Asal ada sama di hati, gajah terantai boleh dilepaskan. Peribahasa itu sesuai dengan kisah Sumardi Fung dan dua rekannya, Robby dan Johny dalam mendirikan dan mengembangkan bursa kripto Rekeningku.com.
Prosesnya memang tak mudah, karena diawali oleh banyak keraguan dan tanda tanya. Tetapi, jikalau kesepakatan dan ketetapan hati sudah ada, maka segala kendala sanggup diatasi.
Tanpa mengesampingkan peran penting Robby dan Johny, sosok awal di balik Rekeningku.com adalah Sumardi Fung sang CEO. Ia membuktikan, bahwa walaupun Blockchain dan dunia kripto masih tergolong baru, siapa pun yang tekun mempelajari dan melaksanakannya, niscaya akan berhasil.
Jangan bayangkan Sumardi adalah jebolan universitas kelas wahid atau pakar bisnis dan keuangan. Ia sangat berbesar hati walaupun hanya tamatan sekolah dasar dan sempat mengenyam pendidikan SMP hingga kelas I (sistem sekarang kelas VII). Tapi kini Sumardi bisa menjadi salah satu pelaku industri kripto Indonesia, sebuah kelas industri baru yang bikin orang ngiler cuan sekaligus kontroversial.
Sumardi mengaku, semasa kecilnya cukup badung dan jarang belajar. Tetapi, ia mengaku dianugerahi bakat istimewa di bidang matematika. Karena itu, setelah tak sekolah lagi, ia lebih banyak menghabiskan waktunya bermain game komputer.
“Tetapi tidak sembarang game. Saya suka game yang logic,” ujarnya.
Dari hobi main game itulah Sumardi mencoba secara otodidak mempelajari teknologi komputer lebih dalam lagi. Ketika mendengar soal Bitcoin dan blockchain pada 2017 lalu, rasa ingin tahunya pun membuncah, meski awalnya sempat bimbang dan tak percaya .
Pria kelahiran Aceh tahun 1980 ini sebelumnya sempat berkiprah di dunia forex selama 12 tahun (2005-2017). Soal forex ini juga otodidak, kata Sumardi. Tetapi, seiring kian masyhurnya kripto pada tahun 2017, Sumardi bersama dua rekannya, Johny dan Robby, banting setir masuk ke industri kripto dengan mendirikan perusahaan Rekeningku.com.
Ketika mulai terjun, Sumardi sama sekali belum mengetahui seluk beluk kripto, termasuk teknologi di baliknya, yaitu blockchain. Ibarat terbentang halimun di hadapan Sumardi, semuanya masih samar-samar. Sumardi pun mulai meraba-raba.
Kali pertama ia mendengar soal kripto dari temannya, sekitar April 2017. Temannya itu menanyakan kepadanya, apakah sudah pernah dengar soal Ethereum. Karena memang tak tahu, Sumardi justru balik bertanya, “Apa itu Ethereum?”
Lalu, temannya itu menjawab ala kadarnya, “Ya, Ethereum itu sejenis Bitcoin.”
“Ah, nggaklah Bitcoin itu scam,” kata Sumardi kala itu.
“Ya, itulah dulu saya memang berpikir Bitcoin adalah scam, alias ‘tipu-tipu’ di dunia money game,” ujarnya.
Kemudian pada hari-hari berikutnya, saat bermain bulutangkis, temannya, seorang pengusaha, juga menanyakan hal yang sama soal Ethereum. Karena memang masih blank, lagi-lagi Sumardi balik bertanya. Tapi, kala itu sang teman tak hanya menjelaskan soal kripto Ethereum secara umum, tetapi juga menyinggung soal menambang. (mining). Teman Sumardi memang sudah melakuan mining sejak lama.
“Dari situlah saya mulai mencoba mempelajarinya. Sepulang main bulutangkis, saya baca-baca di Internet. Oh, ternyata teknologinya bagus banget, bisa smart contract, bisa menghilangkan middleman, dan lain-lain,” katanya mengenang.
Keesokan harinya di kantor, ia meminta bantuan seorang karyawannya untuk mencari GPU (Graphics Processing Unit) yang spesifikasinya sesuai untuk mining. Tetapi, hasilnya nihil. Barang yang dimaksud tidak ada.
Karena masih penasaran, beberapa hari kemudian Sumardi mengajak Robby, teman semasa kecilnya, yang juga sama-sama membangun bisnis forex, ke kawasan bisnis Mangga Dua di Jakarta Utara. Beruntung di sana mereka mendapatkan beberapa unit GPU.
Bermodalkan hobi mengutak-atik perangkat elektronik, Sumardi pun mencoba mempelajari cara mining, ditambah dengan beragam informasi di Internet. Tak perlu waktu lama, Sumardi akhirnya mengerti cara kerjanya, dengan 10 unit GPU sekaligus.
