Harga Bitcoin Terangsang Tatkala Perang Dagang Kian Tegang

Harga Bitcoin yang ambrol dari US$12.200 (6 Agustus 2019) ke US$9.400 (30 Agustus 2019) dalam rentang 30 hari terakhir, agaknya cukup “terobati” dengan pulihnya raja kripto itu kembali dengan cepat ke US$10.700 pada 3 September 2019 malam. Penurunan hingga 22 persen, lalu diikuti naik 13,8 persen dengan cepat, tentu sangat diapresiasi. Artinya, sentimen pasar masih sangat positif terhadap kelas aset baru ini.

Apa yang terjadi bersamaan dengan itu, sejumlah prediksi pun bermunculan. Sejumlah pihak menyebutkan karena pasar mengantisipasi peluncuran produk Bitcoin Berjangka besutan Bakkt pada 23 September 2019 nanti. Hari itu masih jauh, mengapa pasar buru-buru bereaksi?

Pendekatan lain didedahkan oleh Clem Chambers, penulis buku Trading Cryptocurrencies: A Beginner’s Guide dalam sebuah artikel di Forbes, kemarin. Ia berpendapat, jikalau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok terus menegang dan berlanjut, maka Bitcoin bisa jadi berjalan naik kembali ke US$20.000 pada Desember 2019.

“Hari ini [3 September 2019-red] kita baca cuitan Trump dan harga Bitcoin naik lagi. Hari sebelumnya ada apa sebab? Saya menduga, apapun penyebab kenaikan Bitcoin dalam dua hari ini, di saat yang sama ada ucapan Trump yang jauh daripada normal. Tentu ini sekadar teori,” kata Chambers.

Kata Chambers, berlanjutnya perang dagang itu berarti kenaikan harga Bitcoin. Semakin panjang perang dagang ini, maka semakin naiklah harga Bitcoin.

“Saya berpendapat perang dagang akan terus berlanjut. Kedua belah pihak akan mempersiapkan diri selayaknya perang-perang yang lain, di mana mereka siap untuk menelan kekalahan yang besar. Jika perang dagang berlanjut seperti ini, menurut saya Bitcoin bisa naik melebihi US$20.000 pada Hari Raya Natal nanti atau bisa juga lebih cepat,” katanya.

Seperti ditegaskan Chambers, pandangan itu sekadar teori. Jadi, entah memang karena kebetulan atau sebagai penyebab utama, perang dagang itu tampaknya kian memicu kenaikan harga Bitcoin sejak awal bulan ini.

Mari kita lihat faktanya. Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), masing-masing mulai memberlakukan tarif impor tambahan produk masing-masing sejak Minggu, 1 September 2019. Hal itu menandai peningkatan eskalasi terbaru dalam perang dagang yang telah menahun di antara kedua negara itu, meskipun ada tanda-tanda perundingan akan berlanjut, bulan ini.

Tarif baru itu mulai berlaku pukul 04.01 GMT atau 11.00 WIB, dengan pungutan Beijing sebesar 5 persen pada minyak mentah AS, menandai pertama kalinya bahan bakar sebagai sasaran tarif sejak perang dagang dimulai lebih dari setahun yang lalu.

Premis umum di sini adalah harga Bitcoin itu serba tak pasti. Kendati dapat dengan tepat diprediksi secara teknikal, tetapi pendapat “para ahli nujum” itu tak selalu tepat, tetapi sering. Yah, setidaknya mereka punya cara dan model yang bisa digunakan sebagai pendekatan dan kita menjadikannya sebagai dasar keputusan perdagangan.

Menurut sumber CNBC yang dilansir oleh Kontan, pada 23 Agustus 2019 Donald Trump marah besar, karena ternyata, selain Tiongkok mengadu ke WTO (World Trade Organization), rupanya negeri Tirai Bambu itu berencana menaikkan tarif impor barang-barang dari AS senilai US$75 miliar, sebagai respon dari tarif impor baru Washington yang berlaku pada 1 September itu. Ini jelas sebuah balas dendam, selain Tiongkok dituduh memainkan mata uang yuan-nya, sehingga jauh lebih murah berbanding mata uang dolar.

