), Tableau (milik Salesforce), Qlik, hingga Oracle Analytics dan SAP BusinessObjects jauh lebih dominan di pasar business intelligence global.
Kompetitor lebih cepat mengembangkan produk berbasis cloud dan subscription, sementara MicroStrategy cenderung bertahan dengan model lisensi lama yang akhirnya menurun. Strategy lebih banyak ke strategi treasury berbasis Bitcoin, sehingga perhatian manajemen dan investor lebih condong ke sisi finansial ketimbang agresif mendorong pertumbuhan produk software-nya.
Dari kondisi inilah yang menjelaskan, sangat mustahil perusahaan bisa meningkatkan nilai saham utamanya mereka MSTR dari kinerja produk dan dapat dijadikan dana untuk membeli Bitcoin.
Bagaimana Cara Strategy Bisa Beli Bitcoin Cuma “Modal Dengkul”?
Strategy bisa membeli Bitcoin dengan “modal dengkul” karena mereka memanfaatkan instrumen keuangan seperti penerbitan obligasi konversi tanpa kupon (zero-coupon convertible notes) dan penjualan saham baru, bukan dari kas perusahaan.
Ini diibaratkan sebuah proposal bahwa perusahaan ingin berutang uang kepada pihak-pihak lain. Uang hasil berutang itulah yang digunakan oleh Strategy untuk membeli Bitcoin.
Melansir laman Investopedia, melalui obligasi konversi inilah Strategy bisa memperoleh pendanaan miliaran dolar tanpa harus membayar bunga (karena tidak meminjam ke bank). Investor diberi pilihan untuk menukar obligasi tersebut menjadi saham di harga premium.
Bagi perusahaan, mekanisme ini terasa seperti “pendanaan gratis” selama harga saham tidak mengalami penurunan tajam.
Selain itu, Strategy juga aktif menerbitkan saham baru yang disebut saham preferen. Pada kuartal pertama 2025, misalnya, perusahaan berhasil menghimpun dana sekitar US$7,7 miliar dari penjualan saham, yang kemudian langsung dialokasikan untuk membeli lebih dari 22 ribu Bitcoin dengan harga rata-rata US$87 ribu per koin.
Jadi, dalam hal ini pihak pemberi utang (dengan membeli saham preferen) mendapatkan imbal hasil berupa dividen yang wajib diserahkan oleh Strategy. Nah, dividen ini dapat diperoleh dengan berulang kali menerbitkan saham preferen tambahan.
Untuk menjaga kepercayaan investor, Strategy kerap menyoroti metrik seperti Bitcoin-per-share (BPS), yakni jumlah Bitcoin yang dimiliki perusahaan dibagi dengan total saham beredar. Jika BPS meningkat, maka berarti setiap saham mewakili kepemilikan porsi Bitcoin yang lebih besar. Mereka juga menampilkan Bitcoin yield, yang mengukur pertumbuhan BPS dari waktu ke waktu.
BACA JUGA: Mengenal Bitcoin Spot ETF, Cara Kerja, dan Daftar Produknya!