Setelah menghitung berbagai biaya yang dikeluarkan, Sumardi menyimpulkan aktivitas mining ini menguntungkan
“Saya sudah coba mining Zcash, Bitcoin dan lain-lain, akhirnya Ethereum. Lalu saya ajak Robby untuk terus fokus di mining Ethereum. Saya lebih percaya Ethereum itu bisa besar dengan smart contract-nya. Dan kebetulan kami kenal baik dengan sebuah penyalur hardware, karena kami perlu ribuan unit,” ujarnya.
Dalam perjalanan, setelah melakukan mining, Sumardi justru gusar. Ini hasil mining mau dijual ke mana? Saat itu ada yang menyarankan dijual ke Bitcoin.co.id (sekarang Indodax). Akhirnya, sekitar Juli 2017, Sumardi mencoba mempelajari cara kerja pelopor bursa kripto di Indonesia itu.
Di Bitcoin.co.id, buatan Oscar Darmawan itu, Sumardi mendepositkan duit sekitar Rp5 juta untuk mencoba trading.
“Saya masuk ke dalam, saya lihat platform-nya. Lha, ini kan nggak ada bedanya dengan sistem di forex yang saya geluti selama 12 tahun. Basic-nya itu sama, jual dan beli. Saya pun mencoba meyakinkan rekan saya, Johny untuk membuat bursa kripto sendiri. Saya yakinkan dia, bahwa bisnis ini bakal besar,” ujarnya.
Sejak Juli 2017 mereka akhirnya mulai merintis Rekeningku.com, sebagai bursa jual beli kripto.
“Saya juga meyakinkan teman-teman lain waktu itu, start-up bukanlah masalah ide semata, tetapi kecepatan pelaksanaan ide itu sendiri. Contohnya seperti Tokopedia sebagai e-commerce raksasa dan berpengaruh di Asia,” ujarnya.
Sumardi meyakini, yang mendominasi dalam dunia start-up itu ada dua, terkadang tiga start-up. Tidak mungkin hanya satu start-up. Karena itulah, ia menolak kehilangan momentum, di mana saat itu belum banyak exchange ataupun marketplace kripto di Indonesia.
“Saat itu Indodax nomor satu, kemudian ada Luno. Pada saat saya masuk ke Luno, saya lihat ini nggak akan bisa kompetitif, karena dia hanya jual dua kripto. Karena itu, saat pertama kali diluncurkan secara resmi ke publik pada 18 Januari 2018, Rekeningku.com langsung memajang enam kripto sekaligus. Dan saat ini kami sudah punya total 11 kripto, dengan volume transaksi mencapai Rp700-800 miliar per bulan,” ujarnya.
Beruntungnya, pada Desember 2017, setelah produknya sudah selesai meluncur, Rekeningku.com mendapatkan kucuran modal dari Mina Padi, salah satu perusahaan investasi di Indonesia.
“Mina Padi percaya bahwa kripto punya potensi bisnis yang cerah dan platform jual beli punya posisi strategis. Dari titik itu investor lain pun berminat. Dan saat ini ada satu investor lainnya adalah kelompok bisnis besar di Indonesia. Saya belum bisa sampaikan rinciannya,” ujarnya.
Saat ini Sumardi dan kawan-kawan mengelola sebuah mining farm di kawasan Cibitung, Jawa Barat yang berjalan sejak Oktober 2017. Dengan 2.000 unit GPU dan dengan tingkat difficulty rate yang ada saat ini, ia mampu menghasilkan 140-150 Ethereum setiap bulannya.
Menurut Sumardi, tantangan terbesar dalam bisnis ini di Indonesia adalah soal sumber daya manusia di bidang teknologi.
“Bukan berarti tak ada programmer yang jago. Ada banyak, tetapi masalahnya mereka itu perlu waktu untuk belajar soal blockchain, smart contract, cara menghubungkan platform kami ke blockchain dan lain sebagainya. Nah, itu kan butuh waktu. Bahkan, ada sejumlah programmer ketika hendak direkrut enggan mempelajari teknologi itu.
Dari sisi regulasi, Sumardi berharap pemerintah mendukung industri kripto ini untuk berkembang. Karena, industri ini memiliki keuggulan, yaitu bisa memindahkan uang dalam jumlah tak terbatas ke lintas negara dengan biaya murah dan cepat. Negara-negara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia, menurutnya cukup ramah dengan industi ini. Ia yakin pemerintah Indonesia juga demikian, karena pemerintah tidak pernah mengatakan akan melarang, tetapi mengatur.
Sumardi sendiri bersama sejumlah pelaku industri kripto lainnya sudah diajak bicara oleh Bappebti untuk membahas regulasi perdagangan kripto di Indonesia. [jul]