Berang Trump semakin menggila setelah ia tahu General Motors (GM) memutuskan mendirikan pabrik di Tiongkok gara-gara perang dagang terjadi antara kedua negara. Sebelumnya GM mengumumkan akan menutup empat pabriknya di AS, menyusul penghematan untuk mengantisipasi perubahan industri otomotif global.

Dengan menutup sebanyak empat pabrik dan tiga pabrik lainnya yang tersebar di sejumlah negara, GM mengklaim bisa menghemat biaya sekitar Rp87 triliun. Melansir CNBC, sumber tersebut bercerita, reaksi pertawa Trump adalah berkomunikasi dengan para penasehat Gedung Putih di bidang perdagangan pada hari itu. Trump kemudian menyarankan untuk menaikkan tarif sebanyak dua kali lipat.

Pada 24 Agustus, Sekretaris Menteri Keuangan AS Mnuchin dan Sekretaris Pers Gedung Putih Stephanie Grisham mengatakan bahwa penyesalan terbesar Trump adalah tidak menaikkan tarif lebih tinggi.

“Presiden Trump merespon dengan afirmatif, karena dia menyesal tidak menaikkan tarif lebih tinggi,” jelas Grisham pada waktu itu.

Aksi pembalasan Trump dilakukan pada hari di mana muncul kecemasan mengenai perang dagang antara AS dan Tiongkok. Kondisi itu menyebabkan pasar saham AS turun tajam. Baik AS dan Tiongkok menerapkan tarif baru atas sejumlah barang sejak Minggu lalu.

Pada Selasa pagi, Trump bilang dia bisa mengambil langkah drastis lain untuk menindak praktik perdagangan China jika dia memenangkan lagi pemilihan presiden tahun depan jika tidak ada kesepakatan perdagangan baru yang tercipta.

Pada hari Trump marah besar, Bitcoin sedang “lemas bertengger” di kisaran US$9.900-9.400, setelah jatuh besar sejak malam 28 Agustus 2019.

Sejak akhir bulan Agustus Bitcoin pelan-pelan beranjak dari US$9.500 hingga US$9.700 pada 2 September 2019. Lantas, dalam 24 jam berikutnya melonjak terus hingga US$10.600. Perjalanan naik 12,7 persen itu sulit untuk tak ditafsirkan dipicu oleh situasi ekonomi saat ini, yakni utamanya perang dagang.

Malahan Bitcoin sudah mengalami kenaikan serupa di situasi ekonomi berskala masif. Ini yang mengantarkan pikiran kita pada pendapat: bagaimana nasib Bitcoin jikalau perang dagang ini memicu krisis ekonomi global seperti tahun 2008?

Kami sudah membahas ini berulang kali di media ini, tetapi rentetan peristiwa terkini antara dua negara yang sedang berseteru itu, kiranya membawa keseruan sekaligus kesaruan tersendiri di dunia Bitcoin.

Safe Haven Asset?

Di artikel sebelumnya, sejumlah pelaku industri kripto di Indonesia memprakirakan harga Bitcoin akan turun drastis jika dunia mulai masuk ke krisis global, sebab Bitcoin kadung dianggap sebagai investasi berisiko sangat tinggi. Dan di saat bersamaan banyak orang akan menjual saham-saham, termasuk obligasi. Maka, dana bisa dipastikan akan beralih ke safe haven yang lebih popular, yakni emas dan perak.

Bitcoin pun belum dapat disebut sebagai safe haven, menurut sejumlah pengamat, karena volatilitasnya yang sangat tinggi. Tetapi, di saat bersamaan Bitcoin sudah mulai beraksi layaknya safe haven asset.

Bercermin ke masa lalu, berdasarkan hasil kajian Grayscale pada Juni 2018, Bitcoin memberikan imbal hasil yang lebih tinggi daripada kelas aset yang lain, khususnya saham dan sejumlah mata uang. Grayscale mengambil 5 contoh, di antaranya ketika Yunani yang gagal membayar utang pada 2015, Perang dagang seri pertama oleh Trump, kemudian hasil referendum British Exit (Brexit) pada tahun 2016.

Di luar kajian Grayscale, kita pun menyaksikan sendiri harga Bitcoin jauh lebih mahal di sejumlah negara yang sedang mengalami inflasi besar, seperti di Venezuela dan Argentina.

