Seorang ekonom dari lembaga peringkat kredit S&P mengatakan bahwa status dolar AS sebagai mata uang cadangan global saat ini sedang terancam.
Kepada Reuters, kepala ekonomi Standard & Poor’s Global (S&P), Paul Gruenwald, mengatakan dalam sebuah konferensi di London bahwa dolar AS tidak lagi memiliki daya tarik seperti dulu.
“Dengan fragmentasi di sekitar tepiannya, sanksi agresif AS terhadap Rusia sebagai tanggapan atas konflik yang terjadi telah mendorong negara-negara lain di seluruh dunia untuk mulai melakukan perdagangan dalam mata uang lain selain dolar, dan memulai kembali cadangan emas mereka,” kata sang ekonom, sebagaiman dilansir DailyHODL, belum lama ini.
“Kita memiliki hal-hal lain yang terjadi di luar dunia dolar.”
Dalam kajian Gruenwald, posisi dolar AS terancam gegara meningkatnya perdagangan yang dilakukan dalam yuan Tiongkok.
“Dan pembiayaan rendah yang ditawarkan oleh bank-bank Tiongkok seperti Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dan Bank Pembangunan Baru (NDB), yang didirikan oleh BRICS, koalisi ekonomi dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.”
“Dolar AS akan terus menjadi mata uang dunia utama, tetapi tidak lagi menjadi mata uang dunia yang dominan,” ujar sang ekonom.
Pada awal bulan ini, mantan legislator Paul Ryan mengatakan bahwa posisi dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia berada dalam bahaya karena pemerintah AS mengakumulasi jumlah utang yang besar.
Menurut mantan perwakilan Wisconsin tersebut, negara ini menuju krisis utang, yang dapat berdampak negatif pada status dolar sebagai mata uang cadangan dunia yang paling dominan.
Teranyar, Reuters melaporkan bahwa dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), setelah pekan lalu mencatat penurunan mingguan terbesar tahun ini sementara semua pembicara Federal Reserve dilarang melakukan komunikasi menjelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan depan.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingannya turun 0,08 persen menjadi 99,8404 pada akhir perdagangan.
Minggu ini kemungkinan dolar akan terkonsolidasi karena investor menunggu pertemuan The Fed minggu depan, ketika bank sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga dengan tambahan 25 basis poin.
Pasar hampir sepenuhnya memperkirakan kenaikan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan FOMC berikutnya.
Menurut kalender ekonomi AS, Biro Sensus AS akan merilis data penjualan ritel Juni pada Selasa dan Fed akan menerbitkan angka produksi industri.
“Guncangan disinfasi AS pekan lalu mengubah lanskap FX (valuta asing), tetapi beberapa hari tanpa rilis data kunci akan memberi tahu kita apakah dorongan itu dapat membuat dolar tetap lemah menjelang risiko acara FOMC yang semakin dekat,” kata Francesco Pesole, ahli strategi FX di ING.
“Euro/ dolar tampak sedikit terlalu diperpanjang dalam jangka pendek dan bisa menghadapi koreksi minggu ini,” tambahnya.
Indeks dolar terakhir turun 0,12 persen menjadi 99,832, setelah turun ke 99,574 pada Jumat, level terendah sejak April 2022. [ab]