Pajak untuk aset kripto di Indonesia telah menjadi perbincangan tersendiri, di mana ini telah mendapatkan reaksi yang beragam dari kalangan masyarakat dan pakar di tanah air, termasuk Robby, Direktur Rekeningku.com.
Per 1 Mei 2022, kebijakan pajak ini akan mulai berlaku, di mana ada dua jenis pajak yang akan dikenakan, yakni PPh dan PPN, yang masing-masing sebesar 0,1 persen per transaksi.
Arsip Blockchainmedia.id tentang pajak kripto itu bisa dibaca juga di artikel ini, termasuk tanggapan pakar blockchain, Dimaz Ankaa Wijaya yang lebih menginginkan kelonggaran.
Soal Pajak Kripto Indonesia, Ini Kata Bos Rekeningku.com
Banyak negara mulai memungut pajak atas transaksi kripto warganya, termasuk yang terbaru adalah di Indonesia dan India. Sedangkan di negara lain masih gratis.
Perihal pandangan terkait pajak kripto di Indonesia, berikut adalah wawancara eksklusif Blockchainmedia.id dengan Robby, Direktur Rekeningku.com, beberapa hari lalu.
Apa pendapat Anda tentang regulasi pajak kripto Indonesia ini, apakah sangat membebani perusahaan atau justru pengguna? Seberapa besar dampak kerugiannya kepada pengguna, misalnya untuk trader yang punya volume transaksi besar?
Menurut kami, kebijakan pajak itu secara aturan undang undang perpajakan sudah tepat dan telah mengatur secara keseluruhan. Akan tetapi mungkin butuh pertimbangan besarannya mengingat beberapa beban biaya yang belum lagi hadir di antaranya biaya bursa, kliring dan bank depository. Ini akan sangat memberatkan pengguna dan berpotensi “hijrahnya” pengguna ke layanan kripto serupa yang ada di luar negeri.
Dengan total pajak sebesar 0,2 persen (PPh dan PPN Final, masing-masing 0,1 persen) itu apakah akan berdampak pada hengkangnya para pengguna crypto exchange di Indonesia ke bursa kripto di luar negeri yang bebas pajak?
Menurut kami perhitungan pajak tidak boleh dihitung hanya dari berapa besarannya persentase, namun dengan pengenaan pajak ini bisa menarik kembali para pengguna Indonesia yang saat ini banyak berada di trader international.
Jika terlalu besar penggenaan pajak, maka aktifitas transaksi secara otomatis akan turun, jika pengenaan pajak yang wajar itu akan membangkitkan industri perdagangan aset kripto di Indonesia.
Salah satu contoh yang paling tepat seperti kejadian di India, yang besaran pajaknya mencapai 30 persen, berlaku sejak 1 April 2022 lalu. Jika pengenaan pajak di luar kewajaran, maka secara otomatis menutup gerbang industri aset kripto.
Dengan berhembusnya penerapan pajak ini membuat para pengguna di Indonesia lebih yakin dalam berinvestasi aset kripto di indonesia, artinya pemerintah jika sangat peduli dengan industri ini.
Kalaupun memang tetap harus dipajaki sebagai kontribusi besar untuk negara, berapa persen besaran yang paling masuk akal, mengingat aset ini adalah masih baru dan industri terkait juga masih berkembang?
Wajarnya pengenaan pajak pada nilai 0,05 persen akan lebih bisa menghidupkan transaksi aset kripto di Indonesia, di mana pengenaan biaya kepada pengguna harus kita lihat dari biaya yang dikenakan secara international market. Nah, ini bukan angka mati dan harusnya dapat di sesuaikan seiring perkembangan waktu.
Terkait “mangkraknya” rencana proyek bursa berjangka kripto Indonesia niatan Kemendag dan Bappebti, apa tanggapan Anda, mengapa selalu tertunda? Apakah tertundanya ini justru mengganggu perkembangan ekosistem kripto di Indonesia?
Menurut kami, Bursa Berjangka Kripto Indonesia tidaklah mangkrak, namun selalu ada perkembangan dari hari kehari, namun dikarenakan berbagai pertimbangan dan mekanisme yang diterapkan, menyebabkan butuhnya waktu yang lebih untuk menyempurnakannya.
Reaksi Serupa dari Pelaku Pasar Lain
Berdasarkan laporan Kompas, Director of External Affairs di Pluang, Wilson Andrew, mengatakan bahwa pengenaan pajak pada aset kripto dapat meningkatkan perekonomian Indonesia.
Dari sudut pandangnya, ini adalah upaya baik yang dilakukan oleh pemerintah dan merupakan hal yang sudah sewajarnya karena aset kripto di tanah air dianggap sebagai komoditas. Itu sudah ada aturannya dari awal.
Namun, Wilson mengatakan bahwa perlu adanya diskusi antara pelaku industri dengan pemerintah guna menentukan besaran tarif pajak yang benar-benar sesuai.
“Maksudnya, kalau nanti tarifnya terlalu tinggi akan berdampak mengurangi daya tarik. Namun, kalau (tarif) terlalu rendah ada kemungkinan terlalu repot untuk mengumpulkannya,” ujar Wilson.
Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, terkait tarif dari pemerintah yang akan diberlakukan ini, CEO Indodax, Oscar Darmawan, beranggapan bahwa angkanya terlalu mahal.
Menurutnya, jika tarifnya setinggi itu, ia khawatir justru akan membuat industri kripto Indonesia menjadi tertinggal. Padahal, saat ini Indonesia sedang memimpin di pasar Asia Tenggara. [st]