Data dari Bitinfocharts.com terungkap, bahwa cuan penambang Bitcoin masih tergerus selama tiga bulan terakhir. Pada 24 Agustus 2019 misalnya rata-rata para penambang bisa mendapatkan imbalan Bitcoin hingga US$0,257 per Terahash per detik, lalu turun terendah hingga US$0,118 per Terahash per detik pada 24 Oktober 2019. Per 22 November 2019, imbalan naik sangat tipis, yakni US$0,149 per Terahash per detik. Secara keseluruhan, dalam 3 bulan, imbalan berkurang rata-rata US$0,0012 per Terahash per detik.
Tak banyak yang tahu bahwa para penambang (miner) Bitcoin adalah penyumbang utama terhadap tingkat inflasi (penurunan nilai) Bitcoin. Ketika mereka ingin menaiktarafkan (upgrade) perangkat kertas penambangan, maka mereka menjual sebagian imbalan BTC yang mereka peroleh, lalu membeli perangkat keras yang baru agar di masa depan keuntungan bisa lebih besar.
Itu kalau penambang yang kaya. Beda cerita kalau para penambang kecil-kecilan yang mungkin menjual imbalan Bitcoinnya, karena tak sanggup lagi membeli perangkat keras baru, sebagai akibat harga Bitcoin di pasar yang juga melemah.
Umumnya, keputusan menaiktarafkan perangkat keras adalah upaya menyesuaikan diri dengan tingkat kesulitan penambangan (mining difficulty rate) yang juga meningkat. Aspek yang satu ini memang tak dapat dihindarkan, karena sistem uang elektronik peer-to-peer Bitcoin memang dirancang seperti itu, salah satunya adalah demi keamanan dan mempertahankan agar block baru tetap terbit di periode 10 menit sekali.
Robby, penambang aset kripto dan pendiri bursa kripto Rekeningku.com berpendapat, saat ini untuk menambang Bitcoin di Indonesia jelas tak menguntungkan
“Sekadar membandingkan dengan penambangan Ether (ETH). Dengan biaya listrik di Indonesia yang tak murah (walaupun itu berkategori industri), kalau dihitung-hitung keuntungan menambang Ether hanya 1 persen per bulan. Sedangkan menambang Bitcoin, kalau di wilayah Timur Tengah modalnya kurang lebih US$7.400-7.500 per Bitcoin dengan biaya listrik hanya US$0,02 per KwH. Namun, dengan ketika Bitcoin Reward Halving nanti, sekitar Mei/Juni 2020, maka diperlukan modal setidaknya US$14.800-15.000 per Bitcoin,” katanya sembari menambahkan, bahwa hash rate dan mining difficulty Bitcoin yang semakin meningkat menandakan semakin banyak orang yang menambang.
Tingkat keuntungan penambangan tidak hanya tergantung pada perangkat kerasnya. Ada keseimbangan yang rumit antara tingkat kesulitan menambang, biaya listrik dan harga Bitcoin di pasar. Dua yang terakhir itu sangat penting.
Misalnya, ketika biaya listrik rendah, maka keuntungan diperoleh juga tinggi, walaupun dengan spesifikasi perangkat keras yang tidak terlampau tinggi. Namun, dengan perangkat keras berspesifikasi tinggi dan ramah energi, maka para penambang dapat lebih mudah mengkompensasi biaya listrik dan naik turunnya harga Bitcoin.
Namun, di atas itu semua, pada akhirnya kendala terbesar adalah perubahan harga Bitcoin itu sendiri. Selama tahun 2018 misalnya, banyak peralatan penambangan terpaksa “digantungkan” ketika terjadi keseimbangan antara harga dan keuntungan.
Tingkat kesulitan penambangan berlaku kenaikan secara terus-menerus, dengan penyesuaian setiap 2016 block. Semakin tinggi tingkatnya, maka perangkat keras berspesifikasi rendah akan akan sulit mendapatkan imbalan Bitcoin yang signifikan terhadap modal para penambang. Artinya para penambang, mau tak mau harus membeli perangkat keras baru yang berspesifikasi tinggi dan syukur-syukur lebih hemat listrik.
