Pada 15 Agustus 1971, di bawah kepemimpinan Presiden Richard Nixon, Amerika Serikat secara sepihak membatalkan sistem uang dolar yang bisa ditukar menjadi emas. Sistem itu dikenal sebagai sistem Bretton Wood yang dibentuk setahun sebelum berakhirnya perang dunia II, antara Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, Australia dan Jepang. Rusia sempat ingin bergabung, tetapi belakangan menolak keras, karena tahu sistem itu adalah perpanjangan bisnis bank komersial Amerika Serikat.
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Namun, dalam perjalanannya sistem itu membuat cadangan emas Amerika berkurang drastis, karena sejumlah negara mitra dagang yang memegang uang dolar lebih banyak yang menukarnya menjadi emas. Dengan dibatalkannya sistem itu, maka uang dolar tidak dipatok berdasarkan cadangan emas lagi, tapi murni berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar termasuk intervensi Bank Sentral (The Fed).
Namun, mengingat dominasi ekonomi dan militer Amerika Serikat masih sangat kuat di sebagian besar belahan bumi, uang dolar tetap menjadi patokan dasar perdagangan dan sistem keuangan di sejumlah negara.
Dengan kata lain, jikalau ekonomi Amerika Serikat mengalami pelemahan, itu akan membawa efek domino bagi ekonomi negara lain. Ini adalah dampak buruk dari sistem one world one currency, bahwa negara adi daya dapat dengan mudah “mengendalikan” negara lain melalui mata uangnya.
Perang mata uang yang dimulai dari Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok saat ini tengah membuktikan itu. Nilai tukar yuan yang “sengaja dilemahkan” oleh Tiongkok adalah senjata Negeri Tirai Bambu itu untuk melawan senjata Trump, yakni penaikan tarif impor gila-gilaan barang-barang asal Tiongkok. Keputusan Trump juga dirasakan sangat masuk akal, karena Tiongkok sudah merangsek ekonomi dunia termasuk Amerika Serikat sendiri. Trump yang juga seorang pengusaha tahu benar masalah ini.
Perlawanan terhadap kekuasaan global tentu tak berhenti. Lonceng perang dingin dan perang tak kasat mata berlangsung sejak Perang Dunia II berakhir. Teknologi pun menjadi penanak perang yang sangat efektif, sebab sifat efisiensi yang datang dari teknologi itu memberikan sumbangsih kekuatan melawan negara manapun yang dianggap sebagai pesaing.
Lihatlah sejumlah penemuan-penemuan penting dan mengubah dunia datang dari Amerika Serikat sejak tahun 1800. Di masa yang sama Inggris jaya dengan Revolusi Industrinya dan terus berekspansi. Bekas Koloni Inggris, yakni Amerika Serikat yang merdeka beberapa tahun sebelumnya justru menghimpun kekuatan untuk menandingi Inggris. Salah satunya Amerika Serikat meniru sistem bank sentral Inggris agar dominasi terhadap negara lain lebih mudah dilakukan.
Lantas, pada tahun 1940-an, ketika Inggris tak berdaya melawan gempuran Jerman, kerajaan itu malah meminta bantuan Amerika Serikat, yang pada saat itu memiliki kemampuan persenjataan dan militer yang lebih tinggi daripada Inggris. Jadilah hingga saat ini persekutuan Amerika Serikat dan Inggris semakin kental. Apalagi kalau bukan soal mendominasi pengaruh di sejumlah negara lain, khususnya soal menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Di tengah-tengah kelajuan itu, dominasi melalui mata uang adalah sebuah keharusan dan menjadi senjata yang lebih ampuh daripada moncong senjata canggih manapun. Tetapi, pastilah punya perpaduan dengan hal lain, di mana kekerasan fisik terbuka bukan pilihan utama karena lebih mahal biayanya.
Singkat cerita, penemuan teknologi blockchain yang kali pertama dimulai dari Bitcoin mengubah peta politik dan strategi keuangan antara bangsa sejak tahun 2014. Bitcoin yang lahir pada tahun 2019 dijadikan sebagai landasan dasar sistem uang elektronik baru memberikan bahan bakar baru bagi sejumlah negara yang anti Amerika Serikat agar mata uang negaranya lebih dihargai dan mencoba menarik diri dari cengkeraman uang dolar.
Lihat saja bank sentral Tiongkok yang beberapa waktu lalu menyebutkan berhasil menerbitkan mata uang khusus yang diracik berasaskan teknologi blockchain. Kendati tidak murni blockchain karena dipadukan dengan sistem tradisional, tetapi penerapan itu membuktikan blockchain membuat negara mencoba menjadi lebih mandiri dan independen melawan dolar.
Perhatikan pula Venezuela yang dirundung malapetaka inflasi yang mengerikan. Negara Amerika Latin itu kukuh menolak dolar AS dan membuat uang digital Petro. Nilainya dipatok harga minyak dan gas produksi dalam negeri. Petro pun diklaim dibeli oleh Tiongkok dan Rusia. Tapi, sang presiden, Nicolas Maduro harus menemui banyak rintangan, utamanya karena tidak ada produksi minyak dan gas di negara itu. Di titik ini Petro gagal dan Reuters telah membuktikan itu: alat berat tersedia, minyaknya tiada.
Di antara itu semua, yang kita sebut mata uang digital berbasis blockchain dibuat oleh negara dan bertempur dengan uang fiat ala Amerika Serikat, Bitcoin lahir sebagai kuda hitam. Lazimnya sebutan kuda hitam, karena pada awalnya ia sama sekali tidak diperhitungkan untuk menang, tapi dalam perjalanannya mampu mendobrak sistem lama dan menarik perhatian para politisi dan penyelenggara negara.
Di banyak sisi, kita tak ingin menyebut makna kuda hitam pada Bitcoin sebagai pemenang, karena harus diakui mata uang sebagai senjata hanyalah satu dari sekian banyak senjata untuk memenangkan pertandingan. Sebab, percuma punya teknologi keuangan yang dianggap keren dan ampuh, tetapi mental pengguna teknologi itu masih lemah.
Jadi, kita perlu mengkaji lebih dalam lagi soal pertandingan ini, bukan dalam skala teknologi saja, tetapi membangun sumber daya manusianya, si pemakainya, si pengembangnya.
Jadi, dalam satu waktu jika Indonesia bisa memimpin soal pengayaan teknologi keuangan di kawasan Asia Tenggara berbasis blockchain, tapi manusianya tetap bermental memble, apa nak jadi? Kau bilang soal “surplus demografi? Tidur dan bermimpilah jadi kuda sungguhan. [vins]