Aset kripto Ether (ETH) terus mencetak rekor harga tertinggi baru, setelah berhasil menembus all time high (ATH) 2018. Ini dia proyeksi masa depannya secara fundamental, ketika saat ini mendekati US$1500 per ETH (Rp21 juta).
Ketika artikel ini disusun ETH menggempur pasar aset kripto dengan capaian tertinggi barunya, yakni US$1.478 per ETH (Rp20,8 juta), mendekati US$1.500.
Menurut Gabriel Rey, CEO Triv.co.id, ETH yang sudah melampaui ATH berpotensi mencetak harga tinggi di masa depan.
“Harganya yang terus naik adalah wajar, secara teknikal,” jawab Rey.
Ini sudah terjadi sebelumnya pada Bitcoin (BTC), termasuk Chainlink (LINK). Sedangkan faktor fundamentalnya masih kuat.
ETH Saham
“Kenaikan harga BTC itu juga menentukan sentimen positif oleh trader dan investor terhadap aset kripto lain, khususnya ETH. Sentimen itu juga diperkuat kelak nilai ETH dijadikan patokan untuk produk Grayscale yang baru, yakni Grayscale Ethereum Trust. Sederhananya, produk itu adalah ‘aset kripto berupa saham’, seperti Grayscale Bitcoin Trust (GBTC) sejak tahun 2013,” kata Rey melalui pesan singkat, Senin (25/1/2021).
Kata Rey, produk investasi itu, pembeli tidak membeli aset kripto ETH secara langsung, melainkan melalui produk saham (sekuritas).
“Saham dibeli oleh investor bermodal besar, di mana harga saham berpatokan pada tren harga ETH di pasar spot dengan indeks khusus. Grayscale sendiri akan mengakumulasi ETH dari pasar spot melalui mekanisme over the counter (OTC). ETH yang dibeli oleh Grayscale itu semacam ‘jaminan’ bagi investor bahwa ‘ETH saham’ benar-benar bernilai untuk dibeli,” tegas Rey.
Sebagai perbandingan, harga produk GBTC yang terus naik, ditandai dengan terus dibelinya Bitcoin oleh Grayscale. Saat ini lebih dari 500 ribu BTC.
Jelas Rey, Grayscale yang terus membeli BTC dan ETH, juga tidak dapat dengan mudah melakukan penjualan Bitcoin, karena sekali melakukan pembelian ada lock period-nya selama 6 bulan dan untuk menjual juga butuh izin SEC.
“Jadi, uang yang masuk ke Bitcoin pada tahun ini merupakan investor-investor yang memang berencana berinvestasi Bitcoin dalam jangka waktu panjang,” katanya.
Ethereum 2.0
Rey juga mempertimbangkan soal perkembangan Ethereum 2.0. Sejak 1 Desember 2020, fase pertama Ethereum 2.0 yang kelak menggunakan sistem Proof-of-Stake itu sudah meluncur. Jumlah ETH yang di-stake di deposit contract-nya pun meningkat.
Hingga hari ini mencapai lebih dari 2,8 juta ETH. Aset kripto sebanyak itu kini bernilai lebih dari US$3,9 milyar atau setara dengan Rp54,8 triliun. Jumlahnya bisa terus bertambah dengan kelipatan per 32 ETH.
“ETH sebanyak itu cukup mencerminkan apresiasi baik oleh komunitas. Sebagai perbandingan, ETH sebanyak itu setara dengan 2,47 persen dari circulating supply Ether saat ini, yakni 114.394.409 ETH,” pungkas Rey.
Hal lainnya kata Rey, karena CME Group yang akan menerbitkan produk barunya yaitu Ethereum Futures Contract. Ini adalah produk di pasar berjangka.
“Inilah yang menentukan aliran masuk modal dari institusi ke ETH,” jelasnya.
Rey juga menggarisbawahi bahwa Wall Street mulai paham penggunaan Decentralized Finance (DeFi) dan mulai bermain pada sektor ini.
Patut dicatat sektor DeFi sangat bergantung pada blockchain Ethereum dan penggunaan aset kripto ETH yang masif.
Jika kita mengacu pada grafik balance ETH pada di sejumlah bursa, kata Rey, ternyata sudah mencapai titik terendah. Artinya bursa mulai kehabisan stok ETH. Jumlah ETH semakin tipis untuk diperdagangkan.
Namun demikian Rey mengingatkan ada sejumlah keterbatasan khusus soal ETH. Menurutnya aset kripto nomor dua berdasarkan kapitalisasi pasar itu tidak akan pernah mengungguli nilai Bitcoin (BTC), karena pasokan unit BTC sangat terbatas.
“Pun lagi, jika harga ETH terlalu tinggi, masih bisa berdampak pada biaya di ekosistem smart contract-nya. Biaya transaksi bisa membengkak. Lagipula ETH pada prinsipnya adalah utility coin dan bukan store of value seperti Bitcoin,” katanya. [red]