Nama perempuan ini Gratiyana Ningrat. Pada 24 November 2018 lalu ia menulis cukup lugas soal kaitan antara teknologi blockchain dengan semangat ekonomi Islam. Kesimpulannya, tulis mahasiswa master Kajian Islam dan Timur Tengah, Universitas Indonesia ini, karakter blockchain dekat dengan ide ekonomi Islam yang transparan dan auditable.
Masalahnya, jelas Gratiyana, mekanisme ekonomi Islam soal kesejahteraan bersama di Indonesia, yang tertuang dalam sistem zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menghadapi sejumlah tantangan, yakni soal transparansi pengelolaan dan distribusi uang yang diberikan oleh umat. Belum lagi soal perbedaan pandangan antara pemikir Islam tentang bagaimana itu dapat mengakomodir sejumlah aturan ataupun fatwa.
“International Centre for Education in Islamic Finance (INCEIF) saat ini tengah mengembangkan aplikasi blockchain untuk keperluan zakat. Ini memberikan sejumlah pilihan bagi sadaqah atau zakat, madhab ataupun beberapa pemikiran bermazhab Shafi’i, Maliki, Hambali atau Hanafi… Setelah pembayaran zakat dilaksanakan, transaksinya terekam pada satu simpul jaringan blockchain. Para pembayar zakat akan menerima pemberitahuan (notification) transaksi dan peringkat kredibilitas sistemnya. Ini akan mampu meningkatkan kepercayaan di antara para pembayar zakat, bahwa zakatnya memang telah sampai kepada penerima yang layak,” jelas Gratiyana dalam artikelnya.
BlockchainMedia menggali lebih dalam soal ini dengan mewawancarai Gratiyana melalui Instagram. Ia menjelaskan, yang disebut mata uang kripto jelaslah tak hanya Bitcoin. Ada banyak jumlahnya. “Sebenarnya ini masih dalam perdebatan dari berbagai faktor, salah satunya sifat yang spekulatif, informal (tidak ada jaminan negara). Kendati kripto sendiri bisa menjadi alat pembayaran atau sharf (mata uang dalam Islam), agar bisa dinyatakan halal dan haram, perlu banyak pertimbangan dari sisi sumber utama ijtima ulama, yaitu Al-quran, As Sunnah dan maslahah (public interest yang akan memengaruhi proses fiqh). Di Indonesia lebih banyak ke haram karena gharar dan juga keterlibatan miners dalam menjalankan bidding, sehingga menambah peran spekulatif di dalamnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan, bukan berarti negara lain tidak mencoba mengadopsi teknologi blockchain, yang menjadi fondasi kripto itu. Dubai misalnya, sejak lama membuka diri terhadap kripto. Sejumlah startup membuat sistem pembayaran digital berbasis blockchain. Salah satunya adalah OneGram yang memakai emas sebagai backed asset-nya.
“Jadi tidak hanya mathematical formula saja sebagai indikator supply mata uangnya. Tetapi, ini juga masih dalam perdebatan, karena akan mempengaruhi zakat, misalnya apakah produk ini bisa dizakatkan. Secara sederhana memang sangat menguntungkan, yaitu pembayaran terlepas dari sistem riba bank, memberikan akses kepada unbanked customer. Namun, ini perlu kajian lebih dalam, yang sayangnya saat ini masih “terkungkung” (silo) di antara para ulama, kementerian, bahkan intelijen negara,” katanya.
Gratiyana berpendapat, asalkan negara mendukung dan dapat dipakai banyak masyarakat, apalagi dengan backed asset berupa emas, bisa meningkatkan confidence para ulama untuk memutuskan. Karena ulama juga mempermasalahkan nilai berdasarkan pasar. Jika kripto tidak berharga lagi, maka akan sia sia. Berbeda dengan emas.
“Maka dari itu aspek spekulatif ini yang menjadi peringatan utama. Saya sendiri bukan cryptotrader, tapi hanya pernah terlibat di sebiah proyek blockchain. Yang saya masih pelajari adalah perkembangan teknologinya, terutama untuk memperbaiki distribusi uang dalam masyarakat seperti zakat dan infaq begitu juga investing impact,” katanya.
Gratiyana menyimpulkan, OneGram adalah salah satu contoh yang ingin menjadikan kripto sesuai syariah (hukum syara). Kalau dibilang sesuai, itu ulama yang menentukan. Namun, ditekankan lagi kalau Islam itu harus terpadu dengan pemerintah, jika sudah berbicara tentang mata uang, ekonomi, sistem, dan masyarakat.
Dubai memang terbuka dengan hal-hal baru. Bagi pengelola kota itu, teknologi blockchain menjadi solusi masa depan. Dua bulan lalu, seperti yang dilansir dari CCN warga Dubai akan segera mempunyai cara membayar biaya sekolah, tagihan, dan pembelian barang-barang lainnya dengan emCash, sebuah uang digital berbasis blockchain yang didukung oleh negara.
Biro kredit resmi di Uni Emirat Arab (UAE), bernama emCredit, di bawah Departemen Pengembangan Ekonomi Dubai mendorong uang digital resminya emCash yang dienkripsi blockchain agar diadopsi secara meluas dengan meluncurkan alat Point of Sale (PoS) di beragam layanan pemerintah di Dubai.
emCredit, yang didukung negara, merupakan anak perusahaan Dubai Economy dan Object Tech, sebuah startup blockchain berbasis di Inggris. Dubai Economy adalah badan usaha pemerintah yang bertanggung jawab merencanakan dan mengimplementasikan agenda ekonomi emirat Dubai.
Dubai Economy menjelaskan, warga UAE dapat menggunakan emCash untuk beragam pembayaran, seperti membeli kopi atau membayar uang sekolah anak hingga membayar tagihan dan transfer uang menggunakan fitur near field communication (NFC) di ponsel mereka. Pengguna emCash memiliki pilihan uang digital yang lebih aman, dan pedagang dapat menerima pembayaran secara realtime tanpa melalui pihak ketiga. [vins]