Dolar AS melemah tajam pada paruh pertama 2025, terparah sejak 1973. Analis menyebut kecenderungan ini akan kian terasa. Bagaimana kelak pasar kripto dan saham dapat diuntungkan dalam jangka panjang?
Paruh pertama tahun 2025 menandai fase melemahnya Dolar Amerika Serikat (AS) secara dramatis. Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap enam mata uang utama, mengalami penurunan hampir 11 persen, terburuk sejak 1973.
Ini bukan hanya soal fluktuasi nilai tukar biasa, melainkan bisa jadi awal dari pergeseran besar dalam sistem keuangan global.

Sementara itu, pada awal kuartal ketiga 2025 saja dolar AS lesu memang terasa. Pada perdagangan tanggal 1 Juli 2025, indeks Dolar AS (DXY) tercatat turun tipis sebesar 0,03 persen ke level 96,8470 dibandingkan dengan sesi sebelumnya.
Meski terlihat sebagai pergerakan harian yang relatif kecil, tren pelemahan ini memperkuat sinyal bahwa the green back tengah berada dalam tekanan yang cukup signifikan secara jangka menengah hingga panjang.
Jika dilihat dalam horizon waktu satu bulan terakhir, dolar AS telah melemah sebesar 1,88 persen terhadap sekeranjang mata uang utama dunia.
Bahkan, dalam periode 12 bulan terakhir, penurunan nilai DXY mencapai 8,36 persen. Penurunan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap dolar AS tidak hanya bersifat sesaat, tetapi merupakan bagian dari tren pelemahan yang lebih luas.
Beberapa analis mengaitkan kondisi ini dengan ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) yang cenderung lebih longgar dalam beberapa waktu terakhir, serta meningkatnya keyakinan investor terhadap mata uang-mata uang lain yang dianggap lebih stabil atau memiliki imbal hasil menarik.
Penyebab Dolar AS Kian Menghujam
Pelemahan dolar ini terjadi akibat sejumlah tekanan yang saling memperkuat. Pertama, kembali memanasnya perang dagang. Presiden AS Donald Trump kembali menggelar tarif besar-besaran pada awal April melalui kebijakan “Liberation Day Tariffs.”
Kebijakan ini tak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, tapi juga menciptakan ketidakpastian besar di mata investor global.
Dampaknya langsung terasa. Pada bulan April saja, dolar terperosok 4,9 persen. Banyak investor mulai menarik dana dari aset-aset berbasis dolar dan memilih instrumen yang dianggap lebih stabil, seperti emas dan obligasi negara lain.
Kondisi ini makin parah ketika sektor-sektor vital seperti pertanian dan manufaktur berat terpukul oleh naiknya biaya impor dan turunnya permintaan ekspor.
Faktor kedua adalah membengkaknya defisit anggaran pemerintah AS. Dalam delapan bulan pertama tahun fiskal 2025, defisit telah mencapai US$1,4 triliun, meningkat 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pemerintah mengeluarkan lebih banyak dana, sementara penerimaan pajak tak mampu mengimbangi. Ketika utang nasional melonjak, kepercayaan investor pada kemampuan AS mengelola keuangannya pun melemah.
Ketiga, muncul keraguan besar atas independensi bank sentral AS. Ketua The Fed, Jerome Powell, berulang kali mendapat tekanan politik dari Gedung Putih untuk menurunkan suku bunga.
Bahkan, ada laporan soal perintah eksekutif yang memaksa The Fed menyesuaikan regulasi sesuai arahan presiden. Intervensi semacam ini mencederai kredibilitas institusi yang seharusnya netral dan berorientasi jangka panjang. Ketika kepercayaan pada The Fed goyah, maka status dolar sebagai safe haven pun ikut terguncang.
Menariknya, tren ini memicu gejala yang lebih dalam, yakni dedolarisasi. Semakin banyak bank sentral mengurangi porsi dolar dalam cadangan devisanya, turun ke 59 persen, level terendah dalam puluhan tahun.
