Indonesia Turun ke Peringkat ke-7 dalam Adopsi Kripto Global 2025

Banner IUX

Perubahan lanskap adopsi kripto global kembali memunculkan dinamika baru. Setelah beberapa tahun menempati posisi tiga besar, Indonesia kini turun ke peringkat ketujuh dalam laporan Chainalysis 2025 Global Crypto Adoption Index yang dirilis pada Selasa (02/09/2025). Pengamat kripto Tanah Air menilai, turunnya peringkat ini, karena adanya perubahan metodologi indeks tersebut dan dirasakan kurang “fair“. 

Lantas, apakah pergeseran besar ini menandakan bahwa aset kripto tidak lagi menarik di mata masyarakat Indonesia, ataukah ada alasan lain yang lebih penting?

Pergeseran Posisi Indonesia di Peta Kripto Dunia

Indonesia berada di peringkat ketujuh dalam indeks adopsi kripto global, turun dari posisi ketiga pada tahun sebelumnya. Sementara itu, India masih memimpin di urutan pertama, diikuti AS, Pakistan, Vietnam, Brasil, dan Nigeria. Pergeseran ini menunjukkan kompetisi yang semakin ketat.

Meski posisinya melorot, Indonesia tetap masuk dalam jajaran 10 besar, menandakan bahwa basis pengguna kripto di Tanah Air masih terjaga. Hal ini juga menunjukkan minat masyarakat terhadap aset digital tidak surut, melainkan bersaing dengan pertumbuhan lebih cepat.

Peringkat Adopsi Kripto Global - Chainalysis
Peringkat Adopsi Kripto Global – Chainalysis

Laporan tersebut juga mencatat bahwa Indonesia menempati posisi keempat dalam adopsi DeFi. Capaian ini menggarisbawahi bagaimana masyarakat lokal semakin aktif memanfaatkan layanan DeFi, mulai dari staking, lending atau aktivitas lainnya.

Dengan demikian, penurunan peringkat Indonesia lebih mencerminkan akselerasi pesat negara lain dalam mengadopsi kripto. Artinya, pasar kripto di Indonesia masih solid dan tetap menjadi salah satu ekosistem penting di kawasan Asia maupun global.

BACA JUGA:  Barclays Soroti Rupiah yang Terjepit di Tengah Ketidakpastian

Sementara itu, dilansir dari Suara.com, pengamat aset kripto Indonesia, Vinsensius Sitepu, berpendapat penurunan ini bukan karena adopsi domestik yang melemah, melainkan akibat perubahan metodologi pengukuran.

Chainalysis menghapus sub-indeks “Retail DeFi value received ranking“, yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia, dan menggantinya dengan “Institutional centralized service value received ranking” yang fokus pada transaksi institusional bernilai lebih dari US$1 juta.

Ia menambahkan, langkah ini terasa agak timpang. Chainalysis beralasan Decentralized Finance (DeFi) hanya dianggap “niche” dan tidak mewakili keterlibatan akar rumput. Namun faktanya, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, DeFi justru pintu masuk utama jutaan pengguna ritel.

“Menyebutnya tidak relevan sama saja menutup mata terhadap pola adopsi kripto paling riil di lapangan,” ujarnya.

Perubahan metodologi ini akhirnya menguntungkan negara dengan basis institusional besar, seperti Amerika Serikat yang punya ekosistem Exchange-Traded Fund (ETF) matang.

Sebaliknya, negara seperti Indonesia yang unggul di ritel dan DeFi jadi kelihatan kendor. Padahal dari sisi jumlah pengguna dan transaksi ritel, kita masih sangat kuat.

Dengan kata lain, kata Vinsensius, klaim bahwa indeks 2025 ini kini lebih “mewakili akar rumput” terasa kontradiktif.

BACA JUGA:  Pasar Crypto Mandi Darah, Masih Ada Harapan Bangkit?