Pada 25 Desember 2018, misalnya tingkat kesulitan sekitar 5,1064 Terahash, lalu berpuncak di 13,6915 Terahash pada 31 Oktober 2019. Turun tipis per 22 November 2019, di 12,9732 Terahash.
Penurunan keuntungan para penambang selama 3 bulan itu menambah tren turun selama 6 bulan. Penurunan sudah terlihat sejak 26 Juni 2019, di kisaran US$0,498 per Terahash per detik. Ketika itu harga Bitcoin sedang menuju puncak selama tahun 2019, yakni US$13.793. Sejak tanggal itu pula harga Bitcoin terus menurun.
Jadi, sejatinya ada hubungan positif antara menurunnya keuntungan para penambang dengan turunnya harga Bitcoin, ditambah faktor lain, tentu saja permintaan dari kalangan retail di spot market.
Pada grafik tingkat keuntungan penambang jelas terlihat, bahwa keuntungan hari ini, Sabtu (23/11/2019) kembali ke level antara 22 November 2018-31 Maret 2019 lalu.
Pun secara keseluruhan selama dua tahun, tingkat keuntungan jelaslah sangat anjlok. Keuntungan tinggi pada 19 Mei 2018, misalnya, baru berulang pada Juli 2019.
Dari segi hash rate, yakni patokan kekuatan komputasi di jaringan blockchain Bitcoin, terlihat mulai menukik pada 11 Oktober 2019 (110,1332 Exahash per detik) dan 22 November 2019 (83,5362 Exahash per detik).
Sejak Bitcoin lahir 11 tahun lalu, tren hash rate memang menaik. Ini mencerminkan semakin banyak jumlah penambang yang berperan serta, kendati tingkat keuntungannya menipis.
Maka, dengan tingkat kesulitan menambang yang terus meningkat dan keuntungan menipis, konsentrasi penambang akan lebih banyak ke kubu penambang kaya, bermodal raksasa. Karena dengan duit yang banyak, mereka bisa membeli perangkat keras menambang yang berspesifikasi tinggi dalam jumlah yang banyak.
Awal bulan lalu, Bitmain, produsen perangkat keras penambangan jenis ASIC terbesar di di dunia, mengumumkan dua model ASIC terbaru, yakni s17+ dan T17+. Pendiri Bitmain, Jihan Wu mengatakan, dua ASIC itu lebih mampu meningkatkan keuntungan para penambang dan efisien dari sisi konsumsi listrik
Dari sudut pandang Bitmain, popularitas penambangan Bitcoin tidak menunjukkan tanda-tanda melambat, walaupun terpaksa merumahkan ribuan karyawannya pada tahun lalu, akibat menderita kerugian. Bahkan Bitmain berencana melantai di bursa efek Hong Kong untuk menambah modal operasional perusahaan. Tetapi langsung disalip oleh pesaingnya, Kanaan yang sukses melantai di bursa efek Nasdaq, Jumat (21/11/2019).
Beberapa minggu setelah pengumuman itu, sebuah perusahaan penambangan Bitcoin yang berbasis di Inggris, Argo Blockchain, memesan 10.000 unit T17+ yang bernilai total US$9,51 juta. Tapi, belum jelas kapan unit ASIC sebanyak itu bisa terpenuhi, sehingga mampu meningkatkan kapasitas penambangan Argo Blockchain hingga 240 persen.
“Secara keseluruhan, kami sangat puas dengan kinerja dan stabilitas ASIC seri 17 dan kami percaya bahwa T17+ merupakan kombinasi terbaik dari efisiensi dan harga,” kata Mike Edwards, CEO Argo Blockchain kepada Cointelegraph.
Kesimpulannya, cerita soal Bitcoin ini memang penuh ketidakpastian. Sulit untuk diprediksi. Tapi, patut disyukuri bahwa Pemerintah Tiongkok tidak membabat habis kegiatan menambang Bitcoin di negerinya. Pemerintah Amerika Serikat juga demikian, adem-adem saja. Toh, jikalau di Tiongkok dilarang keras, maka para penambang dapat dengan mudah pindah ke negara lain yang ramah aturan dan tentu saja biaya listrik yang sangat murah. [Red]