Survei juga menunjukkan 70 persen investor kini enggan menempatkan dana dalam dolar AS, melonjak dari 31 persen tahun lalu. Banyak yang kini beralih ke emas, komoditas, atau bahkan mata uang digital berbasis dolar AS seperti stablecoin, sebagai alternatif.
Prediksi: Dolar AS Masih Akan Tertekan
Beberapa institusi keuangan global memprediksi tren pelemahan dolar AS akan berlanjut hingga akhir 2025, meski tidak dalam lintasan lurus.
Cambridge Associates pada tahun 2024 pernah memperkirakan dolar AS akan melemah lebih lanjut seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dan kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada kuartal keempat.
Standard Chartered pada 27 Juni 2025 lalu bahkan menempatkan “dolar AS lemah” sebagai tema utama investasi semester kedua 2025.
Bank of America menyebut pelemahan ini sebagai bentuk “normalisasi” dari level yang sebelumnya terlalu tinggi. Sementara itu, sejumlah analis memperingatkan bahwa tekanan struktural seperti defisit fiskal dan ketidakpastian kebijakan akan menciptakan lingkungan tidak bersahabat bagi dolar AS.
Jika tekanan dari sektor politik dan fiskal tak kunjung reda, dolar AS bisa kehilangan lebih dari sekadar nilai tukarnya, yaitu kepercayaan global yang selama ini menopangnya.
Menurut proyeksi yang dihimpun dari model makro global dan ekspektasi para di Trading Economics, nilai tukar dolar AS diperkirakan akan berada di kisaran 97,31 pada akhir kuartal ini. Proyeksi ini mencerminkan adanya potensi stabilisasi atau sedikit rebound dalam jangka pendek, meskipun masih berada di bawah rata-rata tahunan sebelumnya.
Sementara itu, dalam jangka waktu 12 bulan ke depan, dolar AS diperkirakan akan diperdagangkan pada kisaran 97,37. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemungkinan pemulihan teknikal, secara fundamental dolar AS diprediksi tetap berada dalam posisi yang lemah jika dibandingkan dengan kondisi tahun-tahun sebelumnya.
Ringkasnya, perkembangan ini menjadi perhatian penting bagi pelaku pasar global, mengingat dolar AS merupakan mata uang cadangan dunia dan acuan utama dalam perdagangan internasional.
Pelemahan berkelanjutan dari dolar AS bisa berdampak pada arus modal lintas negara, pergerakan harga komoditas, serta dinamika pasar obligasi dan saham di berbagai negara.
Bagi negara-negara berkembang, depresiasi dolar AS bisa menjadi berkah karena meringankan beban utang luar negeri, namun di sisi lain bisa memicu volatilitas jika disertai ketidakpastian arah kebijakan The Fed.
Saham dan Kripto Bisa Diuntungkan
Pelemahan tajam dolar AS yang terjadi sepanjang paruh pertama 2025 membawa dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar fluktuasi nilai tukar semata.
Di balik tekanan yang menggerus indeks DXY hingga menyentuh 96,84—], terendah dalam lebih dari setahun, terbuka ruang baru bagi aset berisiko seperti saham dan cryptocurrency untuk menguat.
Sentimen pasar mulai bergeser, di mana ketika kekuatan dolar AS melemah, investor cenderung mencari alternatif dengan potensi imbal hasil lebih tinggi, dan di sinilah aset-aset seperti equity dan kripto mulai mendapat sorotan.
Lihatlah pada Jumat lalu, S&P 500 dan Nasdaq berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang masa, sebuah pencapaian yang tidak bisa dilepaskan dari tren melemahnya dolar AS. Ketika indeks dolar terus tertekan dan suku bunga riil menunjukkan kecenderungan turun, pasar saham merespons dengan antusias.
Investor global yang sebelumnya menghindari risiko mulai kembali masuk ke aset-aset ekuitas, terutama saham-saham teknologi dan sektor berbasis inovasi digital yang menjadi penggerak utama indeks Nasdaq.
Dalam kondisi di mana imbal hasil obligasi AS menurun dan prospek suku bunga cenderung lebih longgar akibat tekanan fiskal dan politik, pasar saham bisa mendapatkan momentum.
