Harga Bitcoin terus melejit. Pada 22 Juni 2019 Bitcoin mampu menyentuh US$11 ribu (Rp155 juta). Sebelumnya, berturut-turut Bitcoin mampu menyentuh US$9 ribu, lalu dengan cepat melesat ke US$10 ribu. Terhitung sejak awal tahun 2019 saja, Bitcoin sudah memberikan imbal hasil lebih dari 200 persen! Untuk mengedukasi pasar Indonesia, bursa aset kripto Triv.co.id dan Tpro.co.id, Jakarta merasa perlu menggelar seminar di Banda Aceh pada Sabtu, 13 Juli 2019.
“Bitcoin sebagai aset investasi alternatif selain emas sudah teradopsi secara luas, baik di kalangan invidu ataupun institusi. Tak heran harga Bitcoin melonjak sejak awal tahun 2019. Untuk mengedukasi pasar Indonesia, bursa aset kripto Triv.co.id dan Tpro.co.id merasa perlu menggelar seminar di Banda Aceh. Melalui seminar yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 13 Juli 2019 nanti, diharapkan masyarakat Aceh mendapatkan informasi yang tak sepotong-potong tentang investasi Bitcoin,” kata Gabriel Rey, CEO Triv kepada Blockchainmedia.id hari ini, Senin, 24 Juni 2019.
Bitcoin mampu sentuh US$15 ribu
Rey menambahkan, ketika Bitcoin breakout US$6 ribu, bahwa telah terjadi bullish. Dan dari data analytic Triv, yang digunakan untuk mengambil keputusan, ia melihat capital inflow yang benar dari Tiongkok. Sejak saat itu, walaupun terjadi koreksi, ia selalu mengatakan telah terjadi bull market.
“Kenaikan Bitcoin ini lebih cepat dari prediksi awal. Jika Bitcoin terus menjaga momentumnya seperti ini. maka akhir tahun kita bisa melihat all time high lagi, Namun, jika terjadi koreksi, tebakan paling aman BTC bisa mencapai US$15.000 pada akhir tahun ini,” kata Rey.
Ekonomi Melemah, Bitcoin Naik
Sementara itu, Jordan Simanjuntak, Business Development dari Triv mengatakan, faktanya Bitcoin mampu menjadi safe haven (lindung nilai uang) selain emas, karena memberikan imbal hasil yang besar melebihi inflasi. Bahkan ketika kondisi ekonomi sedang melemah, harga Bitcoin justru naik melebihi imbal hasil di pasar saham.
“Sejumlah data historis menunjukkan, sejak tahun 2015-2019, Bitcoin justru memberikan imbal hasil (return of investment) yang lebih tinggi berbanding jenis aset lain (saham, indeks saham dan valuta asing) ketika situasi ekonomi sedang lesu. Berdasarkan hasil penelitian dari Grayscale, ketika Pemerintah Yunani gagal membayar utang luar negerinya, Kekacaubalauan terjadi hingga tiga bulan lamanya. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen,” kata Jordan.
Contoh terbaik lainnya adalah ketika genderang perang dagang ditabuhkan oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok. Ketegangan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok turut mendorong banyak orang membeli Bitcoin. Sebenarnya ketegangan itu dimulai pada 2017, lalu dipertegas pada 5 Mei 2019, di mana Presiden Trump memerintahkan kenaikan bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen.
“Hal itu mendorong kenaikan Bitcoin hingga memberikan imbal hasil hingga 47 persen pada periode 5 Mei-31 Mei 2019. Yen Jepang hanya memberikan 2,1 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata minus 2 persen. Hal lainnya adalah jumlah transaksi Bitcoin semakin meningkat selama 3 bulan terakhir dan itu diikuti oleh semakin banyaknya jumlah penambang (miner) Bitcoin,” kata Jordan yang akan menjadi narasumber dalam seminar Bitcoin di Banda Aceh pada 13 Juli 2019 mendatang. [*]