Seperti yang kita ketahui, jumlah maksimal Bitcoin (BTC) yang bisa ditambang adalah 21 juta unit. Apa yang terjadi kelak ketika semua Bitcoin habis ditambang? Bagaimana nasib para miner?
Satoshi Nakamoto merancang Bitcoin selayaknya penambangan emas. Atau dengan kata lain, mekanisme penerbitan unit Bitcoin baru dilakukan dengan mengemulasi penambangan emas, yakni dibuat menjadi langka serta sulit dan berbiaya mahal untuk ditambang.
Cara membuat Bitcoin langka adalah melalui mekanisme Halving, yakni mengurangi imbalan Bitcoin baru kepada para miner. Ini terjadi setiap 210.000 block atau setara 4 tahun.
Saat ini Bitcoin berada di fase III Halving (sejak 12 Mei 2020), dari imbalan 12,5 BTC per block menjadi 6,25 per block kepada miner yang berhasil memvalidasi block baru. Rata-rata periode antar block adalah 10 menit.
Halving juga bermakna memperlambat laju produksi Bitcoin yang baru yang masuk ke dalam pasar melalui miner, hingga maksimal 21 juta unit Bitcoin diproduksi (ditambang). Dengan kata lain mekanisme pasokannya terkontrol berdasarkan kode programnya.
Saat ini, per 24 Juni 2020, Bitcoin yang sudah ditambang adalah 18.413.062 BTC. Sisa yang belum ditambang adalah 2.586.938 BTC.
Dengan asumsi tidak ada perubahan pada sistem blockchain Bitcoin, diperkirakan Bitcoin terakhir yang ditambang jatuh pada tahun 2140.
Nah, pertanyaannya adalah, kalau semua Bitcoin habis ditambang, darimana miner mendapatkan penghasilan? Jawabannya adalah dari biaya (fee) transaksi, juga berupa Bitcoin, sebagaimana juga yang berlaku saat ini, selain imbalan Bitcoin baru.
Banyak juga yang was-was, apakah miner bisa menutupi biaya produksi menambang hanya dengan mengandalkan biaya (fee) transaksi saja? Kalau tidak sanggup, bisa jadi penambang malah gulung tikar.
Namun, menurut Simon Kim CEO Hashed, dengan kelak tidak ada lagi imbalan Bitcoin per block, para penambang sejatinya tak perlu khawatir.
“Kendati kelak hanya mengandalkan fee transaksi, Bitcoin akan selalu memegang peran sebagai aset kripto utama dan bahkan mendorong munculnya penambang-penambang Bitcoin baru. Mereka tetap mendapatkan penghasilan berupa Bitcoin, hanya saja bukan berasal dari imbalan Bitcoin baru per block.
Namun ada dampak yang relatif negatif, yakni membengkaknya biaya transaksi, karena miner praktis memprioritaskan biaya transaksi yang lebih besar guna menutupi biaya operasionalnya.
Besar kemungkinan itu terjadi ketika transaksi yang diproses sedang banyak-banyaknya alias membludak, seperti yang pernah terjadi pada bull run Bitcoin tahun 2017.
Pada puncaknya pada Desember 2017, total biaya transaksi per hari melonjak menjadi 1.495 BTC pada saat Bitcoin bernilai US$14.000 per BTC.
Akibatnya, para penambang memperoleh total US$21 juta biaya transaksi, jauh lebih banyak dari nilai Bitcoin yang ditambangnya. Nah, hal seperti ini bisa juga terjadi di masa depan.
Namun di atas itu semua, kita tak tahu tentang masa depan Bitcoin. Bisa saja kelak mayoritas miner dan developer Bitcoin setuju untuk melakukan perubahan sistem inti blockchain Bitcoin agar Bitcoin bisa terus bertahan. Konsensus Proof-of-Stake (PoS) mungkin bisa jadi bayangan. Mungkin juga tidak. [Decrypt/red]