Investor institusi dan ritel melihat pelemahan dolar AS sebagai sinyal bahwa The Fed mungkin akan berupaya menjaga likuiditas dan stabilitas pasar dengan menahan atau bahkan menurunkan suku bunga.
Langkah seperti ini biasanya mendorong reli di pasar saham, terutama pada sektor-sektor teknologi, energi terbarukan dan keuangan digital.
Di sisi lain, pasar crypto juga merespons positif. Aset digital seperti Bitcoin dan Ethereum secara historis cenderung menguat ketika dolar AS melemah.
Fenomena ini bukan hanya karena kripto dipandang sebagai lindung nilai terhadap pelemahan mata uang fiat, tetapi juga karena dolar AS yang lemah mengindikasikan minat risiko yang meningkat di kalangan investor global. Perihal itu, Bitwise sudah mengupas tuntas di artikel Mei 2025 ini.
Selain itu, munculnya dedolarisasi dan penurunan kepercayaan terhadap bank sentral tradisional turut memperkuat narasi bahwa kripto, khususnya stablecoin dan token berbasis infrastruktur finansial, bisa menjadi alternatif yang lebih netral dan terdesentralisasi.
Dengan kata lain, pelemahan dolar AS bukan semata-mata berita buruk. Di tengah ketidakpastian arah kebijakan The Fed, tekanan fiskal pemerintah AS dan intervensi politik yang memudarkan kredibilitas lembaga moneter, justru tercipta ruang pertumbuhan bagi pasar modal dan aset digital.
Jika tren ini berlanjut, maka 2025 bisa menjadi tahun emas bagi sektor-sektor yang selama ini mengandalkan pelemahan dolar AS sebagai katalis, termasuk saham teknologi dan aset kripto utama.
Sebagai penutup, menarik rasanya pendapat dari pemain lama crypto ini. Anthony Pompliano pada 29 Juni 2025 di X menyatakan bahwa semakin banyak uang yang dicetak oleh otoritas moneter, maka harga aset akan terus naik.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa berhenti mencetak uang, sehingga dalam jangka panjang harga aset pun tak akan berhenti naik. Menurutnya, satu-satunya “dosa besar” dalam dunia keuangan adalah menyimpan kekayaan dalam bentuk dolar AS atau obligasi, karena keduanya akan terus terdevaluasi.
“Segala bentuk aset lainnya cenderung diuntungkan. Selama Anda tidak menjadi ‘pendosa,’ Anda akan menang,” ujarnya.
Anthony Pompliano menyampaikan bahwa dalam kondisi ekonomi saat ini, di mana pemerintah terus mencetak uang (yang menyebabkan nilai dolar AS terus menurun), maka menyimpan kekayaan dalam bentuk dolar AS atau obligasi (yang nilainya ikut tergerus inflasi) dianggap sebagai tindakan yang merugikan, itulah yang ia sebut sebagai “dosa besar” dalam konteks keuangan.
Sebaliknya, jika seseorang memilih untuk menempatkan kekayaannya dalam bentuk aset lain seperti saham, properti, emas, atau crypto, maka ia akan “diuntungkan” karena nilai aset-aset tersebut cenderung naik ketika nilai uang fiat seperti dolar AS terus melemah.
Penurunan tajam dolar AS yang tengah berlangsung bukan sekadar gejala teknikal pasar, tetapi bisa menjadi sinyal perubahan mendasar dalam lanskap keuangan global.
Jika tekanan terhadap dolar AS terus berlanjut dan keyakinan terhadap otoritas moneter AS semakin terkikis, maka investor akan semakin agresif mencari alternatif yang menjanjikan pertumbuhan dan stabilitas, baik di pasar saham maupun aset digital.
Kripto dan saham teknologi berpeluang besar menjadi bintang baru dalam tatanan investasi yang mulai menghindari ketergantungan tunggal pada mata uang cadangan lama dunia.
Dalam konteks ini, melemahnya dolar bukan akhir dari sebuah dominasi, melainkan awal dari redistribusi kekuatan dalam dunia keuangan yang semakin multipolar dan terdesentralisasi. [st]