“Pun demikian, jikalau sistem pemeringkatan baru dari Chainalysis ini menjadi patokan, maka untuk tetap kompetitif, Indonesia perlu mendorong dua hal: meningkatkan jumlah dan aktivitas akun institusional di pasar spot lokal, serta menghadirkan produk ETF kripto agar investor institusional bisa masuk secara legal. Dengan kombinasi kekuatan ritel dan institusional, Indonesia berpeluang mengembalikan posisinya di indeks global,” ujarnya.

Chainalysis Global Crypto Adoption Index 2024
Chainalysis Global Crypto Adoption Index 2024, yang masih mencantumkan sub-indeks “Retail DeFi value received ranking“.

Asia Pasifik Jadi Episentrum Pertumbuhan

Asia Pasifik (APAC) kini muncul sebagai wilayah dengan laju adopsi kripto tercepat di dunia. Sepanjang 12 bulan terakhir, kawasan ini mencatat lonjakan nilai transaksi on-chain sebesar 69 persen (year-on-year), meningkat dari US$1,4 triliun menjadi US$2,36 triliun.

Pendorong pertumbuhan ini datang dari India, Vietnam, dan Pakistan yang masing-masing mencatat ekspansi signifikan. Ketiga negara tersebut berhasil menarik basis pengguna baru dan memperkuat posisinya dalam peta adopsi kripto global.

Pertumbuhan Adopsi Kripto - Chainalysis
Pertumbuhan Adopsi Kripto – Chainalysis

Di sisi lain, Indonesia tetap berkontribusi cukup besar terhadap perkembangan pasar kripto di APAC. Namun, pertumbuhannya relatif lebih lambat dibandingkan tetangga terdekat, sehingga posisinya terdorong turun meski aktivitas domestik tetap solid.

Perubahan Metodologi dan Dominasi Institusional

Selain faktor regional, perubahan metodologi Chainalysis juga memberi pengaruh besar. Tahun ini, perusahaan riset tersebut menghapus sub-indeks DeFi ritel dan menambahkan sub-indeks aktivitas institusional. 

BACA JUGA:  Google dan Sui Dorong Protokol Pembayaran AI Masa Depan

Menurut mereka alasan utamanya adalah pasar yang semakin matang dan dampaknya, negara-negara dengan arus masuk dana besar dari institusi—seperti Amerika Serikat dan Brasil—mendapat dorongan peringkat lebih tinggi.

“Dengan disetujuinya beberapa Bitcoin Spot ETF di AS dan jelasnya regulasi di pasar utama, lembaga keuangan tradisional semakin banyak memasuki ruang ini—bukan hanya sebagai investor, tetapi juga sebagai penyedia infrastruktur dan sumber likuiditas,” jelas laporan tersebut.

Indonesia lebih dikenal dengan adopsi ritel untuk investasi kripto kecil hingga menengah, Namun, fokus global pada aktivitas institusional membuat posisinya relatif lebih melemah meski basis pengguna saat ini tetap luas.

Apa Artinya bagi Indonesia?

Turunnya Indonesia ke peringkat ketujuh bukan berarti minat aset kripto di dalam negeri melemah. Sebaliknya, laporan sebelumnya mencatat sudah ada lebih dari 14 juta pengguna kripto di Indonesia, menandakan basis investor ritel masih sangat kuat.

Investor Kripto Indonesia Tembus 14 Juta, Tapi Literasi Masih Minim

Kondisi ini menunjukkan ekosistem kripto nasional tetap sehat, hanya saja perlu didorong ke level institusional melalui regulasi yang lebih jelas serta dukungan nyata dari pemerintah dan lembaga keuangan.

Pergeseran peringkat juga menjadi pengingat bahwa persaingan semakin ketat, khususnya di Asia Pasifik yang mencatat pertumbuhan eksplosif. Tanpa langkah adaptif, Indonesia berisiko semakin tertinggal dari negara-negara yang kini muncul sebagai pemain dominan. [dp]


Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.

Terkini

Warta Korporat

Terkait