Financial Action Task Force (FATF), organisasi antarpemerintah yang bertujuan memerangi pencucian uang, mendefinisikan uang virtual sebagai representasi digital terhadap nilai yang bisa diperdagangkan secara digital dan berfungsi sebagai alat pertukaran, ukuran nilai ekonomis, dan alat simpan nilai, tetapi tidak memiliki status sebagai legal tender (mata uang sah).
Secara khusus, kripto didefinisikan sebagai uang virtual berbasis matematika dan terdesentralisasi yang bisa ditukar dengan uang fiat serta dilindungi oleh kriptografi untuk menerapkan ekonomi informasi yang terdistribusi, desentralistik dan aman.
Kendati demikian, di Indonesia kripto tidak definisikan sebagai uang dan tidak diizinkan sebagai alat pembayaran oleh Bank Indonesia. Kripto juga tidak disebut sebagai sekuritas sebab tidak memberikan deviden bagi para pemiliknya. Kripto di Indonesia dianggap sebagai komoditas yang boleh diperdagangkan, di mana aturannya sedang diracik oleh Bappebti.
Menanggapi soal kripto sebagai mata uang, Dr. Edi Prio Pambudi, Asisten Deputi Menteri Moneter dan Neraca Pembayaran, berkata memang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang tidak menyebut “uang digital”, sehingga tidak diatur oleh Bank Indonesia, tetapi ia berpendapat pemerintah sebaiknya mencari peluang.
“Jika teknologi itu kita atur, bisa membantu yang lain. Kripto hanya sebagai proses yang ikut dalam teknologinya. Dari sisi pemerintah, saya dan tim mendorong agar kripto kita atur dan tata, yang penting inovasi tersebut tidak hilang,” jelas Edi dalam wawancara kepada BlockchainMedia di acara BlockBali, Sabtu (17/11).
Edi memandang kripto bisa menjadi sarana inklusi finansial yang bagus bagi masyarakat Indonesia, sebab bisa menjadi investasi alternatif selain tanah dan aset lainnya. Oleh karena itu peraturan yang mendukung kripto menjadi sangat penting untuk membuka akses dan mendidik masyarakat tentang teknologi uang.
Berbicara soal regulator yang mengatur kripto, Edi menyayangkan masih sangat sedikit regulator yang memakai atau setidaknya mencoba kripto. Ia meminta kepada pelaku industri blockchain dan kripto Indonesia agar “membanjiri regulator dengan informasi” sehingga pemerintah punya pandangan yang beraneka. Ia menyemangati peserta BlockBali agar “menyiapkan pasukan dan buat ekosistem yang kuat” sehingga kebijakan terhadap kripto akan ikut.
“Regulasi kripto di Indonesia hanyalah persoalan komunikasi antara orangtua dengan anak muda,” jelas Edi. Ia memberikan analogi di mana pihak orangtua terbiasa melarang segala sesuatu bagi anak muda. Anak yang bermain pasti ingin untung, bukan kalah, sehingga orang tua cukup hanya mengarahkan saja.
Bahkan, bukan tidak mungkin industri blockchain di Indonesia diizikan untuk self-regulating, tetapi ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar hal tersebut bisa terjadi, menurutnya.
“Pertama, sepanjang bisa menyejahterakan rakyat banyak pasti didukung. Kedua, dia membuka lapangan pekerjaan. Ketiga, membawa daya saing pemerintah, misalkan bisa diekspor dan menghasilkan valas,” kata Edi.
Edi juga menyoroti soal pandangan Bank Indonesia terhadap kripto.
“Kalau kripto bisa membawa dukungan banyak untuk masuknya valas ke Indonesia, pasti didukung BI,” kata Dr. Edi dengan penuh semangat.
Soal kripto terbitan bank sentral (Central Bank Digital Currency atau CBDC), Edi optimis. Bank Indonesia membiayai operasionalnya dari transaksi keuangan. BI memiliki kewajiban memastikan semua operasional keuangan di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Dalam hal ini, BI harus berhati-hati menerapkan teknologi baru yang mempengaruhi kinerjanya, tetapi Edi berkata, di saat yang sama kita harus membuka diri terhadap teknologi, selama ada manfaatnya.
“Saya sangat yakin pengaturan kripto ini akan jadi lebih baik,” jelasnya.
Teknologi memiliki prinsip life must go on, yaitu akan terus berjalan terlepas dari regulasi yang dibuat. Dibutuhkan perubahan yang radikal untuk membuat sebuah terobosan besar. Perubahan radikal sering terasa menyakitkan, tetapi Edi percaya dari proses tersebut Indonesia bisa melompat jauh ke depan. [ed]