Kekeliruan informasi yang muncul saat Anda bertanya tentang Pemilu 2024 dengan aplikasi Kecerdasan Buatan (AI), seperti ChatGPT adalah tentang hari pemungutan suara (coblosan).
OLEH: Yulhasni
Anggota KPU Sumatera Utara
Aplikasi perangkat lunak yang dikembangkan berdasarkan kecerdasan buatan ini menjawab dengan narasi : “sebagai Al, saya tidak memiliki akses ke informasi masa depan yang belum dipublikasikan atau diputuskan. Oleh karena itu, Pemilu 2024 di Indonesia akan dilaksanakan pada bulan April 2024.’’
ChatGPT begitu banyak diakses publik untuk berbagai kepentingan. Seperti dilansir Media Indonesia, Rabu 15 Maret 2023, sejak diluncurkan pada November 2022, jutaan orang sudah menggunakan ChatGPT.
Bahkan hasil studi UBS mengutip data firma analitik (Similiar Web) aplikasi ini telah diakses 100 juta orang hanya dalam waktu dua bulan.
Dari berbagai literatur disebutkan ChatGPT adalah singkatan dari Chat Generative Pre-Trained Transformer, yakni sebuah sistem yang bersandar pada Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasaan buatan.
Untuk masuk ke aplikasi ini seseorang harus mengakses websitenya yang dinamakan sebagai OpenAI. Teknologi ini adalah platform yang didirikan pada tahun 2015 oleh Sam Altman dan Elon Musk milik perusahaan asal Negeri Paman Sam.
OpenAI inilah yang sekarang jadi ‘tempat bertanya’ tentang apa saja yang diperlukan dan paling banyak digunakan dalam penelitian akademis, pada konteks demokrasi memunculkan kekuatiran tersendiri.
International IDEA, organisasi antarpemerintah yang didedikasikan untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, dalam rilis yang dikeluarkan edisi dua tahun silam menulis, di satu sisi karena AI menyediakan data dan daya komputasi masyarakat kian meningkat, dalam pemerintahan yang demokratis, ini sangat relevan.
Akan tetapi penggunanannya juga dapat memiliki efek yang mengganggu demokrasi, seperti yang ditunjukkan oleh skandal Cambridge Analytica, pemalsuan mendalam dalam kampanye pemilu Presiden AS tahun 2016 yang konon kabarnya terinspirasi teknologi AI.
Pada tahun 2018, terungkap bahwa Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik asal Inggris, terlibat dalam skandal yang berkaitan dengan pelanggaran privasi data.
Cambridge Analytica awalnya dikontrak oleh kampanye presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama pemilihan presiden AS tahun 2016.
Perusahaan ini menggunakan teknik psikografik yang kontroversial untuk menganalisis data pengguna Facebook dan membuat profil psikologis yang dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku pemilih.
Mereka mengklaim dapat menargetkan pesan politik yang sesuai dengan preferensi individu dan mempengaruhi opini mereka.
Cambridge Analytica diduga telah mengumpulkan data pribadi jutaan pengguna Facebook tanpa izin mereka. Terhadap skandal ini, pendiri Facebook Mark Elliot Zuckerberg akhirnya meminta maaf.
Pada konteks Pemilu 2024, OpenAI berpotensi memunculkan disinformasi Pemilu. Disinformasi merujuk pada penyebaran informasi palsu, salah, menyesatkan, atau manipulatif dengan tujuan mempengaruhi opini publik, memanipulasi hasil pemilu, atau menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Disinformasi dalam pemilu dapat berdampak negatif pada integritas pemilu, partisipasi warga, dan stabilitas politik suatu negara. Penyebaran disinformasi pemilu dapat dilakukan melalui berbagai saluran, seperti media sosial, situs web, pesan teks, atau saluran komunikasi lainnya.
Masih segar dalam ingatan kita terkait disinformasi Pemilu 2019 yang diproduksi sejumlah orang dan kemudian menyebar begitu cepat di kalangan masyarakat. Beberapa kasus tersebut diantaranya TPS Palsu. Beredar klaim bahwa ada TPS palsu yang diduga digunakan untuk melakukan kecurangan dalam pemilu.
Klaim ini menimbulkan kepanikan di antara pemilih dan menimbulkan keraguan terhadap proses pemilu. Informasi palsu terkait kontainer yang berisi surat suara sudah dicoblos menjadi tranding topik menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019.
Dua kasus tersebut bagian dari 3.356 hoaks Pemilu Tahun 2019 yang ditemukan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Semula informasi menyesatkan yang tidak jelas sumbernya tersebut dapat diantisipasi oleh KPU dengan berbagai metode sosialisasi kepada masyarakat, salah satunya dengan menganjurkan masyarakat menggunakan sumber informasi yang terpercaya.
Gerakan massif anti hoaks Pemilu nyaris menguras energi penyelenggara Pemilu di sela-sela melaksanakan tahapan yang ketat.
Dengan demikian, akan muncul pertanyaan, apakah OpenAI tidak bisa dipercaya? Di saat validitas informasi OpenAI seperti ‘nyaris tidak diragukan,’ maka masyarakat yang mengkonsumsi informasi Pemilu dengan mudah mempercayai hasil yang disodorkan teknologi AI tersebut.
Bukankah OpenAI adalah Big Data? Sumber data ini meliputi teks dari berbagai sumber seperti buku, artikel, dokumen, dan posting di internet. OpenAI mengumpulkan dan menyaring data yang relevan dan berkualitas untuk digunakan dalam proses pelatihan model AI.
Metode pengolahan data yang dibuat oleh kecerdasan buatan ini pada satu sisi jelas tidak sempurna pada konteks Pemilu di Indonesia sebagaimana pertanyaan di awal yang keliru menyebut hari H pemungutan suara.
OpenAI mengakui itu dengan menjawab: “saya bukanlah sumber yang sempurna dan tidak selalu dapat memberikan jawaban yang benar atau terkini.’’
Jika masyarakat hanya bertanya via Chatbot yang bisa menjawab pertanyaan user dengan langkah yang sama seperti manusia, namun dalam bentuk teks otomatis, kekuatiran akan lahirnya disinformasi Pemilu yang maha luas tidaklah mengkuatirkan.
Akan tetapi ketika aplikasi ini justeru digunakan dalam rangka memproduksi informasi menyesatkan oleh buzzer yang terkordinir dalam rangka mendelegitimasi penyelenggara Pemilu atau menyerang lawan politik, maka langkah mitigasi harus segera dilakukan.
Cerita fiktif dengan mudah diproduksi untuk kemudian disebarkan ke publik dalam rangka menimbulkan kepanikan.
CEO OpenAI, Sam Altman sebagai pencipta teknologi tersebut bahkan sudah mengkuatirkan bahaya Artificial Intelligence (AI) seperti Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT) yang kini ramai digunakan publik. Kekuatiran sang pencipta sama dengan kekuatiran bahwa teknologi AI ini akan diproduksi dalam rangka melahirkan ‘tsunami hoaks Pemilu.’ []