Penyedia blockchain Venom disebut-sebut akan diakuisisi oleh entitas fintech asal Tiongkok pada akhir 2025 atau pada 2026.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh sumber informasi Tiongkok, Toutiao, sebuah perusahaan teknologi finansial besar asal Tiongkok tengah melakukan negosiasi untuk mengakuisisi solusi blockchain dari Venom Foundation yang berbasis di Abu Dhabi.
Jika kesepakatan ini terwujud, langkah tersebut dapat menjadi tonggak penting dalam upaya integrasi infrastruktur blockchain berperforma tinggi ke dalam sistem keuangan Tiongkok, terutama sejalan dengan arahan terbaru pemerintah terkait transformasi digital sektor finansial.
Potensi akuisisi ini mengingatkan pada strategi yang pernah ditempuh Ant Financial (kini Ant Group) pada 2016 ketika mencoba membeli MoneyGram senilai 1,2 miliar dolar AS. Meski akhirnya digagalkan oleh regulator Amerika Serikat dengan alasan keamanan nasional, upaya tersebut menunjukkan keseriusan perusahaan Tiongkok dalam berinvestasi di teknologi pembayaran lintas batas.
Kini, dengan lanskap geopolitik yang berubah, mengakuisisi teknologi dari yurisdiksi netral seperti Uni Emirat Arab dinilai lebih realistis untuk mencapai tujuan serupa.
Apa Itu Blockchain Venom?
Venom sendiri merupakan platform blockchain Layer-0 yang dirancang untuk kebutuhan korporasi sekaligus memenuhi regulasi pemerintah. Dalam uji coba beban terbaru, Venom terbukti mampu memproses hingga 150.000 transaksi per detik dengan penyelesaian dalam waktu tiga detik.
Arsitekturnya menggunakan dynamic sharding dan eksekusi paralel smart contract melalui model unik TVM (Threaded Virtual Machine), memungkinkan sistem tetap skalabel tanpa kehilangan performa.
Lebih jauh, platform ini sudah terintegrasi dengan mekanisme kepatuhan regulasi, termasuk prosedur KYC dan AML, serta mendukung penerbitan stablecoin berbasis pemerintah.
Minat terhadap teknologi semacam ini meningkat signifikan setelah Bank Rakyat Tiongkok bersama enam lembaga utama lainnya menerbitkan dokumen “Opini Panduan tentang Dukungan Finansial bagi Industrialisasi Baru.”
Dokumen tersebut untuk pertama kalinya secara resmi mengangkat blockchain dan kecerdasan buatan sebagai bagian dari “infrastruktur finansial,” mewajibkan lembaga keuangan untuk memanfaatkan teknologi ini demi meningkatkan layanan bagi ekonomi riil, khususnya usaha kecil dan menengah.
Arahan tersebut menegaskan perlunya penerapan blockchain dalam sistem “kredit digital” dan pelacakan data rantai pasok yang transparan—dua bidang yang sangat sesuai dengan kapabilitas Venom.
Seiring negosiasi dengan Venom, sektor keuangan Tiongkok juga semakin aktif dalam inovasi berbasis blockchain. Bank-bank besar di negara tersebut telah meluncurkan proyek percontohan dengan distributed ledger untuk pembiayaan perdagangan dan manajemen rantai pasok (supply chain).
Bank sentral terus menguji yuan digital, sementara pemerintah daerah mencoba platform blockchain untuk layanan publik. Dengan adanya arahan baru pemerintah, berbagai eksperimen tersebut kini berubah status dari inisiatif opsional menjadi elemen wajib dari infrastruktur keuangan.
Menurut sumber, kesepakatan ini berpotensi rampung antara akhir 2025 hingga awal 2026, meski perwakilan resmi perusahaan masih enggan memberikan komentar.
Jika negosiasi berhasil, hal ini dapat menjadi preseden bagi masuknya lebih banyak teknologi blockchain internasional ke Tiongkok, khususnya yang sesuai dengan standar regulasi baru dalam membangun “infrastruktur finansial digital.”
Pertanyaannya, apakah kesepakatan ini akan menjadi pemicu gelombang akuisisi teknologi berikutnya, atau hanya sekadar kasus terisolasi dalam lanskap keuangan digital yang terus berkembang. [ps]
Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.