Blockchain Sharding, Makhluk Apakah Itu?

Meningkatkan skalabilitas blockchain adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi para pengembang. Ada beragam solusi yang diajukan oleh pengembang, periset dan akademisi, di mana salah satunya adalah sharding.

Sharding sudah ada jauh sebelum industri blockchain lahir. Teknologi ini digunakan dalam manajemen database (pangkalan data) untuk memastikan pangkalan data tersebut berjalan secara efisien dengan kecepatan optimal.

Hal ini dicapai dengan cara memisahkan pangkalan data menjadi rangkaian shard (pecahan) basis data yang lebih kecil, tetapi tetap terhubung dengan beban kerjanya disebar ke sekelompok server atau node (simpul) di jaringan pangkalan data tersebut. Pecahan yang sudah di-sharding tidak berisi data duplikat yang tercatat di pecahan data lainnya. Hal ini secara teoritis mampu meningkatkan efisiensi dan ketahanan pangkalam data, sebab setiap catatan adalah unik.

Sharding cukup mudah jika diterapkan pada pangkalan data yang datanya tidak saling terhubung dan merupakan struktur data yang sederhana. Hal ini bisa dicapai ketika pangkalan datanya dikendalikan oleh kendali pusat. Tetapi bagaimana jika diterapkan terhadap blockchain yang desentralistik?

Salah satu kekuatan terbesar blockchain adalah sifat desentralistiknya. Jika sifat ini diubah, maka dapat membuat sistem blockchain menjadi lemah dan rentan serangan. Menerapkan sharding ke blockchain lebih rumit, sebab semua transaksi yang disimpan di dalam blockchain saling terhubung.

Kendati demikian, prinsipnya tetap sama: jika sharding dapat diterapkan ke blockchain, maka keluaran blockchain tersebut beserta jumlah transaksi per detiknya bisa ditingkatkan. Hal ini adalah suatu target yang dicita-citakan hampir semua proyek blockchain saat ini.

Mekanisme konsensus sebuah blockchain sangat memengaruhi penerapan sharding-nya. Blockchain Proof of Work sangat sulit untuk di-sharding, sebab artinya validasi transaksi harus dilakukan tanpa mengakses riwayat transaksi sebelumnya. Transaksi yang baru harus divalidasi tanpa pengetahuan riwayat yang terkait, sehingga memunculkan masalah.

Namun, kriptografer Peter Todd berpendapat, hal tersebut dapat dilakukan. Ia menjelaskan, harus ada komponen yang menambah fungsi blockchain, disebut dengan proofchain. Sebuah proofchain menyimpan riwayat transaksi secara utuh, tanpa harus merujuk keseluruhan pangkalan datanya. Teknologi proofchain bertindak sebagai jejak audit yang bisa digunakan untuk mengenakan sanksi kepada penambang yang melanggar aturan jika diperlukan.

Sharding lebih mudah diterapkan ke blockchain dengan konsensus Proof of Stake. Dalam Proof of Stake, ada simpul yang bertugas untuk memvalidasi transaksi. Simpul-simpul tersebut hanya bisa memvalidasi transaksi sebanding dengan jumlah kripto yang mereka pertaruhkan. Hal ini mendorong desentralisasi dan mencegah satu simpul memiliki kekuatan komputasi terlalu dominan.

Sebab, simpul-simpul tersebut hanya perlu memvalidasi sebagian transaksi yang terjadi dalam sistem blockchain Proof of Stake, pangkalan datanya bisa di-sharding dan disebar di antara simpul-simpul itu, sehingga menurunkan biaya pemrosesan dan meningkatkan kecepatan keluaran jaringan tersebut.

Sharding merupakan teknologi yang masih dikembangkan. Meningkatkan skalabilitas blockchain akan terus menjadi topik panas di industri ini. Sangat sulit untuk meningkatkan keluaran (output) sebuah sistem blockchain secara signifikan tanpa mengubah struktur dasarnya. Jika struktur dasarnya diubah, manfaat desentralisasi blockchain bisa terancam. Masih harus dilihat apakah sharding akan menjadi solusi yang paling tepat untuk permasalahan skalabilitas blockchain. [thenextweb.com/ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait