Investor Institusi Bullish Soal Kripto di Masa Resesi

Menurut hasil survei terbaru oleh Fundstrat Global Advisors, sentimen bullish di antara investor institusi soal prospek pergerakan harga uang kripto di masa resesi ekonomi. Lebih dari 70 persen investor institusi yakin harga kripto akan naik saat terjadi resesi. Hasil ini senada dengan survei serupa terhadap pengguna Twitter, 59 persen responden percaya harga uang digital akan melonjak saat krisis ekonomi.

Uang digital semakin banyak terserap ke dalam pasar keuangan tradisional, seiring sejumlah investor besar yang mencari cuan dari kenaikan harga aset baru tersebut. Walau mengalami 2018 yang sulit, harga Bitcoin melonjak lebih dari 1.000 persen di tahun 2017, tetapi anjlok sebesar 60 persen sejak puncaknya di Desember.

Di negara-negara seperti Venezuela dan Iran, warganya semakin beralih ke Bitcoin dan uang digital lainnya demi melindungi diri dari efek gejolak ekonomi. Sebelumnya, harga Bitcoin di Venezuela bahkan mencapai titik premium. Menimbang kondisi tersebut, para investor institusi memperkirakan situasi serupa dapat terjadi dalam skala global.

Di lain sisi, Mati Greenspan, analis pasar senior dari eToro, berkomentar bahwa resesi ekonomi belum tentu menyebabkan kenaikan harga uang digital.

“Saya pikir tidak segampang itu. Kalau kita lihat selama beberapa tahun terakhir, kripto berkorelasi khusus dengan aset beresiko tinggi. Aset kripto naik, karena investor mencari resiko lebih tinggi, ” kata Greenspan.

Kendati demikian, mengingat peristiwa krisis keuangan tahun 2008, di mana pihak ketiga terpercaya justru membuat para investor murka, alat tukar yang bekerja secara peer-to-peer menggunakan blockchain memang bisa semakin bernilai menurut Greenspan.

“Saya mengerti investor berpikir begitu. Bitcoin dibangun di atas reruntuhan krisis keuangan untuk menjadi alternatif uang fiat yang dikendalikan pemerintah dan bank. Kalau ada katalis yang membuat orang meragukan otoritas pihak pusat maka harga kripto bisa melambung tinggi,” jelas Greenspan.

Selain peluang kripto di masa resesi ekonomi, survei tersebut mencoba menyelidiki kerangka berpikir komunitas kripto tentang beberapa aspek pasar kripto. Ketika ditanya soal token favorit, 59 persen responden institusi memilih Bitcoin, sedangkan 46 persen responden Twitter memilih Ripple (XRP).

Menurut hasil survei Fundstrat, XRP adalah token paling kontroversial di antara 15 token yang muncul di surveinya. 31 persen pengguna Twitter berkata XRP adalah token paling tidak masuk akal bagi mereka. Sementara itu, 28 persen investor institusi berpikiran hal yang sama–bahkan tidak ada yang memilih XRP sebagai kripto favorit. XRP saat ini menduduki peringkat uang kripto terbesar ketiga, dan sempat menyalip Ethereum sebagai kripto kedua terbesar pada September.

Temuan lain yang menarik dari survei tersebut adalah soal sentimen terhadap Bitcoin di kalangan investor institusi dan perorangan. 52 persen pemain institusi berkata harga Bitcoin saat ini sudah mencapai level terbawah, sementara komentar serupa dikatakan oleh hanya 44 persen di Twitter.

Selain itu, lebih banyak institusi investor percaya Bitcoin akan menembus US$15,000 di akhir tahun 2019 dibanding investor perorangan. Hal ini menunjukkan investor besar punya keyakinan lebih tinggi terhadap kripto dibanding investor perorangan. [ed]

 

Terkini

Warta Korporat

Terkait