Setiap teknologi baru memiliki siklus hype, seperti yang terlihat pada pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan, virtual reality dan kini blockchain Bitcoin. Secara singkat, siklus hype tersebut menggambarkan harapan yang sangat besar di awal dan terlalu kecil di jangka panjang.
Siklus hype tersebut terdiri dari lima tahap. Tahap pertama adalah pemicu teknologi di mana diciptakan purwarupa pertama dan minat publik awal. Tahap kedua adalah masa terjadinya harapan terlalu besar, disertai dengan investasi besar dan euforia publik.
Tahap ketiga terjadi saat kenyataan tidak sesuai harapan dan imbal hasil investasi menurun bahkan di tingkatan yang sangat tinggi. Media massa mainstream pun “tak lupa” menyoroti sisi negatif, lantas disebut sebagai sebuah “kegagalan teknologi”. Masyarakat mengakui teknologi terkait masih sangat muda, dan kurang dari 5 persen pangsa pasar yang memakainya.
Tahap keempat adalah teknologi generasi kedua dan ketiga diciptakan. Cara-cara penciptaan itu pun semakin baik daripada sebelumnya dan banyak kegunaan yang tercapai dan terhitung sukses alias banyak diminati oleh publik.
Kemudian, tahap kelima produktivitas yang relatif stabil namun perlahan, disertai adopsi oleh 20-30 persen pangsa pasar.
Bagaimana dengan siklus Bitcoin dan blockchain? Berdasarkan pergerakan harga Bitcoin, dapat disebut inovasi ini sedang berada di tahap ketiga yang disebut trough of disillusionment (ceruk kekecewaan). Kendati beragam tokoh institusional menyebutkan “positif” terhadap masa depan Bitcoin, namun masih banyak pihak yang meragukan masa depan teknologi blockchain dan menyebutnya sekedar “mainan” belaka.
Berdasarkan data Statista, saat ini ada 24 juta dompet kripto di seluruh dunia. Potensi pangsa pasar adalah penduduk berusia 15 hingga 61 tahun. Hal ini berarti adopsi kripto di dunia baru sebesar 0,48 persen, atau kurang dari satu persen secara global. Angka tersebut dapat dibaca sebagai adopsi kripto masih sangat awal di tahap ceruk kekecewaan.
Indikator lain untuk menambah basis pengguna adalah memudahkan pendatang baru yang masuk di dunia kripto. Teknologi seperti Lightning Network mempercepat transaksi, tetapi masih jauh dari penggunaan masal. Terlepas dari permasalahan yang dialami Lightning network, solusi off-chain seperti lightning dan sharding berpotensi membantu persoalan skalabilitas Bitcoin dan Ethereum.
Atomic swap merupakan fitur lain yang membantu transaksi dan komunikasi antar blockchain yang berbeda. Swap tersebut memudahkan pertukaran altcoin, contohnya Litecoin dan Vertcoin dapat ditukar menggunakan atomic swap. Kendati demikian, masih butuh waktu sebelum teknologi tersebut diterapkan ke mayoritas altcoin.
Teknologi blockchain terus dikembangkan, dan harga aset kripto mulai meningkat kembali setelah longsor drastis. Hal tersebut mendorong sejumlah spekulator berpikir pasar kripto mulai pulih dan akan memanjat keluar dari ceruk kekecewaan.
Sebagai contoh sentimen positif, dalam wawancara dengan CNBC, CEO bursa BitMEX Arthur Hayes berpendapat Bitcoin dapat mencapai US$50 ribu pada akhir tahun 2018. Tetapi ia juga mengatakan harga Bitcoin bisa longsor hingga US$3 hingga 5 ribu. Persetujuan Bitcoin ETF (exchange traded fund) dapat mendorong harga Bitcoin mencapai US$20 ribu bahkan US$50 ribu, tambah Hayes.
Diketahui, prediksi Hayes pada tahun 2018 tersebut memang benar. Harga Bitcoin mencapai level US$3 ribu tetapi belum mencapai US$20 ribu di tahun 2019 sekalipun. Belum dapat dipastikan dengan jelas apakah Bitcoin bisa keluar dari ceruk kekecewaan atau sedang berada di tahap siklus hype yang lain. Tetapi mengingat dominasi Bitcoin di sektor kripto, yang dibutuhkan hanyalah Bitcoin tetap bertahan agar menang. [investitute.com/ed]