Harga Bitcoin menyentuh puncak tertinggi baru, yakni US$31.585 per BTC pada Sabtu malam (2/1/2020), tak lama setelah menembus level psikologis US$30.000 pada pukul 19:16 WIB. Puncak harga itu senilai Rp442 juta, atau setara harga tiara Lady Gaga (Juli 2012). US$120.000 tahun ini “is imminent“?
Sekali lagi dunia dibuat terperangah setelah aset kripto nomor wahid itu melesat menembus US$30.000 per BTC, lalu memuncak di US$31.585 Sabtu kemarin. Padahal baru akhir tahun 2020, 31 Desember lalu, angka bulat nan psikologis lain juga tersentuh, yakni US$29.000 per BTC.
Sejak melampaui harga tertinggi Desember 2017, Bitcoin tanpa bisa dibendung terbang mulai dari US$20.000 (medio Desember 2020), berturut-turut US$21.000 hingga US$29.000 di bulan yang sama hingga tanggal akhir tahun 2020.
Pada hari kedua awal tahun baru 2021, harga kian meningkat hingga lebih dari US$30.000. Sesuatu yang membuat sebagian orang terkejut, karena sekali lagi membuat “emas jadi pecundang”.
Namun, kinerja itu sudah diramalkan pada Desember 2019. Bahkan ramalan pada tahun 2020, harga Bitcoin bisa melesat lebih tinggi lagi pada tahun ini.
Pangkal Perubahan Besar
Pangkal perubahan besar-besaran itu mungkin berawal pada 8 Mei 2020 lalu, ketika Paul Tudor Jones menggambarkan Bitcoin kala itu sedang memasuki tahap awal kinerja besar-besaran yang sama seperti emas pada tahun 1971. Hal itu ia paparkan kepada publik, beberapa hari sebelum Halving ke-3.
Dia mengatakan bahwa ia membeli Bitcoin adalah langkah untuk melawan inflasi. Mungkin berkat sentimen bullish dialah harga Bitcoin ketika itu melonjak ke US$10.000.
Itu adalah raihan yang luar biasa setelah Bitcoin sempat ambrol sangat besar di bawah US$4 ribu pada medio Maret 2020.
Cerita Jones, sejak 15 Agustus 1971, jumlah cadangan emas tak lagi menjadi patokan asas jumlah uang dolar yang dicetak oleh Bank Sentral AS, tetapi berasaskan kebijakan pemerintah AS.
Kala itu pula emas sempat dilarang dimiliki, tapi pada akhirnya resmi masuk pasar derivatif guna meredam gejolak fluktuasi harga emas.
Dan bagi Jones, mungkin sebuah kebetulan pula sejak Desember 2017 dan marak meningkat sejak tahun 2018, Bitcoin resmi masuk pasar derivatif. CME Group adalah salah satu yang terbesar saat ini.
Berturut-turut sejak Agustus 2020, menyusul keputusan perusahaan publik MicroStrategy yang membeli Bitcoin pertamanya senilai US$250 juta, lalu diikuti Square. Grayscale yang sejak awal bermain di industri ini, terus mengakumulasi Bitcoin hingga lebih dari 500 ribu BTC.
Datang kemudian si raksasa pembayaran global PayPal yang menyambut Bitcoin lebih nyata lagi, karena menyematkan fitur jual beli dan fitur transaksi menggunakan aset kripto di aplikasinya. Harga Bitcoin kala itu naik menjadi US$13.000. Pasar pun mendapatkan kepercayaan diri yang lebih dan yakin Bitcoin mampu melampaui resisten US$20.000.
Ketika saat itu tiba, pasar menjadi riuh, rasanya campur aduk antara menyesal karena telat membeli dengan rasa gembira luar biasa. Tentu saja menembus resisten US$20.000 adalah pralambang untuk menembus harga-harga tinggi berikutnya.
Sentimen mantap nan eksosits pun bertambah dari perusahaan-perusahaan besar lainnya, seperti JPMorgan, MassMutual, Citibank, Bank DBS, dan Stanley Druckenmiller, untuk menyebut sebagian kecil saja.
Toh, ekosistemnya kini sudah sangat dewasa, publik mempelajari dan paham betul soal teknologi di balik Bitcoin. Pasarnya sudah luas dan beragam, tak hanya spot market, tapi pula derivatif dan bahkan binary options, fund, trust, ETF dan lain sebagainya.
Dengan tercapainya lebih dari US$30 ribu, rasa gembira bercampur tanda tanya, di harga berapa puncaknya, lalu kemudian terkoreksi sangat besar, karena harus mencapai tingkat “overbought“?
Jawaban pasti tidak ada, tetapi enjoy the ride adalah mantra utama saat ini, sembari memperhatikan secara seksama ramalan Tom Lee, bahwa harga Bitcoin bisa 3 kali lipat dari US$40.000 pada tahun ini. US$120.000 is imminent? [red]