Dalam konteks analisis teknikal, sebuah aset bernilai cenderung berpola “history repeat by itself“. Artinya sejarah seringkali berulang. Jadi, harga Bitcoin yang saat ini sedang tertekan adalah perlu, karena tak ada harga yang terus naik tegak lurus. Beberapa indikator penting memberi kita lentera yang menarik.
Hal yang penting yang patut kita ingat adalah Bitcoin dan sejumlah aset kripto lainnya diperdagangkan di pasar yang bebas dan terbuka (khususnya di spot market).
Tidak ada “circuit breaker” seperti di bursa efek, di pasar itu yang bisa menghentikan perdagangan ketika anjlok puluhan persen dalam kurun waktu tertentu.
Ibarat kehidupan di Kota Las Vegas, pasar aset kripto memang tak pernah istirahat. Waktu berdagang adalah 24 jam sehari dan 365 hari per tahun. Sedia setiap saat.
Dan karena sifat pasar itulah, sebagai kelas aset baru (sebagian tak setuju sebagai aset), Bitcoin adalah lahan basah bagi trader dan investor yang ingin berspekulasi.
Jadi, secara historis, lonjakan naik besar, lalu tertekan tak kalah besar, adalah sebuah kelaziman.
Inilah yang menjelaskan, ketika sebagian besar trader di wilayah Timur Bumi terlelap di kasur yang empuk, trader di wilayah Barat mulai aktif berdagang, dan sebaliknya.
Jadi, ketika warga Indonesia tertidur mimpi harga Bitcoin naik terus, mereka tidak bisa mengelak harga Bitcoin justru semakin melandai, karena ada aksi jual dari trader dari wilayah Barat. Tentu tergantung pada volume di antaranya.
Nuansa pasar bebas, terbuka, global dan transparan adalah sifat bawaan aset kripto. Kita tak bisa menghindari itu, sebagai sebuah tantangan sekaligus keunggulan.
Maka, menarik rasanya kembali ke masa lalu, ketika Bitcoin pada medio Desember 2017 (US$19.600-20.000 per BTC) mulai anjlok hingga 85 persen.
Ketika itu penghuni dunia Bitcoin rasanya campur aduk, antara hilang kepercayaan dan berharap keyakinan bisa muncul kembali.
Hingga tiga tahun kemudian pada medio Desember 2020, Raja Aset Kripto menunjukkan tajinya lagi, karena menapaki harga US$20.000. Resisten kuat 2017 pun terlampaui: “history repeat by itself“.
Secara teknikal, peristiwa itu sangatlah penting, sebab setiap kali harga melampaui resisten sebelumnya, maka harga akan menjulang lebih tinggi lagi.
Itu terbukti dan menjadi US$41.969 per BTC pada Januari 2021. Terhitung sejak Desember 2020 itu, harga Bitcoin naik sekitar 109 persen dan sepanjang tahun 2020 naik lebih dari 300 persen.
Dari sudut pandang fundamental, kenaikan besar pada tahun 2020 adalah karena meningkatkan permintaan terhadap aset kripto itu.
Sederhana, karena tumbuhnya kesadaran masyarakat global tentang keunggulannya, dibandingkan aset lain, seperti emas dan tentu saja soal terdepresiasinya nilai mata uang fiat yang diterbitkan oleh negara.
Perusahaan-perusahaan kian banyak yang memborong Bitcoin sekaligus membuka layanan perdagangan yang beragam dan seluas-luasnya.
Yang kedua ini sulit menutup mata, motifnya adalah: ada pangsa pasar yang besar. Lihat PayPal yang juga ngiler bukan kepalang.
Dan sejak tahun 2020 kita pun tak heran ada beragam kendaraan untuk mencicipi Bitcoin, mulai dari spot market dengan segala ragam promosinya, hingga pasar berjangka (Dirajai oleh CME), lalu Bitcoin Trust (Dirajai oleh Grayscale) dan tentu saja Bitcoin ETF (Exchange Traded Fund) yang mulai marak di Kanada.
Dua yang terakhir itu, investor cukup membeli Bitcoin dalam bentuk “saham”, bukan Bitcoin aslinya. Bitcoin ETF pun dijuluki sebagai “Fake Bitcoin” oleh Robert Kiyosaki, serupa dengan ETF Gold.
Di saat yang sama, pemborong besar Bitcoin, seperti perusahaan MicroStrategy berani meminjam uang dari publik lewat surat utang perusahaan (company bond) sebesar US$650 juta.
Duit sebanyak itu lantas dibelikan Bitcoin oleh perusahaan pimpinan Michael Saylor itu. Sebagai bentuk kendaraan investasi lain, kata MicroStrategy.
Singkat kata, menurut kami, periode Bitcoin sepanjang tahun 2020 adalah sebuah kepantasan yang faktanya sulit disangkal.
Aset kripto nomor satu itu, termasuk beberapa aset kripto besar lainnya, seperti ETH, LTC dan lain sebagainya mendapatkan lahan yang basah.
Indikator Menggambarkan Tekanan Lebih Lanjut
Nah, kembali ke kalimat bahwa “tak ada harga yang terus naik tegak lurus”dan bahwa “history repeat by itself“, kita saat ini menapaki tekanan harga Bitcoin.
Setidaknya itu berdasarkan indikator Squeeze Momentum. Indikator ini sangat popular di TradingView dan kerap digunakan pula untuk trading berskala pendek (menitan).
Berdasarkan kajian kami menggunakan indikator itu, dalam skala (timeframe) harian (daily) tekanan terhadap Bitcoin dimulai sejak 11 Januari 2021, ketika kisaran harga Bitcoin antara US$30.582 sampai US$38.730.
Di rentang harga itu, di indikator Squeeze Momentum sudah muncul plot bar hijau tua dan bergerak melandai hingga hari ini, 17 Januari 2021.
Plot seperti itu adalah indikasi tekanan terhadap harga dan akan terus berlanjut dalam beberapa hari ke depan, hingga ukuran plot pun berangsur-angsur memendek, bercampur titik hitam di bagian bawah.
Ada kalanya ketika plot bar hijau tua memendek bercampur titik hitam, disusul oleh plot bar hijau muda yang mencerminkan harga rebound, karena permintaan meningkat. Ini pernah terjadi pada 13 Desember 2020 lalu.
Skenarionya akan berbeda, jikalau berubah menjadi plot bar merah tua pendek, yang mengindikasikan adanya tekanan lebih lanjut. Ini pernah terjadi pada 27 Agustus 2020 silam.
Jalan Jangka Panjang
Tentu saja indikator lain mungkin menggambarkan hal berbeda. Tapi, setidaknya indikator itu memberikan satu lentera penting soal jalan jangka panjang Anda di Bitcoin.
Jikalau penurunan lebih lanjut, Anda bisa menafsirkannya sebagai peluang, karena market berpotensi melejit lagi pada tahun ini, berkat faktor fundamentalnya. [red]