Jumlah investor kripto di Indonesia kini tembus 14 juta orang, di satu sisi ini kabar gembira, tetapi tidak selaras dengan mutu literasinya.
Pertumbuhan jumlah investor aset kripto di Indonesia mencapai angka signifikan, yakni 14,16 juta per April 2025, meningkat dari 13,71 juta pada bulan sebelumnya. Meski demikian, peningkatan partisipasi ini belum diimbangi dengan tingkat pemahaman yang memadai terhadap aset digital tersebut, menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 serta laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
SNLIK 2025 mencatat bahwa aset kripto kini diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok “Lembaga Jasa Keuangan Lain” dalam Data Nasional Keuangan Inklusif (DNKI). Meskipun ini menandai pengakuan formal terhadap keberadaan kripto dalam sistem keuangan Indonesia, indeks literasi khusus untuk aset ini belum tersedia secara terpisah.
Secara keseluruhan, indeks literasi keuangan nasional berada pada level 66,64 persen, sedangkan tingkat inklusi keuangan mencapai 92,74 persen. Namun, sektor keuangan alternatif seperti keuangan syariah dan kripto masih mengalami kendala signifikan. Contohnya, literasi keuangan syariah hanya tercatat sebesar 43,42 persen, mencerminkan rendahnya pemahaman publik terhadap instrumen finansial nonkonvensional.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyoroti pentingnya peningkatan literasi seiring bertambahnya jumlah investor.
“Antusiasme masyarakat terhadap kripto terus tumbuh, namun perlu disertai dengan edukasi yang cukup. Minimnya literasi bisa menimbulkan risiko, terutama bagi pemula,” kata Calvin dalam keterangan tertulisnya kepada Blockchainmedia.id, Kamis (5/6/2025).
Calvin menjelaskan bahwa edukasi merupakan kunci untuk membangun industri kripto yang berkelanjutan. Ia menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk terus memperluas program edukasi ke berbagai komunitas, institusi pendidikan, dan daerah di luar pusat kota.
“Jika kita ingin menjadikan kripto bagian dari sistem keuangan nasional yang kuat dan berkelanjutan, literasi harus menjadi prioritas. Inklusi tanpa pemahaman hanya akan memperbesar potensi risiko,” ujarnya.
Data OJK turut menunjukkan lonjakan nilai transaksi kripto, yakni dari Rp32,45 triliun pada Maret menjadi Rp35,61 triliun pada April 2025. Hingga kini, terdapat 1.444 aset kripto yang telah terdaftar secara resmi di OJK.
Meskipun partisipasi terus meningkat, tantangan literasi masih besar, terutama di kalangan masyarakat berusia lanjut dan mereka dengan latar belakang pendidikan rendah. Kalangan usia 18 hingga 35 tahun memang memiliki tingkat literasi keuangan lebih tinggi, berkisar antara 73 hingga 74 persen, namun belum menjamin pemahaman menyeluruh terhadap kripto.
Lebih lanjut, Calvin mendorong sinergi antara pelaku industri, pemerintah, dan lembaga pendidikan dalam menciptakan sistem edukasi kripto yang solid.
“Diperlukan kerja sama erat lintas sektor untuk menyusun pelatihan yang relevan dan mudah diakses, agar literasi keuangan digital masyarakat dapat meningkat secara merata,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan pendekatan edukasi kripto yang komprehensif. Di Singapura, misalnya, universitas seperti National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) telah membuka program pendidikan khusus terkait blockchain dan aset digital, didukung penuh oleh Monetary Authority of Singapore (MAS).
“Indonesia perlu meniru strategi edukasi kripto dari negara-negara yang telah berhasil. Dengan semakin banyaknya investor, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini disertai dengan pemahaman yang memadai terhadap teknologi dan risikonya,” tutup Calvin.
Pada 2 Mei 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan peningkatan signifikan dalam indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2025. Survei ini mencatat bahwa indeks literasi keuangan nasional naik menjadi 66,46 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai 80,51 persen, meningkat dari capaian tahun 2024 yang masing-masing sebesar 65,43 persen dan 75,02 persen.
Survei yang dilakukan bersama ini mengadopsi dua metode utama: Metode Keberlanjutan, yang mengacu pada cakupan sektor keuangan seperti perbankan, asuransi, fintech, dan lainnya yang sebelumnya digunakan pada SNLIK 2024; serta Metode Cakupan DNKI, yang diperluas dengan memasukkan entitas seperti BPJS, koperasi, penyelenggara aset kripto, dan lembaga penjaminan. Hasil metode DNKI mencatatkan indeks inklusi keuangan yang lebih tinggi, yakni 92,74 persen, dan literasi keuangan sebesar 66,64 persen.
Survei dilakukan secara nasional di 34 provinsi dan melibatkan 10.800 responden berusia 15–79 tahun. Pengumpulan data dilaksanakan antara 22 Januari hingga 11 Februari 2025 menggunakan metode stratified multistage cluster sampling. Parameter literasi yang diukur meliputi pengetahuan, keterampilan, keyakinan, sikap, dan perilaku, sedangkan inklusi dinilai berdasarkan penggunaan layanan keuangan.
Secara geografis, wilayah perkotaan mencatat indeks yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan, baik dalam literasi maupun inklusi. Indeks literasi keuangan di perkotaan tercatat 70,89 persen, sedangkan di perdesaan hanya 59,60 persen. Untuk inklusi, perkotaan mencapai 83,61 persen dan perdesaan 75,70 persen.
Dari sisi gender, laki-laki memiliki tingkat literasi yang sedikit lebih tinggi dari perempuan, namun tingkat inklusi antara keduanya relatif setara. Sementara itu, kelompok usia muda hingga dewasa awal (18–35 tahun) menjadi kelompok dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan tertinggi, sedangkan kelompok usia lanjut dan remaja (15–17 dan 51–79 tahun) menunjukkan tingkat terendah.
Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh. Semakin tinggi pendidikan terakhir yang ditamatkan, semakin tinggi pula indeks literasi dan inklusi keuangan yang dicapai. Kelompok dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi mencatat indeks literasi hingga 90,63 persen dan inklusi sebesar 99,10 persen, jauh melebihi mereka yang tidak/belum sekolah.
Secara pekerjaan, kelompok pegawai, profesional, dan pengusaha memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan tertinggi. Sementara itu, kelompok yang belum bekerja dan petani/nelayan mencatatkan angka terendah.
Hasil ini menunjukkan efektivitas program literasi dan inklusi keuangan nasional, sekaligus memberikan arah bagi kebijakan ke depan, terutama dalam menjangkau kelompok rentan dan mempersempit kesenjangan pemahaman serta akses terhadap layanan keuangan di berbagai lapisan masyarakat. [ps]