Gejolak Konflik AS-Iran Guncang Pasar Kripto, Namun Harga Mulai Pulih Bertahap

Pasar kripto mulai pulih pasca terjerembab. Harga BTC mencoba rebound di atas US$101 ribu dan altcoin reli kembali.

Setelah sempat tergelincir ke bawah level psikologis US$99.000 akibat memanasnya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran, harga Bitcoin perlahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Terpantau pada Senin (23/6/2025) malam, harga BTC melambung ke US$101 ribu.

Eskalasi konflik menyusul serangan udara AS ke fasilitas nuklir utama Iran sempat mengguncang pasar sejak 13 Juni 2025, memicu aksi jual besar-besaran di aset kripto dan menciptakan kepanikan jangka pendek di kalangan investor.

Bitcoin mencetak posisi terendah sejak awal Mei 2025, sementara Ethereum, kripto terbesar kedua, sempat ambles lebih dari 10 persen sebelum akhirnya rebound tipis. Altcoin seperti Solana, XRP, dan Dogecoin juga tak luput dari tekanan. Penurunan tajam pada fase awal konflik tercatat: Solana sempat merosot lebih dari 7 persen, XRP anjlok 8 persen, dan Dogecoin menyentuh minus 9 persen, sebelum kemudian mulai merangkak naik pada perdagangan Senin pagi waktu Asia.

Data dari CoinGlass mencatat bahwa lebih dari US$1 miliar posisi kripto terlikuidasi dalam 24 jam terakhir, mayoritas dari posisi long yang terlalu agresif. Hal ini memperlihatkan rapuhnya struktur pasar ketika diterpa ketidakpastian global.

Vice President Indodax, Antony Kusuma, menekankan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan hanya disebabkan faktor teknikal semata.

Ekspektasi The Fed Pangkas Suku Bunga Jadi Katalis Kenaikan Kripto

“Sentimen risiko makro masih mendominasi. Serangan militer AS ke Iran jelas meningkatkan ketidakpastian global, dan pasar bereaksi cepat terhadap risiko-risiko seperti ini. Walaupun Bitcoin kadang disebut sebagai lindung nilai terhadap inflasi, dalam jangka pendek ia tetap dikategorikan sebagai aset berisiko oleh banyak investor,” ujar Antony dalam pernyataan resminya, pada Senin.

Ia menambahkan bahwa sejak munculnya sinyal ketegangan pekan lalu, pelaku pasar cenderung mengurangi eksposurnya di aset digital. Ini terlihat dari aliran masuk ke ETF spot Bitcoin yang menurun drastis menjelang akhir pekan lalu. Dari Senin hingga Rabu, dana yang masuk tercatat lebih dari US$1 miliar, namun stagnan pada Kamis dan hanya menyentuh US$6,4 juta pada Jumat.

“Sikap wait and see dari investor institusi jelas terlihat, karena mereka menanti arah kebijakan lebih lanjut dari pemerintahan AS. Ini bisa menjadi cerminan bagaimana pasar bereaksi terhadap kombinasi faktor geopolitik dan ketidakpastian makro,” lanjutnya.

Sementara itu, sentimen global juga dibayangi oleh prediksi JPMorgan bahwa harga minyak mentah bisa melonjak ke kisaran US$130 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz. Langkah ekstrem itu dinilai akan mendorong inflasi AS kembali mendekati 5 persen, dan berpotensi membalikkan arah kebijakan suku bunga The Fed yang selama ini diproyeksikan turun pada akhir 2025.

Dampaknya, sejumlah investor mulai mengalihkan dana dari aset berisiko tinggi seperti kripto menuju instrumen yang lebih aman seperti obligasi pemerintah dan emas, menambah tekanan jual dalam waktu singkat di pasar aset digital.

Namun di tengah tekanan tersebut, tren siklus pasca-halving Bitcoin yang terjadi pada April 2024 tetap menjadi acuan penting. Secara historis, fase pasca-halving berlangsung antara 12 hingga 18 bulan dan sering kali menjadi pemicu tren naik jangka menengah hingga panjang.

Antony optimistis bahwa ruang untuk pemulihan harga tetap terbuka lebar. “Fundamental Bitcoin tidak berubah. Suplai tetap terbatas dan penerimaan institusi terus bertumbuh. Tekanan jangka pendek seperti ini adalah bagian dari dinamika pasar yang sudah sering terjadi,” ujarnya.

Ia mengimbau investor retail agar tidak terjebak kepanikan. Menurutnya, volatilitas tinggi memang bagian tak terpisahkan dari pasar kripto.

“Koreksi tajam sering kali membuka peluang akumulasi bagi mereka yang memahami strategi jangka panjang,” jelas Antony.

Indodax sebagai platform jual beli aset kripto di Indonesia mengaku terus memperkuat edukasi dan transparansi kepada para penggunanya, termasuk menjalin sinergi dengan otoritas agar transaksi tetap aman dan sesuai regulasi.

“Edukasi menjadi kunci di tengah situasi seperti ini. Kami ingin pengguna memahami bahwa koreksi adalah hal biasa, dan yang terpenting adalah bagaimana menavigasi pasar dengan wawasan dan kontrol risiko yang memadai,” tutupnya.

Meski sempat tertekan, rekam jejak historis Bitcoin menunjukkan bahwa aset ini berulang kali berhasil bangkit dari tekanan geopolitik maupun krisis ekonomi. Investor jangka panjang yang percaya pada nilai teknologi blockchain dan kelangkaan suplai Bitcoin diyakini akan tetap bertahan.

Dengan dinamika geopolitik yang belum mereda dan potensi perubahan kebijakan moneter AS dalam beberapa bulan ke depan, para investor disarankan untuk tetap waspada namun rasional. Rebound tipis yang terjadi saat ini bisa menjadi sinyal bahwa pasar tengah mencari keseimbangan baru di tengah gejolak global.

Berdasarkan pantauan Redaksi Blockchainmedia.id, tingkat suku bunga acuan di Amerika Serikat saat ini berada di angka 4,50 persen. Menurut proyeksi dari model makro global dan prediksi analis Trading Economics, suku bunga tersebut diperkirakan akan bertahan di level tersebut hingga akhir kuartal ini.

Namun, untuk jangka panjang, tren suku bunga The Fed diprediksi akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada tahun 2026, tingkat suku bunga diproyeksikan turun ke kisaran 3,75 persen, dan kemudian melandai lagi menjadi sekitar 3,50 persen pada tahun 2027.

Proyeksi ini mencerminkan kecenderungan arah kebijakan moneter yang lebih akomodatif dalam beberapa tahun mendatang, sejalan dengan kemungkinan menurunnya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait