Rekor harga Bitcoin (BTC) yang mencapai US$111.970 pada 23 Mei 2025 tampaknya belum menjadi akhir dari reli aset kripto terbesar ini. Dalam buletin yang dipublikasikan pada Rabu (18/06), analis makroekonomi Lyn Alden menilai bahwa prospek jangka panjang Bitcoin masih sangat menjanjikan.
“Bahkan pada level saat ini, seluruh jaringan Bitcoin hanya bernilai sekitar US$2 triliun, atau sekitar 0,2 persen dari total aset global senilai US$1 kuadriliun,” jelas Alden dalam analisanya.
Ia juga membandingkan nilai Bitcoin dengan emas, yang saat ini diperkirakan mencapai sekitar US$20 triliun. Menurutnya, efek jaringan Bitcoin terus menguat seiring meluasnya adopsi dari investor ritel maupun institusional.
Dengan pasokan yang dibatasi hingga 21 juta BTC dan teknologi yang tahan sensor, Alden menilai Bitcoin memiliki fondasi kuat untuk terus mengalami peningkatan permintaan. Ia pun masih merekomendasikan Bitcoin sejak pertama kali menyarankannya pada 2020.
“Saya memang melakukan rebalancing pada model portofolio, tapi saya tidak menjual satu pun dari Bitcoin yang saya simpan di cold storage. Itu tetap menjadi posisi utama saya,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, analis ini juga mencatat bahwa pergerakan harga Bitcoin saat ini cenderung lebih stabil dibandingkan siklus sebelumnya. Kenaikan harga yang terjadi pun kerap diselingi dengan fase konsolidasi yang sehat.
“Periode overexuberance sering kali diimbangi dengan konsolidasi sekitar enam bulan, sebelum harga kembali naik ke level berikutnya,” jelasnya.
Faktor Makro dan Fiskal Dorong Kenaikan Harga Bitcoin
Lebih dari sekadar aset spekulatif, Lyn Alden memandang Bitcoin sebagai respons strategis terhadap tekanan struktural dalam sistem keuangan global yang semakin rumit dan penuh risiko.
Ia menyoroti kondisi fiskal AS yang kini mencatat defisit sekitar 7 persen dari PDB, dengan utang AS yang telah menembus US$36 triliun. Dalam situasi seperti ini, menurut Alden, pemerintah cenderung memilih pelonggaran moneter untuk menjaga likuiditas.
“Sebagaimana total kredit di sistem keuangan AS dan global terus tumbuh, aset langka dengan valuasi masuk akal akan tetap layak dimiliki. Ini termasuk logam mulia, properti unggulan, dan Bitcoin,” ujar Alden.

Ia menambahkan, di tengah situasi fiskal yang bergantung pada pencetakan uang dan belanja negara yang besar-besaran, Bitcoin menonjol sebagai alat lindung nilai digital yang tahan sensor dan terdesentralisasi.
Menurut Alden, meski jarang disebut dalam diskusi fiskal, tren makro justru memperkuat daya tarik Bitcoin. Saat utang membengkak dan kepercayaan pada mata uang fiat melemah, investor mulai beralih ke alternatif yang lebih tangguh—dan di sinilah Bitcoin semakin relevan.
Institusi Masuk, Likuiditas Longgar, Bitcoin Diuntungkan
Sejalan dengan pandangan Lyn Alden, laporan Ecoinometrics per 20 Juni 2025 memperkuat optimisme terhadap prospek Bitcoin. Meski sempat tertekan oleh konflik Israel–Iran yang memengaruhi harga jangka pendek, permintaan institusional tetap kuat. Aliran dana bersih ke Bitcoin Spot ETF terus meningkat sejak pertengahan April.
Kondisi likuiditas pasar juga kembali longgar. Setelah sempat mengetat akibat kekhawatiran tarif baru AS, pasar cepat menyesuaikan diri berkat sikap pemerintah yang lebih moderat. Indeks Kondisi Keuangan Nasional (NFCI) kini berada di level paling longgar sejak awal 2022, menciptakan iklim yang mendukung aset berisiko seperti Bitcoin.

Dari sisi kebijakan, The Fed tetap pada jalur pemangkasan suku bunga dua kali tahun ini. Meski inflasi masih menjadi perhatian, proyeksi median pembuat kebijakan tetap mengarah ke pelonggaran moneter. Hal ini menambah dorongan positif bagi pasar kripto.
Gabungan antara likuiditas yang longgar, suku bunga rendah, dan masuknya dana institusional membentuk fondasi kuat bagi aset kripto terbesar ini. Bukan sekadar instrumen investasi, Bitcoin kian relevan sebagai strategi menghadapi perubahan sistem keuangan global. [dp]