Media sosial digemparkan oleh pernyataan seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, yang menyangsikan keaslian skripsi dan ijazah Jokowi selaku Presiden ke-7 Indonesia sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Klaim tersebut didasarkan pada analisis terhadap jenis huruf yang digunakan dalam dokumen, yakni Times New Roman, yang menurutnya belum digunakan pada era 1980-an hingga awal 1990-an.
Meskipun banyak yang menganggap tuduhan ijazah palsu terhadap mantan Presiden RI disebut sebagai bentuk analisis forensik digital, tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai tuduhan sepihak tanpa dasar yang kuat. Terlebih lagi, pihak UGM secara resmi telah memberikan klarifikasi.
UGM Angkat Suara Terkait Ijazah Jokowi
Menanggapi polemik terkait ijazah Jokowi yang kembali mencuat akhir-akhir ini, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, dengan tegas membantah tudingan tersebut.
Ia menyayangkan pernyataan menyesatkan dari seorang akademisi, terlebih Rismon sendiri merupakan alumni Teknik Elektro UGM. Sigit menekankan bahwa seorang akademisi seharusnya menyampaikan informasi berdasarkan data serta perbandingan yang adil.
Menurutnya, font Times New Roman maupun jenis huruf serupa sudah banyak digunakan pada waktu itu, terutama di tempat percetakan sekitar kampus. Layanan percetakan semacam itu memang umum digunakan untuk mencetak skripsi dan ijazah pada masa tersebut.
“Fakta adanya mesin percetakan di Sanur dan Prima juga seharusnya diketahui oleh yang bersangkutan, karena yang bersangkutan juga kuliah di UGM,” tegasnya, Jumat (21/3/2025).
Sayangnya, meskipun klarifikasi dari institusi sebesar UGM telah berulang kali disampaikan, rumor seperti ini tetap saja mudah menyebar. Terlebih lagi di era digital, di mana informasi bisa viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resminya.
Kasus Ijazah Palsu Kian Marak di Indonesia
Di luar kontroversi spesifik soal ijazah Jokowi, isu ini sebenarnya membuka tabir masalah yang lebih luas: maraknya ijazah palsu di Indonesia. Berdasarkan laporan Tempo tahun 2023, belasan perguruan tinggi ditutup karena terindikasi memproduksi ijazah palsu.
Selain itu, pada tahun 2024, Pikiran Rakyat juga mencatat terdapat sekitar 84 perguruan tinggi swasta lain yang juga terancam ditutup karena karena berpotensi besar menerbitkan ijazah palsu.
Tak hanya membahayakan kualitas pendidikan, fenomena ini juga menimbulkan krisis kepercayaan publik. Masyarakat mulai mempertanyakan keabsahan gelar, tak hanya milik figur publik, tapi juga lulusan perguruan tinggi secara umum.
Blockchain: Teknologi yang Bisa Kunci Kredibilitas Ijazah
Di sinilah teknologi blockchain tampil sebagai solusi potensial bagi masalah ijazah palsu. Blockchain menyimpan data secara terdistribusi dan permanen, tidak bisa diubah, dan bisa diverifikasi secara publik.
Jika diterapkan dalam sistem pendidikan, setiap ijazah yang diterbitkan oleh suatu universitas akan memiliki identitas digital unik yang tak bisa dipalsukan oleh pihak manapun.
Beberapa negara sebelumnya sudah membuktikan efektivitas pendekatan ini. Malaysia, misalnya, meluncurkan E-Skrol, sistem berbasis blockchain NEM untuk memverifikasi keaslian ijazah.
Jegal Izajah Palsu, Malaysia Perkenalkan E-Skrol Berbasis Blockchain NEM
India melalui Kerala Blockchain Academy (KBA) juga menerapkan blockchain dalam pencatatan ijazah, dan Brasil telah mendorong penggunaan teknologi serupa untuk memberantas pemalsuan di sektor pendidikan.
Kenapa Blockchain Layak Diterapkan?
Bayangkan ijazah yang disimpan di blockchain seperti NFT, menjadikannya lebih aman, dan dapat diverifikasi kapan saja. Jika seseorang mengklaim memiliki gelar dari suatu institusi, verifikasi dapat dilakukan secara instan tanpa harus menunggu surat resmi atau kunjungan fisik ke kampus.
Bahkan pihak HRD, pemerintah, atau publik dapat melacak keasliannya hanya dengan satu klik. Tidak akan ada lagi tuduhan tak berdasar terkait ijazah palsu karena semuanya tersimpan di buku besar publik yang transparan.
Kasus keraguan terhadap ijazah Jokowi hanyalah permukaan dari gunung es yang lebih besar. Solusinya bukan sekadar klarifikasi sepihak, tapi membangun sistem yang anti-rumor, anti-manipulasi, dan berbasis kepercayaan.
Di era digital, teknologi blockchain bukan lagi wacana futuristik—ia adalah kebutuhan nyata untuk membangun kredibilitas sistem pendidikan Indonesia yang transparan dan tahan guncangan terhadap informasi palsu. [dp]