Geliat yuan Tiongkok yang merajalela telah membuat dolar AS kian terkapar dalam pertukaran valuta asing oleh bank sentral dunia.
Aksi dedolarisasi saat ini kian marak, khususnya dari para anggota aliansi BRICS, yang diikuti oleh beberapa negara yang berminat untuk bergabung dalam aliansi.
Mata uang Tiongkok, yuan, telah menjadi pesaing utama dolar AS dalam penggunaan di kancah perdagangan global, yang tampaknya belum akan berhenti sampai di situ.
Dolar AS TerkaparÂ
Berdasarkan laporan Watcher News, yuan Tiongkok telah melihat adanya rekor dari pertukaran valuta asing bank sentral dunia di kuartal pertama tahun ini. Ini telah menjadi tanda lainnya dari meningkatnya status internasional yuan.
Sekadar informasi, pertukaran valuta asing adalah perjanjian di mana bank sentral meminjamkan dan meminjam mata uang satu sama lain pada waktu yang sama, pada waktu tertentu.
Awal pekan ini, bank sentral Tiongkok, PBoC, telah melaporkan bahwa total saldo seluruh swap valuta asing mencapai 109 milyar yuan, setara US$15,6 milyar. Data ini mewakili peningkatan kuartalan terbesar kedua dalam sejarah.
Angka tersebut lebih besar 20 milyar yuan dibandingkan level yang dicapai di akhir tahun kemarin, meski bank sentral tersebut tidak merinci negara mana saja yang telah berkontribusi.
Diketahui, penyebab peningkatan tersebut adalah kian banyaknya negara yang ingin menggunakan mata uang lokal mereka untuk menyelesaikan perdagangan dengan Tiongkok.
Bahkan, Argentina dan Brasil telah melirik langkah pertukaran valuta asing untuk penyelesaian impor mereka dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Sanksi ekonomi AS terhadap Rusia dan Iran dinilai telah membantu yuan dalam meningkatkan adopsinya, menjadi mata uang alternatif dalam transaksi internasional.
Dolar AS pun tampak kian terkapar oleh perkembangan dari yuan, menimbulkan kekhawatiran yang kian dalam di pihak AS.
Meski begitu, yuan masih jauh untuk menggenggam status standar internasional, seperti dolar AS. Mata uang AS masih menyumbang lebih dari 80 persen dalam perdagangan global.
Meski perlahan, aksi dedolarisasi tampak akan semakin intens, dengan beberapa negara besar yang diprediksi bakal bergabung dengan BRICS, seperti Arab Saudi, salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia. [st]