Tak hanya Bitcoin yang sedang berdarah-darah, ekonomi Jepang berkontraksi hingga 7,1 persen selama periode Oktober-Desember 2019. Capaian itu lebih buruk dari perkiraan awal, yang meningkatkan kekhawatiran ekonomi terbesar ketiga di dunia itu bisa menuju ke resesi, ketika dalam dua kuartal kontraksi terjadi secara berturut-turut.
Kontraksi adalah yang pertama bagi Jepang dalam lebih dari satu tahun dan mengikuti kenaikan 1 Oktober 2019 dalam pajak penjualan, yang menekan belanja ritel. Data Kantor Kabinet, dirilis Senin hari ini, adalah revisi dari estimasi bulan lalu tentang penurunan 6,3 persen.
Data tidak mencerminkan penurunan tajam dalam pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya yang terkait dengan wabah COVID-19 yang telah menyebar dari Tiongkok ke sebagian besar dunia, termasuk Jepang.
Secara triwulanan, perekonomian Jepang menyusut 1,8 persen pada Oktober-Desember dari kuartal sebelumnya. Perkiraan sebelumnya adalah kontraksi 1,6 persen.
Permintaan domestik, termasuk investasi dan konsumsi turun 2,4 persen. Sedangkan pengeluaran pemerintah relatif datar.
Yoshimasa Maruyama, analis di SMBC Nikko Securities, menyebutkan situasi itu serius.
“Resesi bisa lebih dari sekadar teknis dan ekonomi benar-benar bisa menurun,” katanya.
Pada perdaganan Senin ini, Nikkei jatuh lagi pada perdagangan Senin, kehilangan 6,2 persen di pagi hari diperdagangkan ke 19.473,07.
Jepang telah berusaha untuk keluar dari kelesuan ekonomi dengan mendorong proyek pinjaman dan pekerjaan umum. Pemerintah telah mengumumkan berbagai langkah stimulus untuk menghadapi perlambatan tersebut. [Marketwatch/red]