Secara teknikal, harga Bitcoin turun berpotensi cepat mendekati titik support penting, namun Robby Direktur Rekeningku.com agak menyangsikan, karena pasar secara fundamental masih tak pasti.
Kepanikan ekstrem pelaku pasar kripto cukup diwakili dengan turunnya harga Bitcoin menjadi US$20.800 pada Selasa (14/6/2022). Dari titik itu pula, sejumlah spekulator justru melakukan aksi beli, sehingga mampu mengantar BTC naik tipis di kisaran US$22.900 pada Selasa siang. Pasar kripto sendiri runtuh hingga di bawah US$1 triliun.
Kisaran US$20.800 itu pula “level unik” karena tepat berada sedikit di bawah Moving Average (MA) 200 pada grafik mingguan, menyamai penurunan ekstrem seperti Agustus 2015 dan Desember 2018. Kala itu koreksi ekstrem berubah menjadi support yang baik, melejitkan harga Bitcoin berkali-kali lipat.
Harga Bitcoin Turun, Di Mana Support-nya?Â
Secara umum, Bitcoin telah mencapai wilayah support penting yang dapat menyebabkan pembalikan tren, di tengah-tengah ketidakpastikan ekonomi makro.
Berdasarkan indikator Entity-Adjusted Dormancy Flow, BTC dalam proses membentuk dasar pasar. Indikator ini memasukkan variabel rasio kapitalisasi pasar saat ini dengan nilai dormansi tahunan untuk menentukan apakah pelaku pasar lama menjual BTC mereka.
Indikator on-chain ini cukup ambuh mengukur kondisi pasar sejak 2011, khususnya ketika terjadi aksi jual massal. Setiap kali ada penurunan signifikan oleh pemegang BTC jangka panjang, maka dormancy flow turun di bawah ambang 250.000, yang mewakili zona pembelian terbaik.
Nah, saat ini dormancy flow berada di titik terendah sepanjang masa di 149.150, yang menandakan akhir dari tren turun.
Bos Rekeningku.com: Faktor Lain Menyatakan Ketidakpastian
Robby, Direktur Rekeningku.com berpendapat, secara teknikal BTC saat ini bisa saja dalam proses menyentuh tingkat dasar agar bisa melenting lebih tinggi lagi. Hanya saja, katanya ada beberapa faktor lain yang justru menyatakan ketidakpastian.
“Faktanya adalah pasar kripto saat ini kian berkorelasi positif dengan pasar saham. Maka tidak heran, ketika ada kabar terkait kebijakan The Fed, pasar saham dan kripto sama-sama terdampak. Lihat saja, ketika beberapa hari lalu The Fed diproyeksikan akan lebih agresif menaikkan suku bunga acuan karena inflasi di AS sangat tinggi, pelaku di kedua pasar itu langsung merespons negatif. Artinya, faktor makro ekonomi seperti itu perlu sebagai tambahan variabel untuk mengkaji situasi pasar,” kata Robby kepada Redaksi Blockchainmedia.id, Selasa (14/6/2022).
Robby menambahkan satu fakta lain, bahwa pasar kripto saat ini untuk kali pertama berada di kebijakan pengetatan kuantitatif oleh The Fed. Ini memberikan nuansa yang sangat berbeda dengan tahun 2008 silam, ketika BTC dirancang oleh Satoshi Nakamoto dan meluncur pada tahun 2009.
“Pada dua tahun yang berbeda itu yang terjadi adalah pelonggaran kuantitatif, sehingga dolar AS melimpah di pasar, sehingga menstimulasi banyak orang untuk berinvestasi di pasar saham, termasuk di pasar kripto. Namun itu berubah sejak November 2021 dan semakin tegas sejak Januari 2022, ketika The Fed ingin melawan inflasi dengan cara menarik dolar AS dari pasar lewat mekanisme penaikan suku bunga dan mengurangi aset dari neraca mereka. Maka tidaklah heran dolar semakin bertaji,” sebut Robby.
Data Indikator Lainnya
Sedangkan berdasarkan indikator lainnya, Net Unrealized Profit/Loss (NUPL), hal senada terjadi, bahwa sentimen pasar telah bergeser dari “Ketakutan” menjadi “Kapitulasi” setelah harga turun menjadi US$20.800.
Menjadi lebih tegas jikalau menggunakan indikator Garis Regresi Logaritmik yang menentukan dua tingkat harga utama di mana Bitcoin dapat mencapai titik terendah.
Garis regresi non-bubble fit berada di US$23.210, sedangkan garis regresi non-bubble lebih rendah berada di sekitar US$15.670. Itu dapat ditafsirkan, support terbaik BTC mungkin akan terjadi setelah pasar melewati US$15.670. [ps]