Data dari Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF) mengungkapkan bahwa penambangan Bitcoin berpotensi membantu mengurangi tingkat pemborosan energi yang terjadi selama distribusi listrik dari pembangkit ke konsumen. Namun fakta lainnya, jika Bitcoin adalah sebuah negara, maka ia “lebih merusak” atmosfer daripada Selandia Baru dan Kamboja.
Penambangan Bitcoin ternyata memiliki potensi untuk memanfaatkan hilangnya energi atau pemborosan yang terjadi ketika listrik didistribusikan dari pembangkit. Hal ini terungkap dari data terbaru yang disampaikan oleh Cambridge mengenai konsumsi listrik dalam industri penambangan Bitcoin. Menurut Cambridge, selama proses distribusi listrik kepada konsumen, seringkali terjadi pemborosan energi yang signifikan, terutama pada jarak jauh antara pembangkit dan konsumen.
“Penambang Bitcoin dapat beroperasi di lokasi dekat dengan pembangkit listrik, mengambil keuntungan dari energi yang terbuang. Dengan cara ini, penambangan tidak hanya berkontribusi pada ekosistem kripto, tetapi juga membantu mengurangi pemborosan energi yang terjadi dalam sistem distribusi,” tulis Cambridge.
Penambangan Bitcoin Sedunia “Lahap Listrik” Melebihi Pakistan
Dalam hal konsumsi listrik, Cambridge mencatat penambangan Bitcoin menunjukkan angka yang signifikan, dengan total konsumsi sebesar 143,7 TWh per tahun (data diakses pada 21 September 2024). Ini lebih banyak dibandingkan dengan beberapa negara, seperti Pakistan yang hanya 132,3 TWh dan Ukraina dengan 134,3 TWh per tahun. Dibandingkan tahun 2020 lalu, sudah melebihi Nigeria.
Data terbaru juga menunjukkan konsumsi listrik tambang kripto ini meningkat setiap tahun, seiring semakin tingginya minat pelaku penambangan Bitcoin, seiring tingginya permintaan pasar terhadap kripto BTC.
Jumlah Pemborosan Listrik di AS Dapat Mentenagai Tambang BTC Sedunia
Dengan besaran konsumsi itu, pemborosan energi listrik alias yang terbuang selama proses transmisi dan distribusi di Amerika Serikat yang mencapai sebesar 206 TWh per tahun, cukup untuk memberi daya pada seluruh alat penambangan Bitcoin di dunia sebanyak 1,4 kali.
Data juga menunjukkan energi dari gas flaring (proses pembakaran gas dari penambangan minyak bumi) secara global mencapai 688 TWh per tahun. Jumlah ini cukup untuk memberi daya pada seluruh jaringan penambangan Bitcoin sebanyak 4,8 kali, jikalau dapat dimanfaatkan.
Selain itu, ada juga pembatasan energi listrik bertenaga air di Tiongkok. Di sana, kerugian listrik akibat pemborosan dalam proses transmisi dan distribusi bisa mencapai 105 TWh per tahun. Meskipun lebih kecil, jumlah ini tetap mampu memberi daya pada seluruh jaringan Bitcoin sedunia sebesar 0,7 kali.
Artinya, jika kerugian dan pemborosan listrik ini dapat dimanfaatkan, energi yang hilang ini bisa digunakan untuk penambangan Bitcoin, meningkatkan efisiensi penggunaan energi, sekaligus memberi tambahan nilai ekonomi kepada negara, khususnya pada pembangkit listrik yang dikelola oleh pemerintah, atau melalui pajak terhadap cuan yang diperoleh para penambang.
Lebih Besar daripada Tambang Emas
Namun, perbandingan ini menjadi lebih menarik ketika kita melihat bagaimana penambangan Bitcoin disandingkan dengan industri lain.
Dibandingkan dengan penambangan emas, yang menggunakan sekitar 131 TWh per tahun, jelas bahwa penambangan Bitcoin memiliki dampak yang lebih besar terhadap konsumsi listrik.
Ini menunjukkan bahwa penambangan BTC tidak hanya berperan dalam ekosistem cryptocurrency, tetapi juga dalam wacana yang lebih luas tentang penggunaan energi di berbagai sektor.
Nol Dibandingkan Industri Kimia dan Pendingin Udara
Selanjutnya, jika dibandingkan antara konsumsi listrik penambangan BTC dengan industri kimia sedunia, yang mengonsumsi sekitar 240 TWh per tahun, kita bisa melihat bahwa meskipun penambangan Bitcoin membutuhkan energi yang cukup besar, dampaknya masih lebih kecil dibandingkan dengan industri yang lebih mapan.
Hal ini menandakan bahwa ada potensi untuk memanfaatkan energi terbuang yang lebih besar dari sektor-sektor ini, sejalan dengan pendekatan penambangan Bitcoin yang lebih berkelanjutan. Ini sekaligus memberikan argumen tambahan terhadap mitos yang menyelimuti Bitcoin.
Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan penggunaan listrik untuk pendingin udara rumah tangga yang bisa mencapai sekitar 300 TWh per tahun, sedangkan penambangan BTC tetap menunjukkan kebutuhan energi (143,7 TWh per tahun) yang signifikan, tetapi berada di bawah angka ini.
Ini menjadi bahan pertimbangan penting, karena menunjukkan bahwa meskipun penambangan Bitcoin menggunakan energi yang cukup besar, industri lain juga memiliki jejak karbon yang tidak kalah besar, sehingga diskusi tentang penggunaan energi harus mencakup seluruh sektor. Cambridge bahkan menempatkan angka nol dalam perbandingan konsumsi listrik penambangan BTC dengan industri lain dan rumah tangga.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana penambangan BTC berpotensi dan dapat berperan dalam pemanfaatan energi yang lebih baik. Dengan memanfaatkan energi yang terbuang, penambang Bitcoin tidak hanya membantu mengurangi pemborosan tetapi juga menciptakan nilai ekonomi dari sumber daya yang biasanya tidak terpakai.
Penambangan BTC menawarkan pendekatan yang inovatif dalam penggunaan energi, dengan memanfaatkan sumber daya yang terbuang dan berkontribusi pada diskusi lebih luas tentang keberlanjutan energi di berbagai sektor. Seiring perkembangan industri ini, ada harapan untuk memadukan praktik terbaik dalam pemanfaatan energi, yang tidak hanya menguntungkan penambang tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Efek Gas Rumah Kaca Bitcoin
Namun demikian, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dalam proses penambangan emas secara global, jauh lebih besar daripada Bitcoin, yakni mencapai 100,4 MtCO2e per tahun. Sedangkan Bitcoin baru 72,79 MtCO2e per tahun.
Dalam perbandingan yang lebih luas di industri lain, emisi gas rumah kaca penambangan Bitcoin itu jauh lebih kecil daripada pembakaran bahan-bahan tembakau (84 MtCO2e) per tahun dan industri data center (127 MtCO2e).
Dalam hal perbandingan dengan negara, efek gas rumah kaca penambangan Bitcoin jauh melebihi Selandia Baru dan Kamboja, serta hampir mendekati Kenya.
Jadi, jika Bitcoin adalah sebuah negara, maka ia “lebih merusak” tatanan apik atmosfer Bumi daripada Selandia Baru dan Kamboja, dan bahkan kelak melampaui kerusakan dari Kenya dan Romania. [ps]