Faktanya saat ini adalah biaya menambang Bitcoin terus merosot alias lebih murah, tetapi menurut Nikolaos Panigirtzoglou dari JPMorgan, itu justru berpotensi menekan harga Bitcoin lagi. Robby, Direktur Rekeningku.com agak mengamini pendapat itu.
“Biaya produksi Bitcoin telah turun dari sekitar US$24.000 pada awal Juni menjadi sekitar US$13.000 saat ini. Kendati itu dapat ditafsirkan penambang Bitcoin berpotensi mulai enggan menjual BTC milik mereka, tetapi yang terjadi bisa sebaliknya,” Panigirtzoglou kepada Bloomberg, Kamis (14/7/2022).
Secara umum, biaya penambangan Bitcoin (basis harian), dihitung dengan membandingkan antara besaran konsumsi listrik menambang Bitcoin dengan jumlah BTC yang ditambang.
Ketika biaya penambangan lebih rendah daripada harga Bitcoin, maka cenderung lebih banyak penambang bekerja kembali. Sebaliknya, jika biaya penambangan lebih tinggi daripada pendapatan penambang, maka jumlah penambang cenderung akan berkurang.
Namun, berdasarkan data historis, sebagaimana yang dilampirkan oleh JPMorgan, yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa biaya penambangan BTC yang rendah, justru akan menciptakan tekanan jual BTC oleh penambang, karena penambang akan cenderung menutupi kerugian yang dialami sebelumnya.
Dari grafik yang disajikan JPMorgan, pada Juni 2021, laju biaya produksi turun drastis, yang lalu diikuti dengan turunnya harga Bitcoin. Walaupun kemudian beberapa bulan berikutnya, justru terbalik, kecenderungan sebelumnya terjadi pada Juni 2022, di mana biaya produksi Bitcoin telah turun dari sekitar US$24.000 pada awal Juni menjadi sekitar US$13.000 saat ini.
Bahkan dari sumber lain, MacroMicro, pada 13 Juli 2022, biaya produksi BTC terkini adalah US$23.764. Sedangkan pada 15 Juli 2022 turun menjadi US$20.632.
Menurut Panigirtzoglou, penurunan biaya produksi terjadi karena beberapa penambang besar menggunakan alat tambang yang jauh lebih efisien, yakni yang lebih hemat listrik, tetapi mampu menambang Bitcoin lebih banyak. Keunggulan relatif inilah yang tidak dimiliki oleh beberapa penambang kecil lainnya yang harus rela memadamkan alat tambang mereka, setelah menjual hasil tambangnya.
Menambang Bitcoin dan Kecenderungan Aksi Jual
“Umumnya, penurunan biaya produksi membantu peningkatan keuntungan penambang dan berpotensi mengurangi tekanan jual oleh mereka. Namun, oleh pelaku pasar yang lain, itu dianggap sebaliknya, sekaligus untuk menelisik support level berikutnya di era pasar bearish. Kami memproyeksikan biaya produksi BTC bisa turun ke US$13 ribu,” tegasnya.
Robby, Direktur Rekeningku.com, mengamini pendapat JPMorgan. Ia mengatakan, bahwa karena biaya produksi rendah ditambah hashrate turun, biaya untuk menambang 1 BTC lebih rendah, maka penambang bisa menjual murah hasil produksinya.
“Kalau biaya turun, maka hashrate turun, sehingga peluang mendapatkan BTC semakin tinggi. Dan lalu jika biaya produksi turun, tapi hashrate naik maka harga BTC cenderung naik,” tambah Robby kepada Blockchainmedia, Jumat (15/7/2022).
Tekanan Jual BTC oleh Penambang
Di sisi lain, tekanan jual BTC oleh penambang memang tak terhindarkan, karena biaya menambang Bitcoin lebih tinggi daripada harga jual BTC di pasar. Untuk menanggulanginya, sebagian penambang harus menjualnya.
Perusahaan penambang Core Scientific misalnya, pada 7 Juli 2022 lalu mengumumkan, telah menjual BTC senilai US$165 juta setara Rp2,4 triliun pada Juni 2022 dikarenakan inflasi dan kelesuan pasar yang menekan sektor kripto.
Selama Juni, perusahaan yang terdaftar di bursa efek NASDAQ tersebut menjual 7.202 BTC dengan harga rata-rata US$23 ribu. Simpanan BTC Core Scientific kini bersisa 1.959 BTC.
Terkait penggunaan alat tambang yang lebih efisien, kemarin Cleanspark membeli 1.061 unit Whatsminer M30S. Unit sebanyak itu setara dengan 93 petahash per detik (PH/s). Sebelumnya, mereka membeli 1.800 unit Antminer S19 XP. [ps]