Di tengah gemuruh dunia yang semakin dikuasai teknologi, diskusi soal masa depan crypto dan keamanan digital terus menghangat.
Dalam sebuah konferensi baru-baru ini, sejumlah nama besar di dunia sains komputer dan kriptografi berkumpul untuk menyuarakan pandangan mereka, dan tidak semuanya bernada optimis. Beberapa bahkan terdengar sangat blak-blakan, bahkan getir.
Crypto Masih di Tahap Awal, Tapi Potensinya Mulai Terlihat
Profesor Emeritus dari Universitas Princeton, Ed Felten, memulai dengan nada yang tidak sepenuhnya pesimis. Ia menyampaikan bahwa meskipun transisi menuju mata uang digital terdesentralisasi sangat kompleks dan jauh dari gambaran ideal ala Nakamoto, ini bukan berarti ide tersebut mati.
Justru, menurutnya, kita masih berada pada fase awal. Ia menegaskan bahwa lembaga-lembaga besar di masyarakat kini tengah merumuskan aturan dasarnya.
Felten juga menyoroti peran lembaga keuangan besar yang mulai mengadopsi teknologi blockchain melalui produk seperti stablecoin. Hal ini, katanya, menjadi penanda bahwa gagasan di balik crypto mulai diterima secara luas oleh sistem keuangan global. Mungkin jalannya berliku, tapi setidaknya ada tanda-tanda lampu hijau di ujung sana.
Keraguan dari Sang Penemu RSA
Namun demikian, Adi Shamir, tokoh yang dikenal luas sebagai salah satu otak di balik algoritma RSA, melontarkan kritik tajam. Menurutnya, meskipun fondasi teknologi blockchain itu solid, implementasinya dalam bentuk mata uang digital sangat bermasalah.
Ia menyoroti bahayanya memiliki sistem mata uang anonim yang dapat bergerak tanpa hambatan dan tanpa tanggung jawab lintas negara.
“Bitcoin, kalau mau jujur, sebenarnya tidak benar-benar anonim,” ujarnya dengan nada skeptis, dilansir dari The Register.
Ia khawatir sistem ini justru membuka celah baru untuk aktivitas yang sulit dilacak oleh otoritas mana pun.
Kekhawatiran Akan NSA dan Masa Depan yang Bisa Membaca Masa Lalu
Di sisi lain, Whitfield Diffie, salah satu pelopor utama dalam dunia kriptografi, menyampaikan keresahan yang lebih luas.
Ia mengungkapkan bahwa badan intelijen seperti NSA kemungkinan menyimpan pesan-pesan terenkripsi yang belum bisa mereka baca sekarang, tapi mungkin bisa mereka buka suatu saat nanti. Ini bukan paranoia. Ini strategi.
“Itulah yang disebut komunitas intelijen sebagai kumpulkan-sekarang, manfaatkan-nanti,” ujarnya.
Menurut Diffie, praktik ini bisa menjadi ancaman besar ketika komputer kuantum sudah mencapai tahap praktis. Bahkan data lama yang terenkripsi dengan sistem hari ini bisa runtuh seketika ketika kekuatan komputasi kuantum telah siap.
Untuk menahan laju ini, kini banyak pihak sedang mengembangkan kriptografi tahan kuantum. Tapi sampai komputer kuantum benar-benar hadir, kita hanya bisa berharap sistem baru ini cukup kuat.
Masalah Hibrida dan Ketergesaan Waktu
Shamir menyambung pernyataan itu dengan nada prihatin. Ia menganggap penundaan dalam adopsi kriptografi hibrida sebagai kesalahan besar. Ia bahkan menyebutkan bahwa komputer kuantum pertama yang benar-benar bisa diandalkan bisa saja hadir pada 2040.
Namun begitu, ini tetap taruhan yang sangat berisiko dan dunia tampaknya belum cukup siap.
Seolah belum cukup panas, Diffie juga mengkritik tajam upaya pemerintah Inggris yang berusaha menyadap pengguna Apple. Menurutnya, itu langkah yang sia-sia.
“Kalau seseorang, entah bersalah atau tidak, ingin melindungi obrolannya dari otoritas Inggris, ada banyak opsi aman selain iCloud,” tegasnya.
Signal dan Pemerintah: Ketika Enkripsi Jadi Tameng dan Senjata
Lebih lanjut lagi, ia menyinggung soal penggunaan aplikasi Signal oleh pejabat pemerintah AS untuk pekerjaan resmi.
Ia menilai ini berbahaya karena dapat digunakan untuk menghindari aturan penyimpanan dokumen publik. Bahkan ada potensi aplikasi ini menjadi alat backdoor terselubung jika tidak diawasi dengan cermat.
“Yang mengganggu saya adalah Signal mengharuskan Anda melakukan pembaruan setiap beberapa hari atau semacamnya, dan memaksa Anda menggunakan versi terbaru,” ujar Diffie.
Dan itu artinya, seseorang dengan perintah pengadilan dapat berkata, “Ini, masukkan bug ke dalam sebuah versi, kirimkan dan minta semua orang menggunakannya.”
Pihak Signal sendiri mengklaim bahwa mereka tidak akan tunduk pada negara mana pun yang memaksa mereka menanam pintu belakang, dan akan menarik diri dari yurisdiksi tersebut.
Kritik Tajam untuk Dunia Crypto
Namun satu suara paling mengejutkan datang dari seorang panelis yang menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan.
“Semuanya sangat tersentralisasi dalam sejumlah kecil bursa yang sangat besar. Tidak ada yang menggunakannya untuk melakukan pembayaran, orang-orang menggunakannya sekali untuk berspekulasi,” ungkap Diffie saat menjadi panelis.
Ia pun berpendapat bahwa, mata uang crypto adalah apa yang memungkinkan semua malware di kasus kejahatan siber saat ini.
“Akan sangat sulit untuk mengambil begitu banyak uang dari perusahaan jika tidak ada mata uang crypto. Dunia akan lebih baik tanpa kehadiran crypto,” tambahnya.
Pernyataan ini memang seperti menampar wajah ekosistem yang sedang tumbuh itu. Namun, ia menggarisbawahi satu hal, di mana tanpa regulasi dan transparansi, teknologi sehebat apa pun bisa berubah menjadi pisau bermata dua.
Diskusi ini pada akhirnya tidak menyimpulkan satu pendapat bulat. Di satu sisi, ada keyakinan bahwa sistem desentralisasi masih punya masa depan yang layak diperjuangkan.
Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa waktu bisa menjadi musuh ketika lembaga-lembaga otoritatif sudah jauh di depan, menyusun strategi mereka dalam diam.
Mungkin benar bahwa masa depan crypto dan keamanan digital akan seperti pertarungan catur yang panjang, di mana pihak dengan kesiapan paling tinggi, bukan teknologi paling baru, yang akan keluar sebagai pemenang. [st]