Ketika kondisi fiskal AS makin tidak menentu dan minat asing terhadap obligasi pemerintah mulai surut, sejumlah analis mulai menyuarakan pergeseran dalam strategi investasi.
Salah satunya datang dari CEO 42Macro, Darius Dale, yang dalam perbincangannya bersama Anthony Pompliano di kanal YouTube-nya menegaskan bahwa, instrumen yang dulu dianggap berisiko seperti Bitcoin, emas, dan saham, justru kini bisa menjadi penopang utama portofolio.
Ketimpangan Fiskal AS Makin Terlihat Jelas
Dalam perbincangan tersebut, Dale membongkar kondisi utang publik AS yang terus membengkak tanpa arah penanganan yang jelas. Kedua partai besar di Kongres dianggap tidak mampu (atau tidak mau) memperbaiki kebiasaan belanja yang membebani negara.
Ia menyindir fenomena ini sebagai “kabaret fiskal” yang hanya mengalihkan perhatian publik dari inti masalah, yakni defisit yang terus naik dan tidak ada penghematan berarti.
Bahkan jika pemerintah berhasil memangkas pengeluaran federal sebesar US$1 triliun, dampaknya terhadap rasio defisit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya akan menurun dari 7 persen menjadi sekitar 5 persen.
Sayangnya, menurut Dale, skenario itu pun masih bersifat hipotesis dan tidak mencerminkan realitas saat ini.
Ketergantungan pada Investor Asing Mulai Retak
Di sisi lain, perhatian juga tertuju pada menurunnya minat Tiongkok, Jepang dan Eropa terhadap surat utang AS.
Data terbaru menunjukkan bahwa porsi impor AS dari Tiongkok terus menurun, dari puncaknya di 24 persen tahun 2015 menjadi hanya 13 persen. Imbasnya, dana yang biasanya diputar ulang oleh Tiongkok ke pasar obligasi AS pun ikut berkurang.
“Tiongkok akan terus mengurangi frekuensi reinvestasi mereka ke pasar Treasuri,” ujar Dale.
Untuk Eropa dan Jepang, insentif ekonominya bahkan lebih buruk. Setelah menghitung selisih imbal hasil dan risiko nilai tukar, investor dari dua kawasan ini justru bisa merugi jika tetap membeli obligasi AS.
Jepang, misalnya, berpotensi kehilangan hingga 107 basis poin dibandingkan jika mereka menaruh dana di pasar domestik. Fenomena ini menggeser persepsi klasik tentang obligasi dan dolar AS sebagai aset defensif.
“Kenapa orang masih menyebut obligasi sebagai aset aman, padahal nilainya dipastikan akan turun?” tanya Dale.
Di sisi lain, aset seperti Bitcoin, emas, dan saham justru mencatat performa jauh lebih baik sejak awal tahun.
Menurut data yang dibagikan dalam sesi tersebut, saham naik sekitar 2 persen, Bitcoin 13 persen, dan emas melonjak hingga 28 persen. Bandingkan dengan dolar AS yang melemah 7 persen dan obligasi yang turun 3 persen.
Angka-angka itu bukan hanya statistik, melainkan cerminan perubahan besar dalam dinamika pasar global.
Investor Ritel Terus Masuk Bitcoin, Institusi Masih Ragu
Yang menarik, perbedaan strategi mulai terlihat antara investor ritel dan institusi. Dale menyoroti investor ritel yang justru makin agresif beli Bitcoin setiap penurunan.
“Mereka tampaknya paham bahwa alternatif seperti obligasi dan uang tunai bukan pilihan,” tambahnya.
Namun berbeda dengan institusi besar yang justru masih banyak ‘parkir di pinggir lapangan,’ menunggu momentum.
Sebagai penutup, Dale menekankan bahwa strategi paling masuk akal saat ini adalah memaksimalkan alokasi ke saham, emas dan Bitcoin, serta menghindari obligasi.
“Kalau pemerintah tidak bisa memangkas pengeluaran, maka satu-satunya jalan keluar tinggal dua, yakni tumbuh atau cetak uang. Dan ketika mereka gagal tumbuh, kita tahu apa yang akan mereka pilih,” tegasnya.
Dengan peringatan itu, tampaknya kita sedang memasuki masa di mana “aset aman” justru berubah wujud. Bagi investor yang ingin tetap bisa pensiun dengan nyaman, pertanyaannya bukan lagi apakah mereka harus beralih ke aset seperti Bitcoin, tetapi kapan. [st]