Jepang, negara yang kerap diasosiasikan dengan teknologi canggih, budaya unik dan nostalgia masa kecil lewat Nintendo, ternyata tengah berdiri di tepi jurang krisis yang bisa mengguncang sistem keuangan global.
Di tengah fokus dunia yang lebih sering tertuju ke AS dan Tiongkok, Jepang justru bisa menjadi katalis utama kehancuran ekonomi berikutnya. Hal ini bukan sekadar spekulasi, melainkan didasarkan pada data ekonomi yang kian mengkhawatirkan.
Ekonomi Jepang Terkapar di Tengah Beban Utang yang Meningkat Tajam
Per 2024, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang telah menembus angka 250 persen. Sebagai perbandingan, banyak ekonom sepakat bahwa angka 122 persen saja sudah dianggap lampu merah. Jepang bahkan sudah melewati dua kali lipatnya.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba sendiri pernah menyatakan bahwa kondisi fiskal Jepang “lebih buruk dari Yunani,” negara yang sempat nyaris menjatuhkan Uni Eropa pada 2009.
Sebagian besar anggaran Jepang justru habis untuk membayar bunga utang, bukan untuk pembangunan atau inovasi.
Sekitar seperempat dari anggaran nasional 2025, yakni setara dengan 115 triliun yen (sekitar Rp13.200 triliun), dialokasikan hanya untuk membayar bunga. Sementara itu, sepertiga lainnya tersedot ke program jaminan sosial untuk populasi lansia yang terus membengkak.
Masalah Demografis yang Sulit Diselesaikan
Namun persoalan Jepang tidak berhenti di angka utang. Negara ini tengah menghadapi krisis demografi yang sangat serius. Penduduknya terus menua, sementara tingkat kelahiran terus menurun.
Jika tren ini berlanjut, Jepang bisa kekurangan lebih dari 11 juta tenaga kerja pada 2040. Dampaknya jelas, makin sedikit pekerja berarti makin kecil penerimaan pajak dan makin besar beban sosial. Ekonomi pun kehilangan tumpuan utamanya, manusia produktif.
Di sisi lain, harapan pada otomatisasi dan robotik mungkin saja membantu, namun belum cukup untuk menutupi kekosongan besar yang akan terjadi dalam waktu dekat. Ini membuat Jepang terlihat seperti ekonomi besar yang pelan-pelan tenggelam dalam lumpur, tanpa cukup dorongan untuk bisa bangkit.
Dampak Global: Dari Tarik Modal hingga Guncangan Pasar
Apa jadinya jika Jepang benar-benar “pecah?” Hal pertama yang mungkin terjadi adalah anjloknya nilai yen. Mata uang ini merupakan salah satu yang paling sering diperdagangkan di dunia.
Jika kepercayaan terhadap yen hilang, maka pasar valuta asing bisa panik. Harga impor akan melonjak di dalam negeri, sementara pasar global juga ikut goyah.
Tak kalah berbahaya adalah potensi Jepang menjual aset-aset luar negerinya untuk menyelamatkan ekonomi dan menjaga nilai tukar.
Saat ini Jepang memegang lebih dari US$3,7 triliun aset luar negeri, termasuk lebih dari US$1 triliun dalam bentuk surat utang pemerintah AS. Jika negara ini mulai melepas aset-aset tersebut dalam jumlah besar, maka efek domino bisa menyentuh dari New York hingga London dan Hong Kong.
“Kalau Jepang mulai menjual surat utang AS, efeknya bisa lebih menakutkan daripada saat Tiongkok melakukan hal serupa,” ujar analis dan influencer kripto Lark Davis, dalam video terbarunya.
Bitcoin di Tengah Badai: Terpuruk Dulu, Bangkit Lebih Kuat?
Dalam jangka pendek, krisis Jepang bisa berdampak negatif bagi hampir semua kelas aset, termasuk kripto. Investor institusional kemungkinan besar akan melepas berbagai aset, termasuk Bitcoin, demi mengamankan likuiditas. Namun, situasi ini justru bisa membuka mata banyak orang terhadap kegagalan sistem moneter terpusat.
Jepang adalah contoh nyata bagaimana manipulasi suku bunga dan pencetakan uang dalam jangka panjang tidak menghasilkan stabilitas.
Dan dalam kondisi dunia yang semakin kehilangan kepercayaan terhadap uang fiat, aset seperti Bitcoin dengan suplai terbatas dan tidak bisa dimanipulasi oleh pemerintah justru bisa menjadi pelarian.
“Bitcoin lahir untuk menghadapi ketidakpastian sistemik seperti ini. Di saat bank sentral kehabisan peluru dan pemerintah mulai panik, Bitcoin menawarkan alternatif nyata yang tidak bisa dimanipulasi,” ungkap Davis.
Krisis fiskal dan demografi Jepang bukan hanya masalah domestik. Ini adalah gema dari kegagalan sistem keuangan global yang selama ini ditambal dengan solusi jangka pendek.
Jika Jepang benar-benar tumbang, bukan hanya pasar Asia yang terguncang, dunia juga akan merasakannya. Dan mungkin, dari reruntuhan sistem lama itulah, alternatif seperti Bitcoin mulai mendapatkan panggungnya. [st]