Ancaman Krisis Global

Masalah ini semakin tertaut pada ancaman terjadi krisis ekonomi dalam skala global. Banyak indikator menggambarkan ancaman itu, di antaranya adalah Pertama, Pasar obligasi. Hal yang paling banyak dibicarakan mengenai pasar obligasi adalah terjadinya kurva yield terbalik.

Di tengah melorotnya suku bunga di pasar obligasi AS, tingkat yield (imbal hasil) untuk surat utang AS bertenor 10 tahun telah melorot di bawah yield surat utang bertenor 2 tahun. Kejadian ini berlangsung beberapa kali sejak 14 Agustus lalu.

Asal tahu saja obligasi alias bond alias surat utang negara adalah salah satu sumber pemasukan kas negara melalui Kementerian Keuangan. Hasil penjualan bond adalah dana pinjaman dari masyarakat ataupun negara lain untuk membiayai sejumlah proyek-proyek negara. Karena itu itu adalah pinjaman, maka negara memberikan bunga sebagai imbal hasilnya.

Dalam pasar yang sehat, obligasi jangka panjang memberikan suku bunga yang lebih tinggi ketimbang obligasi jangka pendek. Nah, saat obligasi jangka pendek memberikan yield tinggi, inilah yang dinamakan kurva yield terbalik.

Fenomena yang muncul di pasar obligasi ini memberikan sinyal resesi. CNBC mencatat, ada tujuh kali resesi yang ditandai dengan kurva yield terbalik, termasuk krisis tahun 2008 silam. Menurut Credit Suisse, resesi akan terjadi rata-rata sekitar 22 bulan setelah terjadi kurva yield terbalik ini.

Kedua, Tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) AS mengalami perlambatan. Data yang dirilis Departemen Perdagangan AS menunjukkan, ekonomi Negeri Paman Sam itu hanya tumbuh 2 persen pada kuartal dua. Level 2 persen merupakan pertumbuhan paling lambat sejak kuartal IV 2018 dan turun dari pertumbuhan 3 persen yang berhasil dicapai pada tiga bulan pertama tahun ini.

Ketiga, laba perusahaan. Prakiran pertumbuhan pendapatan perusahaan mengalami penurunan yang sangat drastis tahun ini. Data FacSet menunjukkan, pada Desember lalu, analis menyebutkan, indeks S&P 500 earnings growth untuk tahun ini berada di kisaran 7,6 persen. Angka itu sekarang berada di posisi 2,3 persen.

Strategist Goldman Sachs dan Citigroup pada bulan lalu memangkas estimasi pendapatan untuk S&P 500 untuk tahun 2019 dan 2020. Alasannya, kondisi ekonomi yang memburuk, ancaman perang dagang, dan adanya potensi devaluasi mata uang.

Keempat, kontraksi manufaktur. Berdasarkan data CNBC, pertumbuhan manufaktur AS melambat ke level terendah dalam 10 tahun terakhir pada Agustus. Indeks manufaktur AS (Purchasing Manager’s Index) berada di level 49,9 pada Agustus atau turun dari level 50,4 pada Juli.

Menurut IHS Markit, angka ini berada di level netral 50 untuk kali pertama sejak September 2009. Level di bawah 50 menunjukkan sinyal resesi.

Pada Juli, anggota the Federal Reserve mengekspresikan kecemasannya mengenai sektor-sektor yang melemah seperti sektor manufaktur. Dalam hasil notulensi rapat the Fed bulan Juli, mereka bilang, perang dagang dan kecemasan mengenai pertumbuhan ekonomi, terus menggerus tingkat kepercayaan bisnis dan menghambat rencana modal kerja perusahaan.

Kelima, harga emas. Harga emas sudah melejit lebih dari 20 persen sejak Mei saat hubungan dagang AS dan Tiongkok semakin memanas. Sama dengan obligasi pemerintah, emas dikenal sebagai safe haven saat kondisi pasar penuh dengan ketidakpastian.

Kalimat terakhir ini sangat memikat, apakah ketika Bitcoin disebutkan mulai tampak seperti safe haven asset, maka ia layak dibeli saat ini, atau tidak sama sekali? Siapakah di antaranya Anda yang memberanikan diri (setidaknya menabung Bitcoin seperti cara ini)? [vins]

Terkini

Warta Korporat

Terkait