Namun, pendekatan ini tidak lepas dari risiko. Ketika harga Bitcoin turun tajam, maka nilai kepemilikan saham bisa tergerus signifikan, bahkan sempat tercatat kerugian belum terealisasi sebesar US$5,9 miliar pada Maret lalu. Meski begitu, posisi Strategy tetap cukup kuat berkat masuknya perusahaan ke dalam indeks Nasdaq-100, yang membuat sahamnya otomatis dibeli oleh berbagai dana indeks besar.
Analisis Kekuatan dan Risiko Pendekatan Strategy Menurut Ahli
Dalam salah satu analisisnya di Forbes, Dave Birnbaum menyoroti bagaimana Strategy memanfaatkan kelemahan pasar modal tradisional. Selama biaya utang masih murah dan penerbitan saham baru bisa terus dilakukan, perusahaan ini mampu mengubah modal fiat yang cenderung tergerus inflasi menjadi Bitcoin yang sifatnya deflasioner.
Menurut Birnbaum, langkah ini bahkan bisa dipandang sebagai bentuk awal “serangan spekulatif” terhadap dolar AS.
Fokus pada Akumulasi Bitcoin
Birnbaum juga menekankan bahwa keberhasilan Strategy terletak pada fokus tunggalnya yaitu membeli dan menyimpan Bitcoin. Instrumen seperti obligasi konversi hanya bisa berjalan jika investor percaya bahwa perusahaan tidak akan menjual cadangan Bitcoinnya atau beralih ke aset lain.
Karena itu, Michael Saylor terus mengomunikasikan visi jangka panjangnya untuk membeli Bitcoin berapa pun harganya dan menyimpannya selamanya.
Kejeniusan dan Risiko
Lebih jauh, Birnbaum menggambarkan strategi Strategy sebagai langkah jenius sekaligus berisiko. Perusahaan meminjam modal fiat yang nilainya terus berkurang untuk membeli Bitcoin yang diyakini akan meningkat nilainya dalam jangka panjang.
Namun, seluruh model ini bertumpu pada satu asumsi besar bahwa Bitcoin akan berhasil. Jika Bitcoin gagal, maka strategi Strategy ikut runtuh.
Mengapa Risiko Itu Mengecil
Meski begitu, Birnbaum berargumen bahwa kemungkinan kegagalan total Bitcoin semakin kecil. Adopsi global yang melibatkan ratusan juta pengguna membuat skenario itu hampir mustahil.
Untuk membuat Bitcoin benar-benar gagal, komunitas masif ini harus serentak berhenti menggunakannya, sesuatu yang menurutnya semakin tidak realistis di tahap ini.
BACA JUGA: Bitcoin Kian Berharga, 6 Faktor Utama Ini Jadi Pondasi Kuatnya
Mana yang Lebih Baik, Beli Saham MSTR atau Bitcoin?
MSTR, saham milik Strategy, memberi cara tidak langsung untuk ikut memiliki Bitcoin. Kamu cukup membeli sahamnya, lalu Bitcoin akan dikelola dan disimpan oleh perusahaan. Ini praktis karena kamu tak perlu repot memikirkan keamanan aset.
Sebaliknya, membeli Bitcoin secara langsung memberi kontrol penuh atas asetmu, tapi kamu juga harus mengurus penyimpanan dan keamanannya sendiri.
Dari sisi performa, MSTR justru mencatat pertumbuhan lebih tinggi daripada Bitcoin sejak Strategy mulai membeli Bitcoin pada 10 Agustus 2020.

Hingga kini, saham MSTR sudah naik sekitar 2.569 persen, sementara Bitcoin hanya tumbuh 841 persen di periode yang sama. Dengan kata lain, kinerja saham MSTR berhasil mengalahkan Bitcoin hampir tiga kali lipat.
Namun, ada sisi yang perlu dicermati. Saat ini, harga satu saham MSTR setara dengan kepemilikan Bitcoin senilai US$252,35, meski harga sahamnya sendiri dijual US$329,9. Itu artinya, kamu membayar sekitar 30 persen lebih mahal jika membeli Bitcoin melalui MSTR.

Selain itu, meski Strategy dikenal karena kepemilikan Bitcoinnya, bisnis intinya berada di bidang software yang hanya bernilai US$5 miliar dari total kapitalisasi pasarnya yang saat ini bernilai lebih dari US$113 miliar.
Jadi, baik membeli saham MSTR maupun Bitcoin langsung sama-sama punya kelebihan dan risiko. Pilihan terbaik tetap bergantung pada seberapa besar alokasi yang ingin kamu taruh di Bitcoin dan apakah kamu lebih suka fleksibilitas lewat saham atau kendali penuh atas aset digitalmu.
Analisis lebih lanjut juga perlu kamu lakukan untuk menentukan mana yang lebih baik antara membeli saham MSTR atau mengakumulasi Bitcoin secara langsung sebagai strategi investasi kamu. [msn]
Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.