Bitcoin Halving memang tak datang laksana seorang pencuri, karena ia tiba di saat yang pasti, medio Mei 2020 nanti. Tetapi, ia selalu menarik untuk dicermati, seperti Halving yang saya rasakan pada 2016, ketika pengguna Bitcoin masih relatif sepi. Yang datang seperti pencuri adalah kenaikan harganya setelah Halving.
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Sabtu, 29 November 2014 di Medan, saya mengkoordinasi acara “Bitcoin Discussion” yang didukung oleh bursa aset kripto Bitcoin Indonesia (sekarang Indodax). Si Pendiri, Oscar Darmawan hadir langsung membawakan acara, menerangkan apa itu Bitcoin dan peluang kenaikannya pada tahun-tahun mendatang.
Membawa Oscar ke Medan adalah inisiatif saya beberapa waktu sebelumnya, karena saya sendiri dan teman-teman di Medan masih penasaran dengan makhluk unik yang diciptakan oleh Satoshi Nakamoto itu.
Malam harinya saya ajak Oscar berbincang empat mata di hotel. Banyak topik kala itu, tetapi pertanyaan saya yang paling penting dan terpolos saat ini adalah,”Oscar, kapan harga Bitcoin akan naik?”
Dia singkat menjawab,”Setelah Bitcoin Halving tahun 2016.” Saya pun kian bingung. Halving?
Keesokan harinya dia meninggalkan Medan dan meninggalkan saya dengan segudang pertanyaan soal Halving itu. Hingga suatu ketika, saat harga Bitcoin mencapai Rp300 jutaan pada Desember 2017, saya baru sadar jawaban Oscar itu. Di saat yang sama, dia meninggalkan saya (lagi) dengan rasa tidak percaya untuk kesekian kalinya.
Jujur, saya tidak terlalu tertarik dengan hiruk pikuk naik-turun harga Bitcoin. Saya lebih tertarik dengan teknologi di belakang itu, blockchain. Ini senalar dengan ketertarikan saya terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Enam tahun pun berlalu dan saya masih di sini di ekosistem blockchain-aset kripto, bersama Bitcoin yang mengubah paradigma manusia tentang aset bernilai, tentang uang dan cara kerjanya. Saya memaknai itu sebagai sebuah revolusi? Tentu saja, kendati harga Bitcoin belum bisa kembali seperti 2017 silam.
Masa Kini
Membaca hasil kajian Bloomberg awal April lalu ibarat mesin waktu. Menurut media ekonomi berpengaruh asal Amerika Serikat itu, perilaku Bitcoin saat ini mirip seperti kelajuan Bitcoin antara tahun 2015-2017. Itu sebuah periode pra-Halving dan pasca Halving, setidaknya masing-masing satu tahun lamanya.
Menggunakan analisis teknikal, tentu Bloomberg hendak mengatakan, bahwa secara historis dan hanya jika sejarah berulang, maka dalam beberapa bulan, harga Bitcoin melonjak sangat tinggi.
Pada awal Januari 2015, Bitcoin diperdagangkan US$315. Ketika Halving II, 9 Juli 2016, ia mentereng di US$653. Dalam rentang itu saja Bitcoin melesat 107 persen. Diperluas, sampai medio Desember 2017 (US$19.423), maka kenaikannya mencapai lebih dari 6 ribu persen!
Tentu sangatlah naif jika kita mengacu kenaikan seperti itu bagi harga Bitcoin setelah Halving nanti. Ekosistem Bitcoin saat ini jauh berbeda dibandingkan 2015-2017. Ketika itu untuk membeli-menjual Bitcoin amatlah sederhana, karena hanya berjenis spot market.
Tetapi, sejak tahun 2018, bermunculan sejumlah perusahaan besar menawarkan pasar turunan alias derivatif. Di situ trader bisa menggunakan fitur “futures” untuk mengadu cuan secara berjangka. Ada juga fitur margin, options, perpetual swap dan lain sebagainya.
Banyak yang untung besar dalam sekejap gara-gara jenis pasar itu. Tak sedikit pula yang buntung, karena keliru mengkaji pasar.
Alasan munculnya pasar derivatif adalah gejolak permintaan dan adopsi terhadap Bitcoin itu sendiri. Tetapi, sasaran penggunanya yang berkantong tebal ataupun tipis dan lebih berani mengambil risiko.
Hal lainnya, adalah agar “investor” institusi bisa masuk ke dalamnya, melalui broker. Tak heran perusahaan sebesar CME, Bakkt dan CBOE menyelam di bisnis itu.
Pasar derivatif sejatinya berguna untuk menekan volatilitas (lonjakan naik turun) harga Bitcoin di pasar spot. Dengan tidak terlalu bergejolaknya harga, maka itu menarik lebih banyak lagi pengguna baru. Atau meminjam kalimat bos CME dulu,”Kami akan menjinakkan harga Bitcoin!”
Soal pasar derivatif itu pun diamini oleh pelaku pasar aset kripto di Indonesia, yakni Oscar Darmawan dan Pendiri Triv, Gabriel Rey.
Rey sendiri menegaskan berulang kali, bahwa pasar derivatif berkontribusi pada “kehilangan jiwa” Bitcoin yang naik turun secara luar biasa. Baginya itu lebih alamiah, karena lebih liar ibarat roller-coaster.
Senada dengan Rey, bagi Oscar pasar derivatif bisa menekan harapan periode bull-run Bitcoin, sehingga periode kenaikannya lebih lambat.
Sedangkan menurut Sumardi Fung, CEO Rekeningku.com, bull run Bitcoin diramalkan terjadi setelah kuartal ketiga berakhir (Oktober-Desember 2020).
Badai Ekonomi dan Bitcoin
Bitcoin diciptakan berseberangan dengan sistem keuangan yang dirancang, dikendalikan oleh negara saat ini. Bitcoin desentralisik, kendati tidak semurni yang kita idam-idamkan. Tidak ada negara yang bisa mengendalikannya sistemnya secara langsung, kendati ada peraturan soal cara ia digolongkan dan cara ia diperdagangkan.
Pun lagi, laju pasokannya secara ditekan secara periode dalam mekanisme Halving, sehingga ia kian langka. Dan ketika ia langka, jika permintaan stabil atau naik, maka diharapkan harga juga akan naik.
Itu tentu sebuah keunikan, karena untuk kali pertama kita memiliki satu sistem nilai yang bisa membuat langka objeknya secara digital. Dan kini saya yakin Bitcoin adalah artefak kebudayaan terhebat yang dimiliki manusia, tanpa keterlibatan negara dalam konteks ekonomi liberal.
Sekarang Bitcoin berada di antara badai ekonomi global dengan Halving. Ini adalah waktu pembuktian teramat penting bagi Bitcoin. Apakah ia bisa bertahan, lalu naik tinggi sebelum krisis ini berakhir, menembus US$19 ribu? Atau terus naik, jika inflasi atau hiperinflasi tiba? [red]