Harga Bitcoin turun hari ini sempat di kisaran US$20.855 per BTC. Pada grafik mingguan, anjlok ekstrem itu seperti pada Maret 2020 dan Desember 2018 yang secara historis masuk wilayah support “baik”. Namun, konteks historisnya berbeda dibandingkan saat ini. Apa saja?
Pada grafik mingguan, berdasarkan Moving Average (MA200), harga Bitcoin per Selasa (14/6/2022) sedikit berada di bawah MA200.
Lihat pada grafik di atas, posisi itu menyamakan kripto nomor wahid itu seperti pada penurunan ekstrem Maret 2020 (US$4.010) dan Desember 2018 (US$3.100). Kedua titik harga itu sama-sama berada di bawah MA200. Demikian pula halnya pada Agustus 2015 (US$214), sebagai titik pangkal MA200 itu.
Secara historis, setelah harga Bitcoin turun ekstrem pada Agustus 2015, Desember 2018 dan Maret 2020, secara bertahap kripto itu pelan-pelan merayap naik sangat tinggi.
Kita ambil contohnya misalnya, kenaikan masif terjadi antara Agustus 2015 hingga Desember 2017 (US$20.000), menguat lebih dari 8600 persen. Kemudian antara Maret 2020 hingga November 2021, menguat lebih dari 1000 persen.
Berdasarkan indikator RSI pada grafik mingguan (lihat gambar di bawah), posisi saat ini berada di wilayah oversold, melebihi Desember 2018 dan setara Februari 2015. Namun demikian, sekarang belum ada tanda-tanda solid adanya pembalikan arah.
Harga Bitcoin Turun dan Naik Ekstrem dalam Konteks yang Berbeda
Kenaikan itu dalam konteks yang sangat berbeda dengan saat ini. Ketika itu tidak ada kebijakan pengetatan kuantitatif oleh The Fed seperti saat ini, yang mampu menguatkan nilai dolar secara signifikan (berpotensi melejitkan indeks dolar di atas 105).
Kala itu suku bunga acuan di AS juga tidak serendah saat ini, ditambah ekonomi masih dalam kebijakan pelonggaran kuantitatif alias besarnya pasokan dolar di pasar, karena pertumbuhan ekonomi AS masih dianggap aman dengan inflasi tahunan tidak cukup besar.
Gambar di bawah ini adalah relasi naik turunnya suku bunga (garis biru) di AS dengan terjadinya resesi (garis abu-abu).
Dalam konteks lebih khas lagi, Bitcoin dirancang oleh Satoshi Nakamoto adalah dalam suasana pelonggaran kuantitatif itu, pasca resesi ekonomi menerjang dunia tahun 2008 silam. Puncaknya adalah ketika pandemi COVID-19 tahun 2020 yang memaksa The Fed mencetak dolar AS sebanyak mungkin untuk menstimulasi ekonomi. Kala itu pasar saham dan kripto naik sangat signifikan dalam situasi resesi pendek.
Hal yang sangat jauh berbeda adalah sejak November 2021. Ketika itu gonjang-ganjing inflasi tinggi di AS mulai menyeruak, sehingga bisa memaksa The Fed untuk meningkatkan suku bunganya agar pasokan dolar yang banyak itu berkurang.
Alhasil sejak Januari hingga Mei 2022, kebijakan The Fed mulai agresif, melakukan pengetatan kuantitatif dengan cara menaikkan suku bunga, karena inflasi sudah sangat tinggi. Per akhir Mei 2022 saja, secara year-on-year, inflasi di AS mencapai 8,6 persen, tertinggi sejak 40 tahun terakhir di periode serupa.
Data terakhir itu yang dinilai oleh pasar yang akan membuat The Fed pada hari ini akan menaikkan suku bunga lebih agresif lagi dan membuat dolar semakin kuat dan imbal hasil obligasi AS semakin besar. Akibatnya pasar saham dan kripto terguncang sangat ekstrem.
Harga Bitcoin Tergelincir Setelah Dolar dan Inflasi AS Naik Lagi
Lantas, apa situasi yang membuat pasar kripto dan saham akan pulih? Sekali lagi, kata kuncinya adalah situasi resesi, tetapi dengan variabel, bahwa The Fed akan merendahkan suku bunga acuan dan kembali menstimulasi pasar dengan mengucurkan dolar AS lagi.
Namun situasi saat ini tidak memungkinkan terjadinya resesi dalam waktu cepat. Terkait faktor-faktor bahwa resesi tidak terjadi dalam waktu dekat, sudah kami ulas di artikel ini.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa kendati secara teknis (berdasarkan data MA 200 di atas), harga Bitcoin berada di “support“, kondisi makro ekonomi, yakni potensi kenaikan suku bunga dan rencana pengurangan aset oleh The Fed sepanjang tahun ini, belum dapat dipastikan BTC mampu menguat secara signifikan seperti sebelumnya.
Jikalau menjangka ruang dan waktu kapan resesi terjadi, maka bisa menggunakan pendekatan umum, yakni jika pertumbuhan ekonomi AS memang mandek selama dua kuartal berturut-turut setelah kebijakan moneter ketat The Fed dilakukan.
Kalau mengacu pada pendapat Bank of America beberapa bulan sebelumnya, resesi dapat terjadi pada tahun depan dengan gejala awal dapat dipantau mulai Desember 2022. Kala itu bank besar itu berpendapat, kripto bisa mendapatkan angin segar baru dengan pasar saham bisa terjadi sebaliknya.
Diproyeksikan Turun Lagi, US$10.300 pada Akhir Tahun 2022
Jikalau menggunakan pendekatan lain, yakni Bitcoin Cycle Repeat, berdasarkan data historis dan data harga terkini, BTC diproyeksikan bisa turun lebih ekstrem lagi hingga US10.300 pada Desember 2022.
Berdasarkan grafik itu pula, kripto itu dianggap mulai pulih pada Maret 2023, ketika diproyeksikan mencapai US$14 ribuan per BTC, dengan melampaui rekor tertinggi sepanjang masa (November 2021) pada November 2024, beberapa bulan setelah Halving ke-4.
Sementara itu, dilansir dari Cointelegraph, menurut Francis Hunt, analis pasar kripto terkemuka di Twitter, harga Bitcoin bisa turun ke US$8.000 sebelum mencapai titik terendahnya. [ps]